Cerita Ramadan: Sebuah Perjalanan Kembali ke Masa Lalu

Bedil lodong dan mancing di Sungai Segah sambil ngabuburit

Bandung, IDN Times - Ramadan adalah bulan yang penuh berkah bagi umat Islam di seluruh dunia. Tidak hanya itu, Ramadan terkadang menjadi kerinduan tersendiri bagi umat muslim untuk terus bisa menjalaninya.

Saya salah satunya. Dalam artikel ini, Saya berupaya mengenang masa Ramadan ketika kecil dulu. Ramadan selalu mengingatkan perjalanan kembali ke masa lalu. Banyak memori yang ingin diulang bersama teman kecil. Era 80-90-an adalah kenangan indah yang terus terbayang hingga saat ini. Karena, masa-masa itu tidak pernah ada kata berhenti untuk bermain.

Kenangan masa kecil ini cukup menggelitik bagi saya untuk diceritakan kembali. Terutama di saat Ramadan tiba. Hampir sepanjang Ramadan, kami memiliki kegiatan musiman yang selalu dilakukan.

Sama dengan anak-anak lain pada umumnya di masa itu. Kami lebih senang bermain dengan bebas bersama alam. Apalagi, ketika itu saya tinggal di Komplek Peningki, Kelas 7, PT Inhutani I, Berau, Tanjung Redeb, Kalimantan Utara (Kalimantan Timur saat itu).

Mungkin suasana alamnya sudah berbeda dengan kondisi sekarang. Ketika itu, masih banyak pohon besar, burung-burung liar, dan ikan yang dengan mudah dipancing di Sungai Segah, yang lokasinya tak jauh dari rumah saya.

Sebagai anak komplek, teman bermain saya adalah mereka yang juga anak dari orang tua yang bekerja di perusahaan ini. Tidak banyak, ada sekitar lima hingga tujuh orang yang seusia. Mereka ialah Sonny Satrio, Idham, dan beberapa teman lain yang saya lupa namanya.

Cerita Ramadan: Sebuah Perjalanan Kembali ke Masa LaluIDN Times/Istimewa

Era 80-90-an, perkembangan teknologi belum sekompleks sekarang. Belum ada gadget atau handphone dengan permainan online yang membuat orang asik sendiri. Sehingga, kami lebih memilih bermain dengan apapun dan semuanya dilakukan di alam.

Artinya, kami bermain bebas dimanapun yang kami suka. Nah, setiap bulan puasa, kami lebih sering bermain bedil lodong atau kami menyebutnya Leduman. Tidak ada bosannya kami bermain yang terbuat dari bambu dan menghasilkan suara nyaring tersebut. Bahkan, jika mengingat kembali, kami bermain tidak pernah mengenal waktu. Subuh, siang, sore, dan terkadang malam usai salat tarawih.

Tak terbayang para orang tua kami yang saat itu mungkin bosan dan bising mendengarkan suara dari leduman tersebut. Permainan ini mungkin dilakukan juga anak-anak lain di berbagai daerah. Sebutannya pun mungkin berbeda. Ada bedil lodong, leduman, atau apapun sebutan untuk permainan ini. Tetapi, bagi kami, anak-anak zaman itu tentu senang dengan suara yang dikeluarkan dari mulut ujung bambu hijau tersebut.

Semakin keras suaranya, semakin senang kami. Bau asap dan minyak tanah sudah menjadi aroma setiap kali usai bermain leduman ini. Tapi, ada juga anak-anak lain yang menggunakan karbit untuk bisa menghasilkan suara yang lebih keras. Biasanya, penggunaan karbit dilakukan oleh mereka yang usianya lebih tua dari kami. Ledumannya pun lebih besar dan bukan dari bambu.

Setelah bosan dengan kebisingan leduman, permainan kami pun berganti dengan bersepeda atau hanya jalan-jalan di sekitar komplek. Ini kami lakukan jelang matahari terbit hingga pukul 07.00. Karena, pada masa itu, setiap Ramadan kegiatan sekolah biasanya libur. Sehingga, kami bisa bermain sepanjang hari tanpa lelah.

Cerita Ramadan: Sebuah Perjalanan Kembali ke Masa LaluIDN Times/Istimewa

Menjelang siang, kami kembali ke rumah masing-masing dan akan berkumpul untuk main kembali menjelang sore sekitar pukul 15.00.

Nah, satu hal unik yang saya ingat hingga kini adalah ketika mengumpulkan teman-teman untuk siap bermain. Kalian pernah melakukan bunyi-bunyian dengan mengepalkan kedua tangan? Ya, dengan mengepalkan kedua tangan, kalian bisa menghasilkan suara seperti bersiul.

Itulah cara kami saling memanggil untuk berkumpul dan siap bermain pada hari itu. Satu orang saja yang melakukan call sign ini langsung mendapatkan sahutan dari yang lainnya. Jika sudah saling sahut dengan bunyian tersebut, tandanya kami siap berkumpul dan bermain kembali di waktu selanjutnya.

Setelah dari subuh hingga pagi kami bermain, sore menjelang magrib pun kami kembali bermain. Banyak hal yang bisa dilakukan, bisa main sepak bola, kembali main leduman, bersepeda, atau bahkan kami mancing di Sungai Segah. Banyak ikan dan udang galah yang bisa didapatkan jika kami beruntung.

Kekayaan alam dari Sungai Segah saat itu cukup menjadi lauk pauk kami untuk berbuka di rumah. Perlu diketahui, Sungai Segah adalah salah satu sungai terbesar yang berada di Kabupaten Berau.

Sungai ini membentang dari hulu Kecamatan Segah dan bertemu dengan Sungai Kelay tepat di jantung kota Tanjung Redeb pusat pemerintahan Kabupaten Berau. Sungai Segah juga merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Mahakam.

Pengalaman ini menjadi kesan saat Ramadan di era 1980-1990-an. Rasa kebersamaan, kekeluargaan, dan komunitas terasa saling mendukung satu sama lain. Dan, perayaan Lebaran di akhir Ramadan adalah puncak dari kebahagiaan semua.

Kami dari tetangga yang juga anak-anaknya teman bermain saling berkunjung ke rumah untuk bersilaturahmi. Mencicipi kue lebaran, mengambil soft drink dan mendapatkan angpau adalah kebahabiaan tersendiri bagi kami.

Meskipun telah berlalu beberapa dekade, kenangan Ramadan di era 1980-1990-an tetap menghangatkan hati dan menjadi sumber inspirasi. Kisah-kisah tentang kekuatan iman, persatuan, dan ketabahan masih menjadi cerita yang disampaikan dari generasi ke generasi.

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya