Nyala Asa Siswa ABK di SDN 2 Weru Kidul: Kecil, Namun Berarti

Sejatinya, setiap anak punya hak pendidikan yang sama

Cirebon, IDN Times - Prihatin (40) bingung bukan kepalang mencari sebuah sekolah yang bisa menerima anaknya dengan sepenuh hati. Warga Desa Sarabau, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon itu terus berusaha keras agar anaknya, Yudan bisa sekolah. Kala itu, tepatnya pada tahun 2015, Yudan seharusnya sudah duduk di bangku kelas 1 sekolah dasar.

Yudan adalah seorang anak berkebutuhan khusus karena mengidap syndrome autisme ringan. Pengalaman tak mengenakan itu terpaksa dilaluinya dengan tabah. Dia harus lebih sabar berjuang demi sang buah hati bisa bersekolah layaknya anak-anak lain seusia Yudan.

Terlintas dalam benak Prihatin ingin menyekolahkan Yudan ke Sekolah Luar Biasa (SLB) - tempat yang tepat bagi anak berkebutuhan khusus dan pengidap autisme. Akan tetapi, minimnya biaya dan jarak, membuatnya mengurungkan niat menyekolahkan Yudan ke SLB. Bagi Prihatin, jarak sekolah luar biasa terlampau jauh, 5 kilometer dari rumahnya. SLB terdekat yaitu hanya ada di Kecamatan Depok dan Sumber.

"Sudah beberapa sekolah dasar saya datangi. Ketika saya mendaftarkan Yudan ke sekolah di lingkungan dekat rumah, saya selalu ditanya, "anaknya bisa apa?". Saya jawab seadanya, kalau Yudan punya kelainan (autis)," ujar Prihatin menceritakan pengalaman mendaftarkan anaknya kepada sekolah IDN Times di SDN 2 Weru Kidul, Selasa (28/1).

1. Harapan Prihatin agar Yudan bisa diterima di sekolah

Nyala Asa Siswa ABK di SDN 2 Weru Kidul: Kecil, Namun BerartiKeceriaan siswa berkebutuhan khusus menghibur teman-temannya berjoget di halaman sekolah. (IDN Times/Wildan Ibnu)

Keterbatasan ekonomi tak membuat Prihatin tak patah arang. Dia terus mendampingi hari-hari Yudan untuk belajar, meski hanya mengajari membaca dan menulis di rumah. Namun begitu, semangat agar Yudan bisa bersekolah tak pernah pudar. Berjalannya waktu, doa-doanya terjawab Sang Maha Kuasa. Pada 2018, Prihatin mendapat informasi adanya sebuah sekolah dasar berbasis pendidikan inklusi (SD Negeri 2 Weru Kidul).

Harapan Yudan bisa bersekolah, semakin terbuka lebar. Prihatin tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk mendaftarkan anaknya di SD Negeri 2 Weru Kidul Kabupaten Cirebon. Kini, senyum keceriaan Yudan bisa belajar bersama siswa lain bisa dijumpai di setiap sudut sekolah.

Prihatin mengaku bersyukur karena anaknya bisa diterima di SD Negeri 2 Weru Kidul bersama siswa lain tanpa pembedaan. Dia berharap, tumbuh kembang sang anak semakin baik dengan model pendidikan pembiasaan dengan siswa non berkebutuhan khusus di kelas. Yudan pun tampak riang tanpa beban menjalani hari-hari sekolah, kendati sang ibu harus setia mendampingi Yudan.

"Harapannya, anak saya bisa sekolah tanpa dibeda-bedakan dengan yang lain," tutur Prihatin dengan mata berkaca-kaca.

2. Orang tua masih beranggapan anak berkebutuhan khusus tidak akan bisa sekolah

Nyala Asa Siswa ABK di SDN 2 Weru Kidul: Kecil, Namun BerartiPendidikan inklusi di SD Negeri 2 Weru Kidul tanpa membedakan siswa bukan dan berkebutuhan khusus dalam aktivitas belajar mengajar. (IDN Times/Wildan Ibnu)

Pandangan orang tua dari anak yang berkebutuhan khusus dan disabilitas masih menganggap bahwa anak-anak mereka jauh dari harapan memperoleh hak mengenyam pendidikan layaknya anak tanpa disabilitas. Kondisi ini sempat dialami oleh Prihatin yang sempat putus asa mendapat pendidikan setara.

Melansir dari Data Survei Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2018, hampir 3 dari 10 anak Indonesia dengan disabilitas tidak pernah mengenyam pendidikan. Terlebih, anak usia 7 hingga 18 tahun dengan disabilitas yang tidak bersekolah, mencapai angka hampir 140.000 orang.

Ruang terbatas bagi anak penyandang disabilitas mendapatkan akses pendidikan, membuat sebagian orang terketuk hatinya mewujudkan pendidikan inklusi. Salah satunya dilakukan oleh Suhadi. Sebelum menjabat Kepala SD Negeri 2 Weru Kidul, dia mendapat dukungan dari berbagai pihak untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi. Upaya itu perlahan-lahan terwujud, setelah proposal penyelenggaraan pendidikan inklusi 2004 diterima oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Bersama tiga sekolah dari Kabupaten Cirebon, SDN 2 Weru Kidul diterima menjadi sekolah percontohan untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi untuk menerima anak-anak berkebutuhan khusus. Menurutnya, kala itu, masih banyak anak siswa difabel yang kesulitan mengenyam pendidikan dasar. Hal itu dilatarbelakangi oleh keterbatasan ekonomi keluarga, serta akses lokasi ke sekolah SLB sangat jauh.

"Waktu itu tidak setiap sekolah umum mau menyelenggarakan pendidikan inklusi. Tapi kami mau. Kami hanya berpikir, anak berkebutuhan khusus sama-sama manusia yang punya hak setara untuk mendapat pendidikan. Jadi, jangan merampas hak mereka," tutur Suhadi.

3. Melawan stereotip ABK penghambat tumbuh kembang siswa non disabilitas

Nyala Asa Siswa ABK di SDN 2 Weru Kidul: Kecil, Namun BerartiTanpa pembedaan antara siswa berkebutuhan khusus dan bukan disabilitas, pendidikan inklusi berjalan di SDN 2 Weru Kidul Kabupaten Cirebon. (IDN Times/Wildan Ibnu)

Pertama kali SDN 2 Weru Kidul menyelenggarakan pendidikan inklusi, sedikitnya 27 anak berkebutuhan khusus mendaftar. Semua calon siswa ABK diterima dan mendapatkan pendidikan layak tanpa ada pembedaan dengan siswa bukan disabilitas. Siswa dengan kebutuhan khusus yang ada di SDN 2 Weru Kidul ini sangat variatif, meliputi penderita down syndrome, tuna rungu, slow linier, ADHD dengan tuna laras, lamban belajar, disleksia, low vision dan tuna daksa.

Pertama kali menyelenggarakan pendidikan inklusi, sekolah ini diterpa isu tak sedap yang diterima oleh para guru. Mulai dari kekhawatiran orang tua murid yang takut anaknya tertular, hingga dilabeli menghambat siswa lain non disabilitas. Stereotip semacam ini, bagi Suhadi dan para guru bukan menjadi penghambat. Melainkan sebagai tantangan mewujudkan sekolah berbasis inklusi.

"Banyak yang bilang sekolah ini menghambat siswa lain yang bukan berkebutuhan khusus. Bahkan, guru-guru di sekolah lain menganggap sekolah ini menyengsarakan. Tapi, kami jalan terus dan kami tunjukkan bahwa siswa kami yang difabel punya prestasi di luar bidang akademik," tuturnya.

4. Pendidikan inklusi: mereka berbaur bersama

Nyala Asa Siswa ABK di SDN 2 Weru Kidul: Kecil, Namun BerartiSiswa berkebutuhan khusus tampak antusias menerima materi pelajaran di kelas. (IDN Times/Wildan Ibnu)

Suhadi mengatakan, proses pembelajaran di SDN 2 Weru Kidul sama halnya dengan sekolah dasar lain. Kurikulum yang diajarkan pun berlaku sama bagi siswa penyandang kebutuhan khusus maupun bukan. Hanya saja, dia menyadari, bagi siswa yang mengalami down syndrome pasti akan lebih lamban menerima materi pelajaran.

Mengatasi hal demikian, para guru mencoba mengarahkan kepada siswa down syndrome untuk mengasah keterampilan lain. Para guru di lingkungan SDN 2 Weru Kidul sudah mendapatkan Pendidikan Luar Biasa (PLB) pusat pelayanan anak berkebutuhan khusus di SLB Negeri Cakrabuana.

Seperti di bidang seni dan olahraga. Dia yakin, proses pembelajaran disamakan dengan siswa lain bukan disabilitas ini, akan bertumbuh kembang dengan baik. Hal itu pula akan mendorong kepercayaan diri bagi anak bahwa dia bukan bagian "yang lain" dari lingkungan masyarakat. Anak merupakan warga masyarakat yang paling rentan dan terpinggirkan. Oleh karena itu, bagi Suhadi, penerimaan kepada anak berkebutuhan khusus merupakan usaha sadar sekolah memberikan selayaknya tempat untuk menjadi warga negara yang utuh.

“Mereka (anak berkebutuhan khusus) bukan sumber masalah. Justru kami dibutuhkan untuk membantu yang dibutuhkan untuk mereka. Kami mencoba menyadarkan kepada masyarakat yang masih menganggap anak disabilitas sulit berkembang," tegas Suhadi.

5. Kecil, namun sarat nilai edukasi

Nyala Asa Siswa ABK di SDN 2 Weru Kidul: Kecil, Namun BerartiSiswa berkebutuhan khusus di SDN 2 Weru Kidul lebih memilih belajar di perpustakaan daripada di kelas. (IDN Times/Wildan Ibnu)

Keceriaan anak-anak berkebutuhan khusus terlihat di lingkungan di SDN 2 Weru Kidul. Mereka berbaur tanpa ada sekat ruang untuk bermain dan belajar bersama. Sikap saling menghormati dan menyayangi antar sesama sudah diajarkan sejak pertama kali masuk sekolah. Salah satunya, Fani. Siswa kelas IV ini adalah penyandang kebutuhan khusus (autis).

Bagi orang yang belum kenal, tampak tak ada perbedaan bahwa Fani mengidap Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) ringan. Dia cenderung suka dengan dunianya sendiri. Fani punya kebiasaan unik dari siswa non disabilitas. Oleh para guru, Fani dianggap siswa yang enerjik dan mudah bosan.

Di kala siswa lain sibuk beraktivitas belajar, Fani memilih meninggalkan kelas untuk pergi ke kantin kecil di sudut lingkungan sekolah. Untuk membuat nyaman Fani dan siswa lain, guru-guru berinisiatif membuat perpustakaan mini di kantin. Kebetulan, pihak sekolah belum punya perpustakaan karena minimnya anggaran sekolah.

"Fani ini suka dengan dunianya sendiri. Dia lebih banyak belajar di perpustakaan di kantin. Karena orang tuanya menitipkan barang dagangannya, Fani juga kadang-kadang ikut bantu jualan ke teman-temannya," ujar Suhadi.

Di perpustakaan mini itulah Fani lebih belajar dan membaca buku pilihannya. Bahkan, setelah jam istirahat usai, Fani merapihkan buku-buku yang berserakan kemudian ditempatkan di tempat sedia kala. Kebiasaan Fani membuat para guru kagum. Tak hanya mahir membaca, Fani pun mampu menjelaskan isi buku yang sudah dibacanya.

Siswa usia 11 tahun itu pun jeli memperhatikan nasi bungkus milik ibunya yang dititipkan di kantin. Di sela-sela waktu belajar, Fani juga ikut menjajakan barang dagangan orang tuanya kepada siswa lain.

"Fani bosan di kelas, mau baca buku. Ini bukunya berantakan mau dibereskan dulu biar rapih," jawab Fani dengan wajah polosnya.

Kelucuan anak berkebutuhan khusus pun diperlihatkan Yudan dan Ilham. Mereka memang sedikit pemalu dan pendiam saat ditemui orang yang tak dikenalinya. Akan tetapi, mereka tampak ceria saat bel istirahat berbunyi. Yudan tak jarang menghibur teman-temannya dengan berjoget. Sedangkan Ilham kerap menunjukkan hasil karya menggambarnya di kelas.

Menurut Suhadi, untuk membantu menumbuh-kembangkan kemampuan siswa berkebutuhan khusus, diperlukan perhatian dari mulai hal terkecil namun sarat nilai edukasi. Menurutnya, tidak ada siswa yang tidak pintar, yang ada adalah bagaimana menumbuhkan minat dan keterampilan siswa yang beragam.

"Anak-anak berkebutuhan khusus ini punya keterampilan yang unik yang kadang nggak dimiliki siswa non disabilitas. Untuk itu harus ditangani secara khusus dan diarahkan untuk mengembangkan kemampuannya," tutup Suhadi. 

 

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya