Nestapa Perajin Terompet, Dirundung Isu Bakteri hingga Akhirnya Merugi

Perayaan tahun baru tak lagi menguntungkan

Cirebon, IDN Times - Sudah dua tahun belakangan, para perajin terompet di Cirebon tidak menyambut malam pergantian tahun dengan suka cita. Usaha mereka lesu. Ribuan terompet hasil buah tangannya, kini tak sesemarak dulu.

Bisnis usaha terompet tak sefantastis 5 atau 10 tahun lalu. Hal itu dialami oleh Carti, pengusaha terompet asal Desa Jamblang, Kabupaten Cirebon. Biasanya, terompet berbahan baku kertas ramai dibeli masyarakat untuk ditiup bersamaan meramaikan menjelang detik-detik tahun baru.

Perayaan dua tahun baru belakangan ini, Carti terpaksa menelan ludah dalam-dalam. Sebab, usahanya itu dirundung isu tak sedap. Mulai dari isu penyebaran bakteri, hingga bahan baku terompet dari kertas bertuliskan ayat-ayat kitab suci. Walhasil, usaha terompetnya merugi hingga jutaan rupiah.

1. Isu penyebaran bakteri lewat terompet

Nestapa Perajin Terompet, Dirundung Isu Bakteri hingga Akhirnya MerugiIDN Times/Wildan Ibnu

Sebelum isu penyebaran bakteri infeksius hingga tertera tulisan Arab, Carti mengaku bisa memproduksi 2 hingga 3 ribu kodi terompet. Hanya saja di tahun 2016 dan 2017, isu tersebut mulai menyeruak. Setahun berikutnya, dia hanya mampu mengeluarkan 500 kodi terompet dari gudang. Itu pun sisa hasil dari tahun sebelumnya.

"(Mulai lesu) dari dua tahun lalu, karena isu bakteri dan bahan kertas yang digunakan bertulikan arab. Dari situ, Kami mulai merasakan penurunan omzet yang besar," kata Carti di kediamannya di Kampung Telaga, Desa Jamblang, Kabupaten Cirebon, Kamis (18/12).

2. Tahun baru tidak lagi menguntungkan

Nestapa Perajin Terompet, Dirundung Isu Bakteri hingga Akhirnya MerugiIDN Times/Wildan Ibnu

Satu kodi terompet buatannya diberi harga bervariatif sesuai jenis dan bentuk. Dimulai dari Rp40 ribu hingga Rp70 ribu per buahnya. Carti mengatakan, sebelum dirundung isu tak sedap, dia bisa memperkerjakan lima orang laki-laki dan dua perempuan.

Namun, setelah terompet itu buatannya sepi peminat, dia mengerjakan sendiri terompet-terompet itu sambil menunggu warung depan rumahnya. Kini, usaha yang dibangun sudah 14 tahun itu, tak lagi menguntungkan di saat momen tahun baru. Ia terpaksa menurunkan harga terompet agar bisa lebih dijangkau pembeli.

"Dulu ada ada pekerjanya. Sekarang, tinggal saya sendiri yang mengerjakan," kata dia.

3. Terpaksa mencari pangsa pasar lain

Nestapa Perajin Terompet, Dirundung Isu Bakteri hingga Akhirnya MerugiIDN Times/Wildan Ibnu

Sepinya peminat usaha terompet pun dikeluhkan anaknya, Abdullah. Menurutnya, agar tetap bisa memenuhi kebutuhan kesehariannya, dia terpaksa harus mencari pangsa pasar ke luar kota. Terompet didesain lebih menarik lagi untuk mainan anak-anak. Mainan itu dipasarkan hingga ke daerah tetangga, seperti Brebes, Tegal, Pati dan Tangerang.

Kendati demikian, peruntungan usaha mainan tak sebesar seperti usaha terompet. Karena menghabiskan biaya operasional yang terlampau besar.

"Kalo usaha terompet, untungnya kecil omzetnya besar. Beda dengan jualan biaya operasional untuk kirim ke luar kota cukup besar. Kalau terompet, modal satuannya cuma Rp 4 ribu, dijual sebesar 10 ribu," terangnya.

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya