Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App

Anak Muda Pakai Medsos untuk Berpolitik, tapi Seringnya Tak Berdampak

ilustrasi medsos (pexels.com/Lisa Fotios)

Bandung, IDN Times - Di era kecepatan internet ini media sosial telah mampir di setiap kegiatan masyarakat khususnya anak muda seperti di kalangan Millennial dan Gen Z. Termasuk dalam hal yang berbau politik di Indonesia, mereka menjadikan aktivisme daring sebagai cara utama mereka berpartisipasi.

Iklan - Scroll untuk Melanjutkan

Platform seperti Instagram, “X” (sebelumnya Twitter), dan TikTok telah menjadi pusat wacana politik, tempat lahirnya ide, diperdebatkan dan diperkuat. Namun, meskipun jangkauan media sosial sangat luas, media sosial sering kali gagal menciptakan dampak yang mendalam dan berkelanjutan yang dapat dicapai melalui tindakan di dunia nyata.

Aktivitas daring dengan menggunggah, berbagai, atau menandatangani petisi, sering kali terkadang terasa dangkal, tidak memberikan perubahan nyata yang berasal dari keterlibatan langsung dan langsung. Untuk benar-benar memanfaatkan media sosial untuk mobilisasi politik, sangat penting untuk menyeimbangkan aktivisme daring dengan tindakan di dunia nyata.

Momentum yang dibangun di platform ini perlu diterjemahkan ke dalam interaksi tatap muka, pengorganisasian komunitas, dan upaya akar rumput. Inilah ruang-ruang tempat terjalinnya hubungan yang lebih dalam, terbangunnya kepercayaan, dan terciptanya gerakan-gerakan yang berkelanjutan. Meskipun kehadiran mereka aktif secara daring, banyak anak muda Indonesia menghadapi hambatan yang signifikan untuk terlibat dalam politik yang lebih dalam karena kurangnya pemahaman tentang cara kerja sistem politik.

1. Masih banyak dari mereka kurang pengetahuan tentang sistem politik

Element5 Digital

Dari buku yang dikeluarkan IDN Research Institute berjudul Indonesia Millennial and Gen Z Report 2025, didapati survei yang memperlihatkan ada 45 persen anak muda kurang pemahaman dalam sistem perpolitikan. Kemudian 36 persen dari mereka juga merasa takut diintimidasi ketika berpendapat mengenai poltik. Ada juga 35 persen anak muda merasa kurang kesempatan untuk berpartisipasi dalam perpolitikan.

"Tantangan tersebut semakin diperparah oleh iklim politik Indonesia yang sangat terpolarisasi, yang menumbuhkan rasa takut dan menghambat partisipasi," kutip IDN Times dalam laporan tersebut, Selasa (22/10/2024).

Untuk mengatasi hambatan ini, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif terhadap pendidikan kewarganegaraan. Tidak cukup hanya dengan sekadar memahami dasar-dasarnya, anak muda memerlukan pemahaman yang mendalam tentang sistem politik dan keterampilan berpikir kritis untuk terlibat secara efektif. Dengan mengatasi kesenjangan ini, pemerintah dapat memberdayakan generasi yang lebih aktif dan terinformasi secara politik yang siap membentuk masa depan Indonesia.

2. Ada perbedaan dalam memandang keaktifan berpolitik

Sumber: Kampung Gusdurian

Generasi Millenial dan Generasi Z sering kali memiliki perspektif yang berbeda tentang apa artinya terlibat dalam politik. Sebagian besar (48%) percaya bahwa sekadar memiliki pengetahuan politik umum memenuhi syarat sebagai aktif dalam politik. Sayangnya, keterlibatan di tingkat permukaan ini mengaburkan kompleksitas yang lebih dalam.

Dari data yang dihimpun, anak muda yang tinggal di kota besar cenderung merasa sedikit lebih percaya diri tentang pengaruh politik mereka, dengan skor kepercayaan rata-rata 3,63 dari 5,00, dibandingkan dengan 3,41 di kota kecil. Sementara kedua kelompok percaya pada kemampuan mereka untuk memengaruhi hasil politik, individu di kota besar tampaknya merasa sedikit lebih berdaya dalam potensi mereka untuk membuat perbedaan.

Di sisi lain, di daerah perkotaan media sosial memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk pandangan politik, tercermin dari skor rata-rata yang lebih tinggi yaitu 3,79 dibandingkan dengan 3,56 di kota-kota kecil. Data ini menyoroti bagaimana di kota besar media sosial tidak hanya berfungsi sebagai sumber informasi tetapi juga sebagai platform penting untuk wacana dan keterlibatan politik.

3. Media sosial menghasilkan gerakan politik pasif

ilustrasi wanita scrolling media sosial (pexels.com/mikoto.raw Photographer)

Di perkotaan besar yang sudah sangat lancar ber-media sosial, penggunaan platform tersebut sangat terintegrasi ke dalam identitas politik mereka, sehingga memungkinkan untuk dengan cepat membentuk, menantang, dan berbagi pandangan, menggarisbawahi pengaruh signifikan ruang digital dalam kehidupan politik perkotaan. Meskipun kesadaran ini, baik millennial dan Gen Z sering kali gagal dalam keterlibatan yang lebih dalam.

Di era digital saat ini, ada kepercayaan yang berlaku bahwa sekadar mendapatkan informasi melalui platform online sudah cukup untuk partisipasi politik yang bermakna. Hal ini menghasilkan semacam keterlibatan pasif, di mana keterlibatan terbatas pada menggulir umpan berita, menandatangani petisi online, atau berpartisipasi dalam debat media sosial.

Mengenali kesenjangan antara keterlibatan tingkat permukaan dan partisipasi politik yang bermakna hanyalah langkah pertama. Untuk mengubah potensi mereka menjadi perubahan nyata, millennial dan Gen Z harus mengadopsi pendekatan yang lebih komprehensif terhadap keterlibatan politik yang mencakup mulai dari pemungutan suara hingga mengambil peran kepemimpinan.

IDN menggelar Indonesia Millennial and Gen-Z Summit (IMGS) 2024, sebuah konferensi independen yang khusus diselenggarakan untuk dan melibatkan generasi Milenial dan Gen Z di Tanah Air. Dengan tema Catalyst of Change, IMGS 2024 bertujuan membentuk dan membangun masa depan Indonesia dengan menyatukan para pemimpin dan tokoh nasional dari seluruh nusantara.

IMGS 2024 diadakan pada 22 - 23 Oktober 2024 di The Tribrata Dharmawangsa, Jakarta. Dalam IMGS 2024, IDN  juga meluncurkan Indonesia Millennial and Gen-Z Report 2025.Survei ini dikerjakan oleh IDN Research Institute bekerja sama dengan Populix sebagai Research Partner. Melalui survei ini, IDN menggali aspirasi dan DNA Milenial dan Gen Z Indonesia.

Share
Editorial Team