Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG_20250926_143936.jpg
(IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Intinya sih...

  • Penanganan stunting memerlukan formula nutrisi khusus yang belum ditanggung pemerintah, menelan biaya sendiri atau mencari donasi.

  • Mesty mengusulkan penguatan ketahanan pangan di tingkat keluarga dan dukungan pemerintah untuk menyediakan formula khusus bagi anak yang sudah stunting.

  • Tentang Anak bersama ITB berkolaborasi melalui program pengabdian masyarakat berupa peternakan lele di desa-desa untuk memastikan akses sumber protein hewani bagi anak setiap hari.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bandung, IDN Times - Penanganan anak dengan stunting atau gagal tumbuh tidak bisa dengan pemberian nutrisi makanan yang cukup semata, melainkan perlu intervensi medis melalui formula nutrisi khusus. Namun, saat ini hal tersebut kerap kali belum menjadi perhatian.

Hal ini disampaikan langsung oleh anggota Satgas Stunting Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sekaligus CEO Tentang Anak, dr. Mesty Ariotedjo.

Dia mengatakan, fokus pada program masif seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menelan anggaran hingga Rp400 triliun belum menjawab kebutuhan spesifik anak yang sudah telanjur mengalami stunting.

"Dalam penanganan stunting, dibutuhkan formula khusus untuk mengatasi kondisi gagal tumbuh. Kenyataannya, sampai saat ini formula itu belum ditanggung pemerintah. Akhirnya, orangtua harus mengeluarkan biaya sendiri, atau kami para dokter berusaha mencari donasi agar anak-anak ini bisa ditangani," ujar Mesty saat ditemui di Bandung, dikutip Sabtu (27/9/2025).

1. Berkolaborasi melalui program pengabdian masyarakat

Ilustasi pengukuran tinggi stunting (sumber: Unair)

Mesty menyarankan dua pendekatan fundamental yang harus menjadi prioritas. Pertama, penguatan ketahanan pangan di tingkat keluarga. Kedua, dukungan pemerintah untuk menyediakan formula khusus bagi anak yang sudah stunting.

​"Menurut saya, yang paling penting adalah ketahanan pangan. Mengapa tidak di setiap desa diadakan kebun gizi lestari dan peternakan yang hasilnya didistribusikan secara merata? Ini jauh lebih berkelanjutan daripada sekadar memberi makan sekali lalu selesai," katanya.

​Oleh karena itu, Tentang Anak bersama Institut Teknologi Bandung (ITB) berkolaborasi melalui program pengabdian masyarakat berupa peternakan lele di desa-desa. Tujuannya adalah memastikan setiap keluarga memiliki akses berkelanjutan terhadap sumber protein hewani.

​"Prinsip kami adalah bagaimana sebuah keluarga bisa merasa aman dan tenang karena memiliki sumber protein hewani yang tersedia untuk anak setiap hari. Inilah sebabnya program peternakan lele dan ayam petelur kami rasa lebih menjawab kebutuhan," katanya.

2. Masih banyak ditemukan anak dengan stunting

Stunting. (Kominfo Jatim)

Lebih lanjut, ​Mesty juga mengingatkan, stunting sering kali dipicu oleh infeksi kronis yang diperparah oleh asupan nutrisi yang tidak memadai. Ia pun pernah melihat langsung kondisi anak dengan stunting di beberapa daerah di Indonesia.

"Ketika saya ke Flores, saya melihat banyak anak bertubuh kecil. Kenyataannya, mereka hanya mendapatkan asupan protein hewani setahun sekali saat ada acara khusus," ucapnya.

​"kelaparan tersembunyi" (hidden hunger) dan defisiensi vitamin D yang masif. Sebanyak 70-80 persen anak Indonesia kekurangan vitamin D, nutrisi yang sangat krusial untuk pertumbuhan tinggi badan dan pencegahan stunting."

​Sebagai CEO Tentang Anak, Mesty berkomitmen untuk terus mengembangkan produk inovatif berbasis sains bersama ITB.

"Harapan ke depan, kita bisa menjalankan riset bersama. Tidak hanya pengembangan produk, tetapi juga inovasi yang memanfaatkan bahan-bahan lokal Indonesia untuk menjawab masalah tumbuh kembang anak secara tepat," katanya.

3. Suplemen untuk meningkatkan kecerdasan otak anak akan dihadirkan

Suasana kampus ITB (IDN Times/Azzis Zulkhairil)

Di tempat yang sama Dekan Sekolah Farmasi ITB, Diky Mudhakir menyatakan, kerja sama ini sejalan dengan riset-riset yang telah lama dikembangkan di kampusnya, terutama yang berkaitan dengan stunting.

Menurutnya, nota kesepahaman (MoU) ini akan membuka jalan bagi sinergi yang lebih kuat, termasuk program beasiswa untuk penelitian yang berfokus pada kesehatan anak.

​"Programnya akan sejalan dengan nota kesepahaman, terutama yang terkait dengan tumbuh kembang anak. Bahkan sebelum ada rencana kerja sama ini, kami di Sekolah Farmasi sudah memiliki riset-riset terkait stunting yang dilakukan oleh dosen untuk jenjang S1, S2, hingga S3. Jadi, ini sangat sejalan dan bisa dikolaborasikan," ujar Diky.

​Salah satu inovasi unggulan yang siap dikembangkan lebih lanjut dalam kolaborasi ini adalah produk suplemen untuk meningkatkan kecerdasan otak anak. Produk ini berasal dari pemanfaatan sari pati minyak ikan lele yang kaya akan omega dan DHA. Inovasi ini, menurut Prof. Diky, lahir dari program pengabdian masyarakat di desa binaan SF ITB.

​"Pihak 'Tentang Anak' menginginkan adanya produk yang berbasis data. Kebetulan, kami sudah memiliki produk untuk meningkatkan kecerdasan otak anak yang berasal dari sari pati minyak ikan lele," katanya.

​Diky memaparkan, pengembangan produk ini berawal dari upaya pemberdayaan masyarakat peternak lele. SF ITB membantu memanfaatkan minyak lele, yang sebelumnya sering terbuang, menjadi produk bernilai tinggi.

​"Ini bukan produk gelatin. Justru kami memberdayakan potensi di desa binaan. Minyak dari ikan lele yang seringkali masyarakat bingung mau diapakan, akhirnya kami manfaatkan. Sari patinya diambil, dan oleh salah satu profesor kami, didiversifikasi menjadi produk untuk tumbuh kembang anak," katanya.

​Melalui kerja sama ini, Prof. Diky berharap akan ada diversifikasi produk vitamin dan suplemen lain yang dapat menjawab tantangan stunting secara lebih luas, dengan tetap berpegang pada prinsip inovasi berbasis riset dan pemberdayaan potensi lokal.

Editorial Team