Amnesty Kecam Rencana Penangguhan Tahanan Perusak Retret Cidahu

- Amnesty Indonesia mengecam rencana penangguhan penahanan 7 tersangka perusakan retret pelajar Kristen di Cidahu, Sukabumi
- Rencana penangguhan dinilai memperkuat budaya impunitas pelaku kekerasan sektarian dan tidak sensitif terhadap korban, Amnesty desak pembatalan rencana ini
- Polisi menetapkan tujuh warga sebagai tersangka dengan Pasal 170 KUHP tentang tindak pidana perusakan, sementara KemenHAM jamin penangguhan penahanan untuk para tersangka
Sukabumi, IDN Times - Amnesty International Indonesia mengecam keras pernyataan Staf Khusus Menteri HAM, Thomas Harming Suwarta, yang menyebut Kementerian HAM siap mengajukan penangguhan penahanan bagi tujuh tersangka perusakan rumah retret pelajar Kristen di Cidahu, Sukabumi.
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut rencana itu tidak sensitif terhadap korban dan bertentangan dengan kewajiban negara dalam melindungi hak beragama.
“Ini adalah pernyataan yang tidak sensitif dan bertentangan dengan kewajiban negara dalam melindungi hak menjalankan agama dan kepercayaan sesuai keyakinan warga. Penangguhan penahanan bagi tujuh tersangka tersebut mengirimkan pesan bahwa negara mentoleransi kekerasan berbasis kebencian agama," kata Usman dalam keterangannya kepada awak media, Jumat (4/7/2025).
1. Dinilai perkuat budaya impunitas pelaku kekerasan sektarian

Usman mengatakan pernyataan KemenHAM justru memperkuat budaya impunitas terhadap pelaku kekerasan berbasis agama, seperti yang selama ini dialami warga Ahmadiyah dan Syiah di Indonesia. Menurutnya, pemerintah seharusnya tegas mengutuk dan membawa kasus ini ke jalur hukum, bukan malah memberi jalan keluar bagi pelaku.
“Kekerasan semacam ini, jika dibiarkan, dapat mengarah pada pelanggaran HAM yang lebih berat berupa persekusi. Penyelesaian di luar mekanisme hukum yang benar dan adil hanya memperkuat impunitas,” jelasnya.
2. Amnesty desak KemenHAM batalkan rencana penangguhan

Amnesty mendesak KemenHAM untuk membatalkan rencana penangguhan penahanan dan mendorong penyelesaian hukum yang menghadirkan keadilan bagi korban. Menurut Usman, restorative justice tidak tepat untuk kasus perusakan rumah ibadah karena menyangkut pelanggaran serius atas kebebasan beragama.
“Alih-alih mengutuk, Kementerian HAM justru berdiri di samping pelaku. Ini sangat ironis dan menyakiti perasaan korban,” ujar Usman.
Amnesty mengingatkan bahwa hak kebebasan beragama telah dijamin oleh Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), serta Pasal 28E (1) dan Pasal 29 (2) UUD 1945. Karena itu, negara wajib memastikan perlindungan hak warga tanpa diskriminasi.
3. Rencana KemenHAM jamin penangguhan penahanan 7 tersangka

Kasus ini berawal pada Sabtu (28/6/2025), saat 36 pelajar Kristen dan pendampingnya menggelar retret di sebuah rumah singgah di Kampung Tangkil, Cidahu. Sejumlah warga datang lalu merusak pagar, motor, hingga menurunkan dan merusak salib di lokasi tersebut.
Polisi menetapkan tujuh warga sebagai tersangka, dijerat dengan Pasal 170 KUHP tentang tindak pidana perusakan. Staf Khusus Menteri HAM, Thomas Suwarta menyebut peristiwa ini terjadi karena miskomunikasi soal fungsi bangunan, sehingga pihaknya siap menjadi penjamin penangguhan penahanan para tersangka. Ia juga mengatakan penyelesaian secara restorative justice bisa dipertimbangkan.
"Kami dari KemenHAM mendorong agar para tersangka diberi penangguhan penahanan. Ini sesuatu yang positif,” kata Thomas di Pendopo Sukabumi, Kamis (3/7/2025).