Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
20251117_100315.jpg
Pemerintah Kabupaten Cirebon mengalokasikan Rp1,91 miliar dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) buruh pabrik rokok pada 2025.

Intinya sih...

  • 2.550 buruh pabrik rokok di Cirebon menerima BLT DBHCHT sebesar Rp750.000

  • Bantuan dinilai tidak cukup untuk kebutuhan dasar dan tidak mendorong peningkatan produktivitas buruh

  • Bupati Cirebon menekankan pentingnya pembelian rokok legal dan kewajiban perusahaan rokok dalam membayar pajak

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Cirebon, IDN Times - Pemerintah Kabupaten Cirebon mengalokasikan Rp1,91 miliar dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) buruh pabrik rokok pada 2025.

Kebijakan ini memunculkan pertanyaan mengenai efektivitas penggunaan dana cukai di daerah, mengingat DBHCHT sejatinya dirancang bukan hanya untuk bantuan sosial, tetapi juga untuk peningkatan kualitas industri, kesehatan masyarakat, dan pengawasan rokok ilegal.

Bupati Cirebon, Imron Rosyadi, menegaskan bantuan tunai tetap menjadi prioritas lantaran banyak buruh pabrik rokok berpendapatan rendah. Berdasarkan Peraturan Bupati Cirebon Nomor 37 Tahun 2023, buruh dengan upah di bawah Rp3,5 juta masuk kategori penerima bantuan.

“BLT ini upaya pemerintah menjamin kesejahteraan buruh. Penyalurannya dilakukan sekali dalam setahun dan dibayarkan langsung ke rekening masing-masing penerima,” ujar Imron di sela kunjungan kerja di PT Sinar Grage Jaya, Kecamatan Depok, Kabupaten Cirebon, Senin (17/11/2025).

1. 2.550 buruh terdata sebagai penerima, besaran bantuan dipatok Rp750.000

Pemerintah Kabupaten Cirebon mengalokasikan Rp1,91 miliar dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) buruh pabrik rokok pada 2025.

Dinas Sosial Kabupaten Cirebon mencatat sebanyak 2.550 buruh dari empat perusahaan rokok menerima BLT DBHCHT tahun ini. Masing-masing menerima bantuan Rp750.000.

Imron memastikan dana masuk ke rekening penerima pada November dan tidak ada penundaan teknis. “Kami berupaya agar distribusi lancar. Bulan ini pencairan dilakukan serentak. Semuanya sudah terverifikasi,” katanya.

Namun, nilai bantuan yang diberikan menuai sorotan. Dengan standar upah buruh yang sebagian besar berada di kisaran Rp1,8–Rp3 juta, bantuan Rp750.000 dinilai tidak cukup untuk menopang kebutuhan dasar, terlebih dengan inflasi pangan yang masih menekan daya beli rumah tangga.

Sejumlah analis menilai kebijakan ini hanya menjawab kebutuhan jangka pendek tanpa mendorong peningkatan produktivitas buruh maupun daya saing industri rokok lokal.

Selain itu, belum ada kejelasan bagaimana pendataan buruh dilakukan, metode verifikasi penghasilan, serta apakah perusahaan turut dilibatkan dalam proses identifikasi penerima. Minimnya keterbukaan data membuat efektivitas penyaluran BLT sulit diukur secara independen.

2. Bupati tekankan pembelian rokok legal, DBHCHT bergantung pada perilaku konsumen

Pemusnahan rokok ilegal oleh Bea Cukai Jatim. Dok. Bea Cukai.

Imron menegaskan, besaran DBHCHT sangat bergantung pada kepatuhan masyarakat membeli rokok berpita cukai resmi serta kepatuhan pengusaha membayar pajak.

Ia meminta masyarakat tidak membeli rokok ilegal agar pendapatan daerah dari cukai tetap tumbuh. “Semakin tinggi pembelian rokok legal, maka DBHCHT bisa meningkat setiap tahun,” ucap Imron.

3. Pemerintah ingatkan perusahaan rokok tidak lalai

Bupati Cirebon, Imron Rosyadi

Imron juga mengingatkan perusahaan rokok agar tidak mengabaikan kewajiban perpajakan yang menjadi sumber penting penerimaan daerah.

Menurutnya, kepatuhan fiskal bukan hanya persoalan regulasi, tetapi bentuk tanggung jawab moral industri terhadap daerah yang selama ini menopang aktivitas produksi mereka.

"Di tengah ketergantungan daerah terhadap dana transfer dan dana bagi hasil cukai, kontribusi pajak dari industri rokok menjadi penopang vital," kata Imron.

Selain itu, ia menyinggung tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR yang seharusnya dijalankan secara berkelanjutan.

Ia menilai, perusahaan memiliki ruang dan kapasitas untuk mengembangkan program pemberdayaan yang langsung menyasar kebutuhan buruh, bukan sekadar kegiatan simbolis.

Dengan skala ekonomi industri rokok yang besar, seharusnya CSR dapat diarahkan pada pembenahan kondisi kerja, pelatihan keterampilan, dan perlindungan sosial jangka panjang.

"Sebagian besar perusahaan masih mengandalkan skema bantuan tunai yang dibagikan setahun sekali, yang sifatnya tidak berkelanjutan dan tidak mampu mengubah kondisi struktural yang membuat buruh tetap berada pada upah rendah," kata Imron.

Editorial Team