Rumah peninggalan Belanda itu mulai berubah fungsi menjadi tempat ibadah umat muslim sejak 17 Agustus 2012. Ketika itu, tempat ibadah hanya memakan sebagian kecil dari luas rumah Belanda yang berdiri di atas lahan seluas 1.800 meter. Saat itu pun rumah kolot itu masih dihuni oleh keluarga daripada ahli waris M. Hadiwinarso (Pemilik tanah dan bangunan yang merupakan seorang pejabat PT. KAI).
“Akhirnya ahli waris dari Bapak M. Hadiwianrso mewakafkan bangunan dan tanah itu kepada DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) pada 2016,” kata Hari Nugraha, Ketua DKM ketika ditemui IDN Times di Masjid Jami’ Nurul Ikhlas yang ia urus, Senin (4/11).
Pewakafan itu, kata Hari, tak lepas dari semakin bertambahnya jamaah Masjid Jami’ Nurul Ikhlas. “Kalau waktu Jumatan tiba, jamaah solat hingga lahan parkir. Bahkan seringkali solat magrib hingga harus dibagi dua shif (putaran) karena lahan tak mencukupi,” ujarnya.
Maka itu, sejak 2017, masjid mulai dipindahkan ke bangunan utama rumah Belanda tersebut seiring dengan pindahnya ahli waris daripada M. Hadiwinarso ke lokasi lain. Sejak saat itu, DKM Masjid Jami’ Nurul Ikhlas sedikit banyak terbantu untuk menampung jumlah jamaah yang datang.
Menurut Hari, jamaah yang datang ke masjid yang ia urus itu rata-rata mencapai 500-700 orang. Tidak hanya jamaah rutin, masjid itu juga menjadi tempat ibadah para wisatawan di Kota Bandung mengingat tempatnya yang terletak di pusat kota.