Pernah Dituding Gila, Petani Indramayu Sukses Pimpin Lab. Agens Hayati

Ia tak sempat lulus sekolah dasar

Indramayu, IDN Times – Proses tidak akan mengkhianati hasil, terkadang terdengar klise bagi sebagian orang. Tapi tidak halnya bagi Waklan (44 tahun), petani asal Desa Kedokanbunder Wetan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

Bagaimana tidak, perjuangannya mencari formula teknologi pertanian ramah lingkungan sudah membuahkan hasil yang membanggakan. Idenya mengembangkan ekosistem pertanian berbasis agens hayati untuk mengatasi masalah pertanian diapresiasi oleh Kementerian Pertanian (Kementan) Republik Indonesia.

Produk Waklan dengan kemampuan untuk tidak bergantung pada pestisida kimiawi agar meningkatkan produktivitas hasil tani, berhasil dibuktikan dengan inovasinya mengembangkan produk pertanian berbahan alami. Kendati demikian, buah pikirannya tak semudah buah jatuh dari pohon. Selama proses uji coba, kegagalan demi kegagalan dilalui dengan kesabaran oleh pria yang tak tamat sekolah dasar itu.

Bermula dari kegelisahannya masalah pertanian, serta diperparah kondisi keuangan yang tak mampu membeli pupuk dan pestisida, pada tahun 2000, Waklan mulai mencoba mengembangkan inovasi obat pembasmi hama alami.

Kamar tidur berukuran 4x4 meter pun rela dijadikan laboratorium. Puluhan botol berisi bakteri yang dikembangbiakkan memenuhi seisi kamar.

Eksplorasi mengembangkan formula pengganti pestisida kimiawi tak berjalan mulus. Bahkan Waklan sempat merugi, lantaran biaya penelitian yang cukup besar dan gagal diaplikasikan ke sawah.

Kondisi itu terus berulang kali dialaminya dari tahun ke tahun. Istrinya pun sempat gusar melihat cara Waklan mengatasi masalah pertanian yang tak seperti petani pada umumnya.

1. Mengendalikan hama dengan mengembangkan musuh alami

Pernah Dituding Gila, Petani Indramayu Sukses Pimpin Lab. Agens HayatiDi laboratorium PPAH, Waklan sedang menunjukkan proses inokulasi untuk memeprnuak isolat atau memindahkan organisme bakteri. (IDN Times/Wildan Ibnu)

Seiring berjalan waktu, pada tahun 2014, dia mencoba mengembangkan pupuk kompos berbahan organik, seperti kotoran ternak, sekam, jerami, dan bekatul. Selain itu, Waklan juga membuat pestisida nabati berbahan campuran tumbuh-tumbuhan, yaitu daun sereh, biji mahoni, hingga, sambiloto, dengan cara ditumbuk halus, disaring, kemudian diaplikasikan ke lahan persawahan.

Usahanya membuahkan hasil. Proses pembuatan kompos yang memakan waktu 25 hingga 30 hari itu bisa diaplikasikan ke lahan sawah padi seluas 1.400 meter persegi, dengan cakupan 5 kwintal pupuk kompos.

Penggunaan pupuk dan pestisida alami itu dirasa Waklan cukup efektif. Selain kualitas hasil panen lebih baik, dia pun sudah meninggalkan ketergantungan pada pupuk urea dan pestisida kimiawi.

Baru pada tahun 2017, bapak tiga orang anak mulai menekuni agens hayati. Dia berkeyakinan, keseimbangan alam yang terjaga akan mendulang hasil bumi yang lebih baik. Waklan mengembangkan konsep agens hayati untuk mengatasi masalah sawah padi miliknya.

Dia mulai mempelajari bagaimana sistem pengendalian hama dengan hama lain. Sederhananya, agens hayati dikembangkan untuk menciptakan musuh alami bagi hama atau predator demi keseimbangan ekosistem lingkungan.

“Pada saat itu saya mulai memperbanyak agens hayati. Agens hayati itu organisme pengganggu tanaman, di mana cara mengendalikannya dengan musuh alami. Saya terus-terusan mengembangkan jamur dan bakteri yang tepat untuk mengendalikan hama padi saya,” ujarnya.

2. Sempat terbengkalai karena media dan peralatan kurang mendukung

Pernah Dituding Gila, Petani Indramayu Sukses Pimpin Lab. Agens HayatiPetani Indramayu sedang memantau perkembangan jamur melalui mikroskop yang akan difungsikan sebagai musuh alami hama tanaman. (IDN Times/Wildan Ibnu)

Kebutuhan media cukup luas dan bahan-bahan yang mahal, membuat pengembangan agens hayatinya terbengkalai. Sementara kebutuhan ekonomi keluarga harus tetap dipenuhi. Karena itu, Waklan terpaksa meninggalkan sejenak riset pengembangan organisme musuh alami untuk pengendalian hama.

“Tahun 2017, saya mulai belajar pengembangan agens hayati. Karena membutuhkan media dan bahan, jadinya gagal dan terbengkalai. Saat itu kami membuat formula untuk pencegahan hama. Biayanya tidak sedikit, medianya harus luas. waktu dan tenaga yang dibutuhukan harus ekstra,” terangnya.

Sambil berbagi pengetahuan, Waklan menerangkan sedikitnya pengembangan agens hayati dibagi menjadi empat golongan; bakteri antagonis, patogen serangga, parasitoid, dan predator.

Keempatnya itu dipakai sebagai upaya penanggulangan hama pertanian. Pengembangbiakan bakteri antagonis ini menggunakan berbagai jenis, seperti Bacillus sp dan Paenibacillus Polimyxa, yang digunakan untuk pengendali penyakit, juga Pseudomonas yang berfungsi sebagai pestisida alami.

Selanjutnya, dalam urusan golongan patogen serangga, Waklan mengeksplorasi Beauveria Bassiana sebagai insektisida. Untuk golongan parasitoid, dikembangkan Verticillium sebagai Bio Insektisida, Gliocladium untuk pengendalian penyakit layu, dan PGPR sebagai pupuk organik.

Terakhir, untuk golongan predator, Waklan membangun rumah burung hantu (rubuha) yang bertujuan untuk mengendalikan hama tikus.

“Kalau petani sadar peran burung hantu sangat membantu mengendalikan hama tikus, maka petani seharusnya mengembangbiakkan burung hantu. Karena gak paham, kebanyakan petani malah menambakinya. Dalam semalam, burung hantu bisa makan tikus empat sampai lima ekor per hari,” kata Waklan.

3. Meski berhasil, idenya masih dianggap aneh

Pernah Dituding Gila, Petani Indramayu Sukses Pimpin Lab. Agens HayatiBakteri yang dikembangkan dalam tabung dieksplorasi untuk pestisida alami. (IDN Times/Wildan Ibnu)

Keseriusan Waklan mengembangkan agens hayati sudah menuaikan hasil. Saban kali panen, hasilnya lebih unggul, baik dari skala kuantitas maupun kualitas.

Hasil temuannya menciptakan formula efektif bidang teknologi ramah lingkungan sudah bisa diaplikasikan. Paling tidak, Waklan sudah melepas ketergantungan dari pupuk dan obat-obatan kimiawi yang menjeratnya menggarap pertanian padi.

Namun, siapa yang menyangka, alih-alih membagi pengetahuan metode agens hayati kepada rekan sesama petani, dia justru dianggap gila. Petani lainnya tak ada yang percaya jika cara Waklan mengatasi masalah pertanian padi itu sudah teruji dan bisa mampu menekan biaya produksi.

Padahal, kala itu dia menawarkan produknya tanpa biaya sepeser pun hingga tinggal diaplikasikan ke lahan pertanian.

“Orang-orang ngatain saya ini wong edan (gila) dan aneh, karena cara saya gak umum. Padahal saya kasih formulanya, tinggal dipakai saja, gratis. Tapi tetap mereka tidak percaya. Inilah kendala petani di sini, banyak yang belum tahu apa itu agens hayati,” ujar Waklan, sambil menggeleng kepalanya.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Waklan mendapatkan lebih dari apa yang dia cita-citakan. Pengembangan agens hayati dengan bahan dan peralatan seadanya itu mendapat perhatian dari Pertamina EP pada tahun 2018.

Dukungan bantuan corporate social responsibility (CSR) berupa alat-alat laboratorium tersebut tidak ia sia-siakannya untuk penelitian pengembangan lanjutan.

Bantuan CSR itu dialokasikan guna pengadaan alat-alat laboratorium seperti isolat, gelas ukur, mikroskop, aerator, wajan, penampungan dan alat-alat lainnya. Dukungan tersebut terus berlanjut untuk pengembangan agens hayati hingga saat ini.

Selain itu, Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Barat juga memberikan perhatian penuh pada usaha Waklan agar dapat mengembangkan agens hayati.

Atas dasar itu, Kementerian Pertanian melalui Ditjen Tanaman Pangan terus mendukung berbagai inovasi dan eksplorasi para petani dari dukungan Pertamina tersebut. Karena prestasinya, Waklan mendapat penghargaan bidang pengembang hayati juara satu tingkat nasional pada tahun 2019.

“Sampai sekarang agens hayati masih berjalan. Metode ini mampu mengurangi biaya produksi. Hasil panen pun lebih baik, selisihnya bisa 25 persen dan 60 persen. Sayangnya petani masih banyak belum mau mencoba,” kata dia.

4. Memimpin laboratorium agens hayati

Pernah Dituding Gila, Petani Indramayu Sukses Pimpin Lab. Agens HayatiProduk agens hayati yang dikembangkan Waklan dan kelompok petani Sri Trusmi Satu Desa Kedokanbindee Wetan, Kabupaten Indramayu. (IDN Times/Wildan Ibnu)

Pada tahun 2019 dan 2020, Waklan fokus menyeriusi pengembangan agens hayati lanjutan. Dengan peralatan dan media pengembangan jamur dan bakteri yang memadai, dia bersama kelompok Tani Sri Trusmi Satu dipercaya mengelola gedung laboratorium Pos Pelayanan Agens Hayati (PPAH) yang berada di Blok Truwali RT 12/03, Desa Kedokanbunder Wetan, Indramayu.

Kini, Waklan memimpin uji laboratorium di gedungyang  bersumber dari hibah CSR Pertamina tersebut untuk dimanfaatkan sebagai tempat memperbanyak eksplorasi pengembangan bakteri dan jamur.

Keberadaan laboratorium PPAH, digunakan Waklan untuk menyosialiasikan metode agens hayati sebagai solusi atas masalah pertanian padi. Mengingat, kesadaran dan pengetahuan petani soal metode ramah lingkungan ini masih belum menyeluruh.

Padahal, menurutnya, di tengah pandemik COVID-19 ini, agens hayati dapat menjawab masalah petani yang semakin terpuruk. Sebab, harga pupuk dan pestisida semakin mahal namun harga produksi pertanian sangat rendah.

“Di masa pendemik ini, harga pupuk dan obatan sangat tinggi. Sementara harga padi sangat turun drastis. Biaya operasionalnya pun tidak mau turun. Harusnya agens hayati jadi solusi, tapi di desa sini saja, hanya ada 4 petani yang benar-benar sudah meninggalkan pupuk kimia,” terangnya.

Sementara itu, Community Development Officer Pertamina EP Regional 2 Zona 7 Jatibarang Field, Dede Darmawan menjelaskan, pendampingan kepada kelompok tani Sri Trusmi Satu ini lebih dari sekedar pendampingan.

Lebih daripada itu, Dede menjelaskan, pendampingan pada kelompok tani adalah sebuah komitmen dan upaya serius dari berbagai pihak mulai dari perusahaan, kelompok tani, Kementan RI, dan Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu, dalam mempersiapkan masyarakat yang berdaya secara pangan berkelanjutan dan ramah lingkungan.

“Pendampingan dilakukan dari tahun 2018, ini sudah masuk tahun keempat. Harapan kami, kelompok tani ini bisa menjadi bapak bagi petani-petani di Indramayu, khususnya dalam mengupayakan ketahanan pangan yang lestari,” tutur Dede.

Dia menyadari perlu adanya kesadaran dari masyarakat tani dan sosialisasi yang masif terkait penggunaan metode agens hayati ini. Sebab, pengembangan teknologi berbasis ramah lingkungan ini memang tergolong hal langka.

Selain itu, ia mengatakan bahwa saat ini perlu adanya pemasaran dan jejaring kemitraan yang dioptimalkan agar produk yang dihasilkan dapat diserap dengan baik oleh pasar.

“Di Indonesia baru beberapa tempat saja yang menggunakan metode ini. Selama ini ketergantungan petani terhadap produk kimiawi juga dipicu akibat susahnya produk organik diserap pasar. Karena itu mereka harus terus didampingi,” ujarnya.

Baca Juga: Nakes Puskesmas di Jombang Susuri Sawah untuk Vaksinasi Petani

Baca Juga: Sugirah, Petani Pertama yang Menjadi Wakil Bupati Banyuwangi

Baca Juga: Petani dan Nelayan di Sumsel Diminta Waspadai Hujan Intensitas Tinggi

Topik:

  • Galih Persiana

Berita Terkini Lainnya