Ratusan Masjid di Jawa Barat Dipakai Menyebarkan Paham Radikal

Benarkah Jawa Barat adalah zona merah radikalisme?

Bandung, IDN Times – Bukan lagi rahasia jika Jawa Barat menjadi daerah yang sering dikunjungi Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri dalam menangkap jaringan teroris. Misalnya yang terungkap dalam sidang putusan Sendi Hidayat alias Abu Laila Bin Ahmad Jahidin di Pengadilan Tinggi Jakarta Timur beberapa waktu lalu, yang diputus bersalah karena melakukan permufakatan jahat dengan melakukan tindak pidana terorisme secara sengaja. Sendi merupakan salah satu dari banyak ekstrimis yang digodok di Bandung.

Selain memutus hukuman, hakim juga memaparkan bagaimana Sendi terjerumus dalam aksi ekstrim berlandaskan agama. Dalam salinan putusan yang diterima IDN Times, Sendi disebut terlibat Jamaah Anshor Daulah (JAD) hingga banyak mendatangi pengajian di Kota Bandung. Yang menyita perhatian adalah, penyebaran paham menyimpang itu banyak di lakukan di masjid-masjid Kota Kembang.

Salinan putusan itu juga menyebut bahwa Sendi diketahui telah berbaiat dengan Abu Bakar Al Baghdadi di Masjid Darul Ikhsan (Telkom), Gegegerkalong, Bandung. Berdasarkan pantauan IDN Times di lokasi, Masjid Darul Ikhsan berdiri di dalam kompleks Telkom University. Ketika masuk kompleks tersebut, terlihat dua pintu yang dijaga oleh seorang petugas keamanan. Sementara lokasi masjid tidak begitu jauh dari pintu gerbang kompleks Telkom University.

IDN Times mencoba mencari jawaban dari Dewan Kerukunan Masjid (DKM) terkait kiprah Sendi di sana, namun dalam perjalanannya tidak berbuah hasil. Selang beberapa saat, kami kemudian bertanya kepada seorang petugas satpam. Ia mengakui mengetahui kabar tersebut dari grup WhatsApp.

"Soal itu, iya ini ramai di grup (WhatsApp) juga. Saya sempat kaget juga," ujar petugas keamanan kampus yang enggan disebutkan namanya di halaman Masjid Darul Ikhsan, Selasa (6/11).

Meski berlokasi di dalam kompleks, satpam tersebut mengaku bahwa masjid dibuka untuk umum dan tidak dikhususkan untuk para pegawai saja. Disinggung sosok terdakwa Sendi, Ia mengaku, tidak pernah melihat secara jelas.

"Kalau masjid di sini ya jelas umum. Memang suka ada pengajian dari ustaz-ustaz," tutur dia.

1. Majid As-Sunnah dan Kelompok Cibiru

Ratusan Masjid di Jawa Barat Dipakai Menyebarkan Paham RadikalIDN Times/Arief Rahmat

Omong-omong soal masjid yang digunakan sebagai tempat berkembangnya paham ekstrimis, nama Masjid As-Sunnah, Cileunyi, Bandung, tak lepas dari catatan sejarah kelam Indonesia. Masjid itu dipercaya sebagai salah satu tempat penggodokan kombatan yang siap melakukan ancaman bagi orang-orang yang tak sepaham dengan kelompoknya.

Masjid As-Sunnah juga erat kaitannya dengan tempat Kelompok Cibiru dalam merencanakan berbagai aksinya. Kelompok Cibiru merupakan istilah untuk merujuk pada kelompok ekstrimis yang digodok di kawasan Cibiru, daerah timur Kota Bandung. Dalam satu dekade terakhir, Densus 88 terhitung sering melakukan penangkapan terduga teroris di sana.

Kelompok Cibiru juga menjadi momok bagi masyarakat ketika fakta bahwa Frederic C. Jean Salvi, warga Prancis yang menjadi Kombatan ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah) dan menjadi otak di balik serangkaian aksi terorisme, tercatat pernah berada di Cibiru, Kota Bandung selama enam bulan pada 2005. Nama Frederic juga tercatat sebagai salah satu otak di balik peledakan di depan Kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Prancis pada 2012.

Sebelum enam bulan di Cibiru, Bandung, Ali Jangkung, nama lain Frederic, mempelajari agama di Pesantren Darusy Syahadah, Boyolali, Jawa Tengah. Sementara selama berada di Cibiru, ia memberi dukungan maksimal terhadap gerakan ekstrim salah satunya dengan menyumbangkan mobil pribadi untuk mobil bom.

Ia kemudian minggat dari Indonesia terutama setelah Densus 88 menggeledah sebuah pemukiman di Cibiru pada 2010, di mana mereka menemukan berbagai macam bahan peledak. Konon rencananya, bahan peledak itu akan digunakan untuk menghancurkan Kedubes Amerika Serikat, Inggris, dan Australia—rencana besar dengan bom yang mungkin berkekuatan lebih besar dibandingkan Bom Bali pada 2002.

2. Memaparkan Mukoror Fi Tauhid

Ratusan Masjid di Jawa Barat Dipakai Menyebarkan Paham RadikalIlustrasi Terorisme. (IDN Times/Sukma Shakti)

Nama Masjid As-Sunnah kembali disebut dalam sidang putusan terhadap Sendi Hidayat. Dalam salinan surat putusan itu, Sendi Hidayat tercatat pernah aktif di Masjid As-Sunnah.

“Terdakwa Sendi Hidayat als. Abu Laila Bin Ahmad Jahidin bersama dengan kelompok JAD  (Jamaah Anshor Daulah) lainnya melaksanakan kegiatan-kegiatan berupa taklim dan i’dad (latihan fisik). Kegiatan taklim ini dilaksanakan di Masjid As-Sunnah…” tulis surat tersebut.

Kegiatan taklim itu kerap kali diisi oleh sejumlah ustaz, salah satunya Ustaz Muslih Afifi Affandi alias Muslih alias Abu Neil, yang mengajarkan tentang paham ekstrim. Seringkali Muslih menerangkan tentang mengapa seorang muslim perlu mendukung ISIS lewat berbagai cara hingga berani melakukan bom bunuh diri.

“Materi ini dimaksudkan untuk membakar semangat jihad melawan musuh yaitu aparat negara yang berhukum kepada hukum UUD 1945, di mana seluruh pembahasan ini berpedoman pada buku Mukoror Fi Tauhid,” tulis salinan putusan.

Buku Mukoror Fi Tauhid merupakan buku pedoman dari Daulah Isamiyah di Suriah kepada para pendukungnya di seluruh dunia.

3. As-Sunnah menjadi pusat pendidikan teroris

Ratusan Masjid di Jawa Barat Dipakai Menyebarkan Paham RadikalIDN Times/Arief Rahmat

Terhitung setelah Sendi berbaiat kepada Abu Bakar Al Baghdadi, berbagai kajian terkait dengan gerakan JAD semakin terpusat di Masjid As-Sunnah. Selain kegiatan kajian, Sendi juga disebut pernah mengikuti kegiatan latihan fisik dengan beberapa orang anggota JAD Bandung yang di antaranya adalah pelaku pengeboman bunuh diri di Kampung Melayu, Jakarta Timur, yakni Ichwan Nurul Salam.

“Bulan Desember tahun 2016, Sendi Hidayat beserta ikhwan JAD Bandung lainnya melaksanakan idad hiking/naik gunung Geulis/Putri di daerah Sumedang dengan cara naik angkot dari Masjid As-Sunnah pukul 20.00 WIB menuju pemukiman warga.”

Setelah menghabiskan kegiatan di puncak gunung, mereka kembali turun gunung dan sampai di Masjid As-Sunnah pada pukul 04.00 WIB. “Tujuan kegiatan fisik atau idad adalah sebagai bentuk persiapan sebelum melaksanakan hijrah dan jihad (berperang),” tulis salinan putusan.

4. Ratusan masjid di Jawa Barat dimanfaatkan oknum

Ratusan Masjid di Jawa Barat Dipakai Menyebarkan Paham RadikalIDN Times/Galih Persiana

Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat, Rafani Akhyar, membenarkan bahwa Kelompok Cibiru merupakan salah satu kumpulan yang melancarkan paham radikalisme di Indonesia. Di sisi lain, ia punya keyakinan bahwa Kelompok Cibiru belum dituntaskan secara menyeluruh.

“Kelompok Cibiru mungkin sudah terus-terusan ditangkap oleh aparat. Tapi mereka itu berpindah-pindah, berpencar, dan masih harus diwaspadai,” ujar Rafani, ketika ditemui IDN Times di kantornya, Kamis (7/11).

Rafani juga mengatakan kalau Jawa Barat merupakan lahan subur bagi berjamurnya paham radikal hingga terorisme di Indonesia. Ironinya, paham tersebut bukan lagi rahasia jika dilakukan di masjid-masjid yang semestinya dimuliakan sebagai kegiatan keagamaan.

Bahkan, Rafani berani menyebut bahwa terdapat ratusan masjid di Jawa Barat yang kerap dijadikan tempat untuk menyebarluaskan paham tersebut. “Mungkin ada puluhan sampai ratusan masjid yang menjadi tempat oknum ini menyebarluaskan pahamnya. Padahal, menyebarkan paham radikalisme di masjid adalah sebuah pelanggaran besar. Karena sejatinya Islam itu mengajarkan perdamaian. Islam itu agama yang damai,” katanya.

Menurut Rafani, ada tiga jenis kegiatan menyimpang yang sering dilakukan di masjid-masjid. “Saya menemukan beberapa kasus, terutama ketika kajian subuh. Kitabnya salafy yamani, itu paham paling ekstrim yang gampang sekali mem-bid’ah-kan orang lain (yang tak sepaham),” kata Rafani.

Tiga jenis kegiatan tersebut terbagi mulai dari menanamkan paham, melakukan perekrutan, hingga membaiat jemaah agar resmi menjadi bagian dari kelompok mereka.

Di Bandung, sebagai pusat kota Jawa Barat, ketiga jenis kegiatan tersebut masih eksis hingga saat ini. “Terutama kegiatan pertama (penanaman paham) yang paling eksis di Bandung,” ujar dia.

Sementara itu, Rafani menjelaskan bahwa yang diungkap di persidangan Jakarta Timur beberapa waktu lalu mengenai sindikasi teroris di Bandung merupakan jenis kegiatan ketiga. Ia pun mengatakan bahwa berbagai kegiatan mulai dari penanaman paham ekstrimis hingga pembaiatan masih ada di Jawa Barat hingga saat ini.

Ratusan Masjid di Jawa Barat Dipakai Menyebarkan Paham RadikalIDN Times/Arief Rahmat

5. Mengapa paham menyimpang tumbuh subur di Jawa Barat?

Ratusan Masjid di Jawa Barat Dipakai Menyebarkan Paham RadikalIlustrasi Rappler Indonesia.

Menurut kajiannya, Rafani menilai bahwa seseorang dapat terpapar menjadi seorang ekstrimis karena merasa terpinggirkan secara ekonomi, politik, dan sosial. “Ini sebenarnya tugas pemerintah, karena itu mangkanya upaya penyetaraan pada masyarakat sangat penting),” tutur dia.

Sementara itu di saat yang sama, lanjut Rafani, para pemuda di Jawa Barat tengah getol-getolnya mempelajari agama. Sayangnya, keinginan positif itu malah jatuh ke tangan ustaz-ustaz dengan pemikiran ekstrim. “Ada beberapa klaim yang terus digembar-gemborkan oleh aktor (ustaz) tersebut dengan pemahaman agama yang sempit,” kata Rafani.

Penanaman idealisme yang menyimpang, atau sering kita dengar dengan istilah cuci otak, dilakukan dengan cara yang tak mudah pun tak singkat. Rafani mengatakan jika seseorang perlu melalui beberapa tahap sebelum memantapkan diri sebagai seorang ekstrimis.

Tahapan pertama ialah dilandasi dengan niat baik seseorang dalam mempelajari agama namun tidak mendapat bimbingan yang tepat. Maksudnya, mereka hanya mempelajari agama secara tekstual tanpa mendapat bimbingan praktik beragama yang baik dalam bermasyarakat.

“Dengan begitu hasilnya bakal intoleran,” ujarnya. Dalam posisi intoleran seperti itu, Rafani menilai seseorang dengan mudah disusupi paham-paham radikal. Paham tersebut berperan untuk mengubah pemikiran seseorang dalam memandang negatif sistem sosial yang tak sesuai dengan ideologi mereka.

Setelah itu, seseorang yang terpapar paham radikalisme akan dengan mudah disusupi ideologi-ideologi terorisme. Misalnya, melakukan aksi bom bunuh diri di tempat-tempat yang mereka anggap tidak sejalur dengan ideologi mereka.

6. BNPT: Jawa Barat punya sejarah NII

Ratusan Masjid di Jawa Barat Dipakai Menyebarkan Paham RadikalIDN Times/Debbie Sutrisno

Bagi Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), Irfan Idris, penyebarluasan paham terorisme tidak mengenal wilayah. Artinya, Jawa Barat tidak melulu dianggap sebagai zona merah dalam urusan masyarakat paling banyak terpapar paham radikal.

“Kalau misalnya dikatakan zona merah, tentu ada dasarnya. Kami sebagai lembaga negara terus melakukan penelitian, non stop, tetapi tidak seluruh data bisa kami keluarkan karena kerja kami bersifat intelijen. Kalau perhitungan kami sebagai lembaga negara, harus memiliki standar atau alat ukur untuk mengatakan sebuah daerah merah atau tidak,” tutur Irfan, ketika dihubungi via telepon pada Jumat (8/11).

Meski demikian, Irfan menjelaskan bahwa Jawa Barat memang erat kaitannya dengan kemunculan berbagai paham di Indonesia. Misalnya, dalam catatan sejarah, Negara Islam Indonesia (NII) atau kerap disebut dengan Darul Islam (DI) lahir dan tumbuh di Jawa Barat. Gerakan separatis dari Republik Indonesia itu lama tertidur di Indonesia kemudian bangun kembali setelah munculnya gerakan teroris Suriah dan Irak.

Yang terang, menurut Irfan, masyarakat perlu turut serta mewaspadai lingkungan di sekitarnya bila mana mendapat ajakan untuk mempelajari paham-paham radikal berbasis agama.

Tak hanya itu, ia juga menekankan bahwa masjid merupakan tempat suci yang digunakan oleh oknum untuk menyebarluaskan paham menyimpang mereka. “Di mana ada masjid radikal? tidak ada masjid radikal, tapi ada oknum yang menyalahgunakan rumah suci itu. Ada oknum yang membuat lembaga, mengatasnamakan pesantren, dan itulah yang harus kita semua awasi,” ujar Irfan.

7. Sifat egaliter dan sentimen kesukuan masyarakat Jawa Barat

Ratusan Masjid di Jawa Barat Dipakai Menyebarkan Paham RadikalIDN Times/Galih Persiana

Sementara itu, pengamat terorisme Obsatar Sinaga mengatakan jika penyebarluasan paham radikal di Jawa Barat tidak bisa dibilang massive. Namun, ia membenarkan jika masih banyak pelaku penyebarluasan paham radikal yang belum dituntaskan oleh aparat, khususnya oleh Densus 88.

“Detasemen juga menilai bahwa sel-sel ini belum putus dan terus bekerja agar membuat sel-sel itu tidak menyambung lagi. Maka itu, polisi sejauh ini cenderung bersikap represif dengan tidak melakukan tembak di tempat seperti yang dilakukan Kapolri di masa lalu. Polisi sekarang lebih banyak mendengar,” ujar Rektor Universitas Widyatama ini, ketika ditemui IDN Times di kantornya, Jumat (8/11).

Dengan cara tembak di tempat, polisi mulai menyadari bahwa hal tersebut tidak akan memutus jaringan terorisme. Sebaliknya, sikap itu malah melipatgandakan dendam anak cucu mereka terhadap aparat keamanan negara.

Di sisi lain, Obsatar juga memandang Jawa Barat sebagai basis sempurna bagi para aktor penyebarluasan paham radikal. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pandangan tersebut, salah duanya ialah sifat egaliter masyarakat Jawa Barat dan sentimen kesukuan yang tinggi.

Masyarakat Jawa Barat, bagi Obsatar cenderung menerima dan membiarkan tumbuhnya aliran keagamaan di sekitar mereka. Itu mengapa beberapa organisasi masyarakat Islam yang sulit eksis di provinsi lain justru mendapat panggung di Jawa Barat.

Sementara soal sentimen kesukuan yang tinggi, ia menduga bahwa masyarakat Jawa Barat sering tidak mendapatkan porsi politik yang baik di tingkat pemerintah pusat. “Coba Anda pikirkan, Jokowi (Presiden Joko Widodo) mesti memutar otak memilih menteri dari Papua dan daerah-daerah lainnya. Tapi beliau menganggap bahwa menteri dari Jawa Barat itu enggak mesti ada,” katanya.

Maka itu, Obsatar berpendapat bahwa pemerintah semestinya bisa lebih memaksimalkan peran BNPT dalam penanggulangan terorisme. Sejauh ini, bagi dia, BNPT tidak dapat bekerja maksimal karena tidak memiliki anggaran yang cukup dari pemerintah. Bagaimana lagi, toh BNPT berdiri di bawah Kementerian Pertahanan di mana pos anggarannya mesti dibagi dengan pekerjaan kementerian yang lain.

“Padahal ini tugas berat BNPT. Sebuah isme (ajaran) itu ketika diajarkan rata-rata akan melekat selama 30 tahun lamanya. Bagaimana caranya BNPT menghilangkan isme dari pikiran manusia hanya dalam waktu beberapa hari saja karena keterbatasan anggaran? Bagaimana bisa?” ujar dia.

Topik:

  • Galih Persiana

Berita Terkini Lainnya