Pembagian menu MBG di SD Negeri 060843 Medan (dok.istimewa)
Lebih jauh, Musrifah mengungkapkan bahwa sebagian besar produk susu dalam paket MBG memiliki kadar susu murni yang rendah. Hasil pengamatannya menunjukkan banyak produk hanya berisi sekitar 30 persen bahan susu, sedangkan sisanya air dan gula.
“Kalau dilihat dari komposisi, itu bukan susu murni, tapi air bergula dengan sedikit susu. Kadar sukrosanya tinggi, jauh dari ideal,” ujarnya.
Idealnya, kata dia, kadar susu murni minimal mencapai 80 persen agar dapat memenuhi asupan protein dan kalsium harian anak.
Ia juga menyoroti persoalan biaya yang membuat penyedia MBG mencari bahan semurah mungkin. Namun langkah efisiensi tersebut justru menurunkan kualitas gizi sekaligus menghapus nilai edukasi dari program tersebut.
“Banyak dapur MBG yang mengganti menu harian dengan roti kemasan supaya praktis. Bahkan hari Sabtu sering hanya disajikan makanan kering tanpa olahan segar,” ujarnya.
Lebih ironis lagi, Dinas Kesehatan setempat disebut tidak memiliki petunjuk teknis (juknis) resmi dari Badan Gizi Nasional (BGN) terkait standar penyusunan menu MBG. Akibatnya, setiap penyelenggara membuat tafsir sendiri soal makanan bergizi.
“Tidak ada juknis yang detail. Jadi kami tidak tahu apakah biskuit atau susu manis kemasan itu sebenarnya diperbolehkan atau tidak,” ungkapnya.
Musrifah menilai, tanpa regulasi dan pengawasan ketat, MBG berpotensi menjadi sekadar formalitas tahunan. “Kalau edukasi gizinya tidak jalan, MBG hanya jadi kegiatan bagi-bagi makanan, bukan pembentuk pola makan sehat,” katanya.