Difabel Tuntut Pemerintah Terbitkan Komisi Disabilitas Nasional

Perhatian pemerintah pada difabel dianggap alami kemunduran

Bandung, IDN Times – Puluhan orang penyandang disabilitas (Sebagian besar tuna netra) menggeruduk Gedung Sate dan berunjuk rasa, Kamis (31/1). Aksi mereka diawali dengan jalan mundur sejauh 4,5 km dimulai dari Jalan Pajajaran hingga Diponegoro (Gedung Sate), sebelum meneriaki Kantor Pemerintah Jawa Barat itu untuk mengutarakan aksinya.
 
Mereka menuntut kasih sayang pemerintah yang dianggap masih belum memerhatikan kaumnya.

1. Jalan mundur sebagai simbol

Difabel Tuntut Pemerintah Terbitkan Komisi Disabilitas NasionalIDN Times/Galih Persiana

Koordinator aksi yang juga bagian dari kelompok disabilitas (Penyandang tuna netra), Elda Fahmi Nur Taufiq mengatakan kalau jalan mundur mengandung banyak arti. Salah satunya ialah kritikan mereka atas kebijakan pemerintah yang semakin mundur secara simbolik.
 
“Selama bertahun-tahun, kami telah merasakan sistem dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Sayangnya, semakin kemari kesadaran, kepedulian, dan kebijakan yang kita rasakan disabilitas netra itu semakin mundur,” tutur mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, IKIP Siliwangi, Cimahi, Kamis (31/1) di pelatarang Gedung Sate, Bandung.

2. Pemangkasan kuota panti disabilitas

Difabel Tuntut Pemerintah Terbitkan Komisi Disabilitas NasionalIDN Times/Galih Persiana

Salah satu kemunduran kebijakan pemerintah dapat tercermin dari dipangkasnya kuota penerimaan anggota panti tuna netra tertua dan terbesar di Indonesia, Wyata Guna. Panti yang didirikan di Jalan Pajajaran, Bandung, itu memang menjadi tempat berlindung penyandang tuna netra sejak 1901.
 
“Panti Wyata Guna dulu menerima 250 anak. Sekarang jumlah anak di Wiyata Guna hanya 175. Tahun ini rencananya pemerinah akan memangkas kuota panti menjadi 50 orang. Saat ini, Wyata Guna sudah tidak menerima satu pun dari kami.
 
Saat ini, Panti Wyata Guna terkontrol di bawah Kementerian Sosial. Di sana, tuna netra dididik untuk membuka usaha sendiri seperti membuat anyaman, keset, dan berbagai kerajinan tangan lain. Tak hanya itu, di Wyata Guna pun tuna netra muslim diajarkan cara membaca Al-Quran braille.

3. Berharap Komisi Disabilitas Nasional segera terbit

Difabel Tuntut Pemerintah Terbitkan Komisi Disabilitas Nasionalwww.bbc.com

Tiga tahun lalu pemerintah telah membuat Undang-undang No.8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Dalam kepentingan regulasi tersebut, pemerintah dituntut menuntaskan hak disabilitas agar dapat bersosial seperti masyarakat umum.
 
Selanjutnya, pada long marchAtlet Paralimpik Peparnas tahun 2016, pemerintah kembali berjanji untuk mengurus kepentingan kaum disabilitas dengan menerbitkan Komisi Disabilitas Nasional. Janji itu dicanangkan Kementerian Pemuda dan Olahraga yang kukuh akan menjadi inisiator penerbitan Komisi Disabilitas Nasional.
 
“Tapi hingga saat ini, Komisi Disabilitas itu cuma wacana. Tak ada realisasi, mau pun rencana pemerintah lebih lanjut dalam menerbitkan komisi bagi kami,” tutur Koordinator Lapangan Aksi, Kharisma Nur Hakim, mahasiswa Universitas Islam Nusantara.

4. Seandainya Komisi Disabiltas sudah eksis

Difabel Tuntut Pemerintah Terbitkan Komisi Disabilitas NasionalIDN Times/Galih Persiana

Harapan kelompok disabilitas terkait adanya Komisi Disabilitas Nasional bukan tanpa sebab. Mereka mengaku masih merasakan diskriminasi sosial, dan tak punya tempat untuk mengutarakan keresahannya.
 
“Selama ini, tidak ada produk pemerintah yang mampu menampung aspirasi kami. Pertuni, ITNI, atau lembaga-lembaga lain terbukti tidak efektif untuk menampung keinginan para penyandang tuna netra,” ujar Elda.
 
Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) dan Ikatan Tuna Netra Indonesia (ITNI) merupakan dua organisasi yang eksis menyuarakan kepentingan kelompok tuna netra. Namun, gebrakan-gebrakan mereka dianggap belum memuaskan kelompoknya.

5. Menuntut kesetaraan hak menerima pendidikan

Difabel Tuntut Pemerintah Terbitkan Komisi Disabilitas NasionalIDN Times/Galih Persiana

Ada beberapa hak kaum disabilitas yang sulit untuk direalisasikan. Bagi Elda, di antaranya ialah hak untuk mendapat pendidikan setinggi-tingginya.
 
“Kami itu harus menempuh pendidikan luar biasa. Sementara, saat ini anak-anak tamatan SMA Luar Biasa itu tidak bisa masuk perguruan tinggi negeri. Dulu sempat bisa, sekarang justru mundur dan kami harus mencari perguruan tinggi swasta,” ujar Kharisma.
 
Menurut Kharisma, siswa SMA LB tak memiliki Nomor Induk Siswa Nasional (NISN) yang terkoneksi dengan pendidikan nasional. Walhasil, mereka tak memiliki kesempatan untuk mencicipi pendidikan di perguruan tinggi negeri.

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya