Kalaeidoskop 2020: Belajar dari Kegagapan Hadapi Pandemik COVID-19

Pandemik COVID-19 menguji seluruh lapisan masyarakat

Bandung, IDN Times - Kasus virus corona yang terjadi di Indonesia belum berakhir hingga di penghujung 2020. Sejak kasus pertama ditemukan pada awal tahun ini, pandemik virus corona atau COVID-19 memberikan dampak serius kepada seluruh aktivitas.

Sekaligus menjadi ujian bagi pemerintah sejauh mana konsistensi menangani penularan COVID-19 dan masyarakat yang terpuruk akibat pandemi.

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi NasDem, Muhammad Farhan menjelaskan, pandemik COVID-19 menguji seluruh komponen pemerintahan dan lembaga legislatif untuk bekerja sama mengeluarkan solusi efektif. Dengan kondisi kasus positif COVID-19 terus meningkat disertai dengan dampak sosial bagi masyarakat kurang mampu, di nilai jadi ujian berat.

"Harus diakui kita semua gagap, panik dan teledor. Menkes (Terawan) yang tadinya ingin menenangkan dan menghindarkan kepanikan, malah berulang kali membuat error sehingga presiden mengangkat Ketua BNPB untuk menangani masalah pandemik COVID-19," ujar Farhan dalam keterangan persnya, Kamis 31 Desember 2020.

1. Muncul pro dan kontra tentang pandemik COVID-19

Kalaeidoskop 2020: Belajar dari Kegagapan Hadapi Pandemik COVID-19Ilustrasi personel Satgas Mobile COVID-19 memeriksa kondisi pasien diduga terjangkit virus Corona (COVID-19) di ruang isolasi Rumah Sakit Suradadi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Rabu (11/3). ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah

Bahkan, musibah pandemi COVID-19 di 2020 menjadi bola liar bagi pihak yang kontra dengan pemerintah hingga berujung pada kasus hukum.

"Tentu semua orang bebas berpendapat tentang pandemik ini. Bahkan ada yang menganggap walau tanpa bukti ilmiah bahwa semua ini adalah konspirasi elite Global, bermotif ekonomi," terangnya.

2. Kebijakan pemerintah yang penuh dengan resiko

Kalaeidoskop 2020: Belajar dari Kegagapan Hadapi Pandemik COVID-19IDN Times/Yogi Pasha

Pemerintah pusat, lanjut Farhan, memilih fokus prioritas ekonomi dalam menanganan pandemi. Di negara luar, kebanyakan memilih lockdown dalam memutus mata rantai penularan COVID-19 dibandingkan Indonesia yang memilih Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

"Kenyataannya Pemerintah Indonesia pun memilih motivasi ekonomi dalam penanganan pandemi sehingga tidak memilih opsi lockdown dan tidak menutup perbatasan Negara dari mobilitas internasional di awal pandemi hingga akhirnya di bulan Desember perbatasan pun ditutup. Presiden Jokowi mengambil risiko menunggu sampai adanya penanganan lewat vaksin dan herd immunity (kekebalan kelompok) yang tidak akan membuat ekonomi kolaps," ujarnya.

Lantas, bagaimana hasilnya? Farhan berpendapat bahwa cara tersebut dihadapkan dengan kesulitan berkepanjangan. Bahkan, upaya penanganan jaminan sosial bagi warga terdampak pandemi diwarnai dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dalam kasus korupsi program bantuan sosial penanganan COVID-19.

"Kenyataannya, kebijakan menanti vaksin tanpa pengetatan mobilitas dan penutupan wilayah (lockdown) membuat kita sulit bangkit dari kontraksi pertumbuhan ekonomi yang negatif. Kita bersyukur pemerintah level pusat sampai daerah sangat baik melakukan penanganan jaminan sosial, baik untuk faskes maupun kebutuhan sosial lain. Bahkan KPK dengan sigap menangkap Mensos (Juliari) ketika melakukan korupsi Bansos. Ini layak diapresiasi," ujarnya.

3. Munutup pintu masuk bagi WNA ke Indonesia

Kalaeidoskop 2020: Belajar dari Kegagapan Hadapi Pandemik COVID-19ANTARA FOTO/Wira Suryantala

Farhan menilai, keputusan pemerintah menutup akses Warga Negara Asing (WNA) ke Indonesia untuk memutus mata rantai penularan COVID-19 merupakan langkah yang telat.

"Pernyataan tegas Menlu menutup Perbatasan Negara walau terlambat, layak diacungi jempol. Kebijakan yang semestinya dicanangkan sejak awal pandemi ini setidaknya mulai membangun kepercayaan masyarakat yang sempat bingung dengan pernyataan para menteri yang gagal menerjemahkan kebijakan Presiden," katanya.

Demikian juga dengan pernyataan Menkes baru yaitu Budi Gunadi Sadikin yang dinilai memberikan penjelasan transparan tentang vaksinasi yang merupakan master plan Pemerintah dalam penanganan Pandemik COVID-19.

4. Kebijakan blunder Mendikbud terkait pelaksanaan belajar tatap muka di 2021

Kalaeidoskop 2020: Belajar dari Kegagapan Hadapi Pandemik COVID-19Mendikbud Nadiem Anwar Makarim dalam acara kerjasama Kemendikbud dengan Netflix (Dok.IDN Times/Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan)

Selain itu, Farhan juga mengkritik tindaklanjut kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang cuci tangan terkait jaminan keamanan pelaksanaan belajar tatap muka mulai 2021.

"Bagaimana nasib jutaan anak sekolah dan mahasiswa kita? Apakah Mendikbud sudah clear tentang kebijakan kegiatan belajar dan mengajar di semua level? Atau Mendikbud masih bersembunyi di balik narasi 'semua dikembalikan kepada kebijakan masing - masing kepala daerah'. Pernyataan Mendikbud ini jelas - jelas cuci tangan, bukan memimpin gerbong besar sistem pendidikan keluar dari krisis akibat pandemik ini," katanya.

5. Enam menteri baru harus bisa menerjemahkan visi Jokowi

Kalaeidoskop 2020: Belajar dari Kegagapan Hadapi Pandemik COVID-19Pengumuman Menteri Baru di Kabinet Indonesia Maju pada Selasa (22/12/2020) (Youtube.com/Sekretariat Presiden)

Sedangkan untuk enam menteri baru yang dilantik beberapa waktu lalu, Farhan menekankan mereka untuk berinovasi dan mampu menerjemahkan visi Jokowi dalam menangani COVID-19.

"Saya melihat para menteri baru punya kapasitas sangat baik walaupun belum bisa menutupi 100 persen kelemahan kabinet kerja periode kedua Jokowi. Mereka akan menghadapi tantangan yang sangat terjal," katanya.

"Menurut Farhan, Menteri KKP dan Mensos harus bersih - bersih internal karena kasus korupsi dahulu sebelum bisa kebutuhan dengan program. Selain itu, menkes pun harus mampu menjadi leading sektor dan pemersatu gerak langkah menghadapi krisis kesehatan global ini.

Kemudian, menteri agama (menag) punya pekerjaan rumah besar menghilangkan sisa - sisa dikotomi agama yang timbul karena radikalisasi dan pemanfaatannya untuk kontestasi politik.

"Menparekraf harus mampu bersinergi dengan Mendag yang baru membangun pasar ekspor budaya Indonesia. Maka keduanya harus bisa menciptakan ekosistem bagi tumbuhnya industri ekonomi kreatif yang berkelas dunia," ujar dia.

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya