Skema Impact Investing Inovatif dan Iklim Usaha Kondusif untuk Pengembangan Cleantech Startup Berkelanjutan

Akselerasi peraturan yang berfokus pada penyederhanaan persyaratan

Bandung, IDN Times - New Energy Nexus Indonesia baru-baru ini merilis hasil riset yang melaporkan jumlah pertumbuhan startup teknologi energi bersih atau cleantech di Indonesia makin meredup. Hal itu akibat hambatan pendanaan dan iklim regulasi dalam negeri yang dinilai kurang mendukung. Sementara untuk dapat mencapai target emisi nol bersih yang telah dicanangkan, perlu lebih banyak mengembangkan cleantech startup.

International Energy Agency (IEA) dalam laporannya yang dirilis pada 2021 mengungkapkan, negara-negara berkembang perlu meningkatkan investasi energi bersih tahunan hingga lebih dari tujuh kali lipat pada tahun 2030, jika ingin mencapai emisi nol bersih global pada 2050.

Laporan The Independent High Level Expert Group on Climate Finance pada 2022 memproyeksikan bahwa investasi infrastruktur berkelanjutan perlu ditingkatkan hingga dua kali lipat per tahunnya pada tahun 2030 dengan besaran USD 1,2-1,7 Triliun.

Cluster President Schneider Electric Indonesia & Timor Leste,  Roberto Rossi mengatakan, tantangan yang dihadapi cleantech startup di Indonesia ini umum dialami di hampir seluruh dunia terutama di negara-negara berkembang.

"Faktor minimnya pendanaan akibat kurangnya minat investor dan regulasi/kebijakan yang belum memadai, ditambah dengan masih minimnya SDM yang mumpuni di bidang EBT menjadi faktor fundamental dan saling terkait," kata dia dalam keterangan tertulisnya.

1. Dukungan kebijakan untuk penguatan ekosistem cleantech startup

Skema Impact Investing Inovatif dan Iklim Usaha Kondusif untuk Pengembangan Cleantech Startup BerkelanjutanIDN Times/Istimewa

Dia menyebutkan, kebijakan atau regulasi suatu negara dalam mendukung terbentuknya ekosistem cleantech startup yang kuat menjadi variable utama yang mempengaruhi iklim investasi, dan cepat lambatnya laju perkembangan industri.

Sebagai sektor yang masih baru, industri energi baru dan terbarukan masih membutuhkan biaya yang cukup besar (biaya R&D, pengadaan material produksi dan lainnya) dengan tingkat risiko yang juga tinggi, sehingga dibutuhkan kebijakan pembiayaan yang fleksibel dan didukung oleh lembaga negara.

"Skema pendanaan dan subsidi dari pemerintah bagi pelaku cleantech startup dapat memberikan angin segar. Pendanaan pemerintah ini diprioritaskan bagi early-stage startup untuk riset pengembangan produk/solusinya dan membangun fondasi usahanya. Untuk menarik minat investor swasta, pemberian insentif seperti insentif pajak, dan
kemudahan pinjaman kredit pemerintah dapat menjadi daya tarik," ujar dia.

2. Akselerasi peraturan yang berfokus pada penyederhanaan persyaratan

Skema Impact Investing Inovatif dan Iklim Usaha Kondusif untuk Pengembangan Cleantech Startup BerkelanjutanIlustrasi Regulasi (https://pixabay.com/Herbini Saac)

Selain itu, kata dia, dibutuhkan dukungan kebijakan lain berupa akselerasi peraturan yang berfokus pada penyederhanaan persyaratan dan prosedur perizinan usaha, akses terhadap teknologi dan rantai pasok domestik, serta kebijakan struktur tarif.

Berbicara mengenai kebijakan struktur tarif terutama untuk startup transisi energi adalah bagaimana membangun kemitraan strategis yang saling menguntungkan antara startup dengan PLN sebagai perusahaan umum listrik negara dalam komersialisasi listrik hijau.

Terakhir adalah dukungan dalam ketersediaan dan kesiapan akses pasar. Kebijakan pemerintah yang dapat membuka peluang pasar dan menggairahkan konsumen untuk mulai beralih pada solusi teknologi dan produk ramah lingkungan menjadi kunci dalam mengkomersialisasi dan menjadikan cleantech startup menarik di mata investor.

Para impact investor perlu memiliki pemahaman penuh untuk melihat keuntungan investasi dari sudut pandang triple bottom line, di mana kesuksesan tidak hanya diukur dari segi profitabilitas, tetapi juga seimbang dari segi dampaknya terhadap lingkungan dan manusia.

Cleantech startup pun harus mampu meyakinkan investor akan peran yang mereka mainkan dalam menggerakkan jarum menuju titik emisi nol bersih maupun dalam menyediakan akses energi yang adil dan inklusif melalui solusi yang ditawarkannya, dan
mengartikulasikannya secara efektif agar dapat dipahami.

"Sebagai contoh, Schneider Electric Energy Access (SEEA) dan Schneier Electric Energy Access Asia (SEEAA) yang kami dirikan pada 2009 dan 2019 lalu merupakan model impact investing yang berpedoman pada sirkularitas dan ekonomi inklusif," kata dia.

"SEEA menyatukan berbagai pemangku kepentingan dengan mengajak karyawan dan para mitra bisnis Schneider Electric untuk berinvestasi dan berkomitmen pada pengembangan
akses energi bersih yang inovatif dan solusi efiensi energi yang membantu mengurangi kesenjangan energi di dunia," tambahnya.

3. Skema pembiayaan perlu terus dijajaki

Skema Impact Investing Inovatif dan Iklim Usaha Kondusif untuk Pengembangan Cleantech Startup Berkelanjutanilustrasi pembiayaan (pexels.com/@pixabay)

Berdasarkan pengalaman menjalankan impact investment selama 14 tahun ini, telah melihat bahwa diversifikasi skema pembiayaan perlu terus dijajaki, dari subsidi pemerintah ke skema modal campuran termasuk skenario swasta dan komersial. Dengan demikian risiko akan lebih tersebar di lebih banyak pemangku kepentingan.

Komitmen investor yang berkelanjutan berlandaskan pada triple bottom line, serta inovasi mekanisme pendanaan baru seperti pembiayaan mikro, sewa guna usaha mikro, dan crowdfunding memberikan lebih banyak pilihan untuk skema modal campuran yang memungkinkan perusahaan rintisan untuk memenuhi kebutuhan modal kerja dan belanja modal.

Terlepas dari teknis skema pembiayaan, hal fundamental yang perlu dimiliki oleh impact investor adalah tujuan, dan visi-misi yang jelas mengenai apa yang ingin dicapai, memastikan nilai-nilai tersebut tercermin dalam budaya perusahaan, dan memahami betul risiko vs dampak dari impact investment-nya.

Di Schneider Electric memegang nilai-nilai sebagai Impact company dimana berfokus pada visi-misi untuk memberikan akses energi bersih yang adil, inklusif dan berkelanjutan bagi seluruh masyarakat dunia (Access to Energy). Melalui SEEA dan SEEAA, Schneider Electric telah menggelontorkan +€75 juta untuk 49 perusahaan rintisan di berbagai negara. Salah satunya cleantech startup Indonesia yaitu Xurya Daya.

Indonesia sebagai negara dengan berbagai alternatif dan potensi sumber daya hingga mencapai 3.686 GW memiliki prospek pengembangan EBT yang sangat besar. Cleantech startup Indonesia memiliki peranan yang sangat penting dan membutuhkan dukungan dan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan baik pemerintah, impact investor, asosiasi dan think tank, rantai pasok hingga konsumen akhir agar ekosistem cleantech startup di Indonesia dapat bangkit dan semakin kuat.

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya