Ilustrasi Tambang (IDN Times/Aditya Pratama)
Berdasarkan data yang dimilikinya, dalam kurun lima tahun terakhir, dari 2019 hingga 2024, sebanyak 195 orang meninggal di jalanan akibat terlindas, tersenggol, atau bertabrakan dengan truk tambang. Selain itu, ada 104 orang mengalami luka berat.
"Pertanyaannya, ke mana Anda semua ketika banyak anak-anak yang kehilangan bapak, suami yang kehilangan istri, banyak kakak adik yang kehilangan saudara? Ada tangis yang pilu saat mereka jatuh di jalanan terlindas truk besar," katanya.
Tak hanya soal korban jiwa, pihaknya juga menyoroti kerusakan sosial dan lingkungan yang ditinggalkan aktivitas tambang. Mulai dari meningkatnya kasus ISPA akibat debu, tekanan mental warga yang hidup berdampingan dengan kebisingan, hingga hancurnya ekosistem Parung Panjang.
"Berapa derita masyarakat yang mengalami ISPA, berapa angka depresi yang lahir di jalanan yang setiap hari bergumul dengan maut, debu, dan berapa hancurnya ekosistem Parung Panjang," katanya.
Dedi bahkan menyinggung soal kerugian negara akibat jalan-jalan provinsi yang rusak dilalui ribuan truk tambang. Bahkan jalanan yang baru saja diperbaiki, kembali rusak karena langsung dilalui kendaraan-kendaraan besar.
"Pada saat jalan dibangun oleh Pemprov, baru berapa hari sudah dilindas. Berapa puluh miliar kerugian kami apabila itu dibiarkan. Ke depan kami harus membangun lagi jalan, berapa triliun yang harus kami siapkan? Siapa yang menikmati? Hanya para penambang. Siapa yang rugi? Rakyat, negara," kata Dedi.