Sewindu Berlalu, SDGs Masih Belum Bisa Atasi Kemiskinan di Dunia

Masih ada ratusan juta orang di dunia masuk kategori miskin

Bandung, IDN Times - Sewindu sudah implementasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pasca-disepakati dan ditetapkan pada September 2015 lalu. Agenda pembangunan global yang ditargetkan tercapai pada 2030 ini nyatanya belum terimplementasi dengan baik.

Salah satu sasaran dalam SDGs adalah pengentasan rakyat dari kemiskinan dan kelaparan (agenda SDGs 1 dan SDGs 2). Dua sasaran ini dinilai belum tercapai dengan optimal di beberapa negara, terutama negara berkembang. Bila target ini mesti tercapai pada 2030, maka sisa tujuh tahun lagi untuk mengentaskan masalah tersebut.

Mengutip dari lama Unpad.ac.id, dalam penelitian kolaboratif yang dilakukan pakar SDGs Universitas Padjadjaran, King’s College London, dan United Nations University World Institute for Development Economics Research (UNU WIDER) mengungkap bahwa dunia tidak akan mampu mengentaskan kemiskinan dan kelaparan hingga 2030 mendatang.

Penelitian yang dilakukan pakar dari SDGs Center Unpad, yaitu Prof. Arief Anshory Yusuf, PhD, Prof. Dr. Zuzy Anna, Ahmad Komarulzaman, PhD, dan pakar dari King’s College London Prof. Andy Summer berhasil menerbitkan karya ilmiah berjudul “Will economic growth be sufficient to end global poverty? New projections of the UN Sustainable Development Goals”.

 

1. Sebanyak 600 juta orang diproyeksi tetap miskin pada 2030

Sewindu Berlalu, SDGs Masih Belum Bisa Atasi Kemiskinan di DuniaIlustrasi Kemiskinan (IDN Times/Arief Rahmat)

Pada penelitian tersebut, tim memproyeksikan bahwa pada 2030 mendatang–batas waktu SDGs–lebih dari 600 juta orang akan tetap berada dalam kemiskinan ekstrem dan 665 juta orang mengalami kekurangan gizi. Selain itu, laporan juga mengungkap, akan ada peningkatan jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem di wilayah Afrika Sub-Sahara (SSA) dan negara-negara berpendapatan rendah (LICs).

Kendati demikian, sebagian besar orang yang kekurangan gizi di dunia akan berada di negara-negara berpendapatan menengah (MICs). Selanjutnya, satu dari 10 penduduk negara berkembang masih kekurangan akses terhadap air bersih. Angka ini akan menjadi satu dari tiga di SSA dan LICs.

Data lain mengungkap, lebih dari satu dari lima orang di negara-negara berkembang masih kekurangan sanitasi dasar, dan dua hingga tiga orang di SSA dan LICs kekurangan akses terhadap sanitasi dasar. Prof. Arief menjelaskan, ada banyak faktor penyebab kemiskinan masih menghantui pencapaian SDGs.

Salah satunya adalah ketidakpastian kondisi ekonomi global akibat pandemi Covid-19 hingga perang Rusia-Ukraina. Ketidakpastian ini membuat pertumbuhan ekonomi jatuh.

“Pertumbuhan ekonomi diperlulan untuk pendanaan pengentasan kemiskinan,” ujarnya beberapa waktu lalu.

2. Banyak negara bangkrut buat upaya pengentasan kemiskinan sulit dilakukan

Sewindu Berlalu, SDGs Masih Belum Bisa Atasi Kemiskinan di Duniailustrasi foto kota Argentina (pexels/Piccaya)

Situasi yang tidak pasti juga menyebabkan krisis global. Dampak dari krisis tersebut adalah meningkatkan ketimpangan. Kelompok miskin akan terdampak lebih parah. Selain itu, krisis ini juga menyebabkan harga pangan melonjak hingga peningkatan malnutrisi.

“Kondisi ini terjadi di mana-mana, di seluruh dunia, juga di Indonesia dan Jawa Barat,” tegasnya.

Akibat dari situasi ketidakpastian ini, banyak negara miskin dan berkembang masuk ke perangkap debt trap. Beberapa negara, kata Prof. Arief, telah mengalami kebangkrutan, kondisi ini yang menjadi alasan mengapa upaya pencapaian pengentasan kemiskinan sulit dilakukan dalam tujuh tahun ke depan.

“SDGs tinggal tujuh tahun lagi, agak berat mitigasinya. Dan apa yang bisa dilakukan dalam tujuh tahun?” papar Prof. Arief.

3. Komunitas internasional harus pertimbangkan pendapatan negara berkembang

Sewindu Berlalu, SDGs Masih Belum Bisa Atasi Kemiskinan di DuniaGreen Network

Berada pada situasi sulit, masih ada asa untuk mengentaskan kemiskinan global. Tim berpendapat bahwa perlu ada tindakan redistributif. Kebijakan publik yang dilakukan seyogianya berfokus pada dua bidang. Bidang pertama adalah fokus kuat pada pertumbuhan inklusif dan produktif. Prof. Arief mengatakan, pertumbuhan inklusif merupakan pertumbuhan yang dibarengi dengan pengurangan ketimpangan pendapatan.

Berdasarkan semangat inklusivitas, redistribusi dilakukan melalui kebijakan yang membangun kapasitas produktif, memperkenalkan atau memperluas transfer pendapatan, dan memastikan investasi publik yang memadai di bidang kesehatan, air, dan kebersihan. Bidang kedua adalah pendanaan internasional baru perlu disediakan melalui keringanan utang atau bentuk pembiayaan lainnya, khususnya bagi negara-negara Selatan.

Tujuannya untuk meningkatkan ruang fiskal negara-negara Selatan. Hal ini juga mendukung fokus kuat untuk pencapaian sasaran pencapaian layak dan pertumbuhan ekonomi (SDGs 8).

"Komunitas internasional perlu lebih mempertimbangkan pendapatan negara-negara berkembang. Hal ini penting dilakukan untuk memperluas kapasitas mereka dalam menerapkan kebijakan pengentasan kemiskinan yang efektif," kata dia.

Baca Juga: Mahfud Jadi Cawapresnya, Ganjar: Kita Harus Dobrak Kemiskinan

Baca Juga: Peluang Ekosistem Ekonomi Hijau Hilirisasi Demi Tercapainya SDGs

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya