Semangat Santri Tunanetra Merajut Cahaya di Tengah Kegelapan

Kami sudah buta di dunia, jangan sampai buat di akhirat

Bandung, IDN Times - Dalam kegelapan, jari-jari belasan santri tunanetra sigap meraba lembaran Alquran braille. Mereka fokus membaca setiap pola dari titik timbul.

Tak ada guru yang mengajar secara khusus sore itu. Para santri belajar secara otodidak, membentuk kelompok, dan saling mengajar satu sama lain.

Kegiatan mengaji dilakukan para santri di Masjid Darushudur usai melaksanakan salat Ashar dan wiridan. Masjid tersebut berada di komplek pesantren Tahfidz Tunanetra Sam'an Darushudur, di Kampung Sekegawir, Kabupaten Bandung. Pesantren ini fokus memberikan pendidikan agama untuk penyandang tunanetra.

Masjid Darushudur menjadi pintu masuk utama menuju pesantren Sam'an. Di bagian depan dan samping kanan masjid terdapat area parkir yang luas. Sementara di bagian belakang berdiri bangunan yang dijadikan kamar. Santri pria ditempatkan di bagian bawah, sementara santri wanita berada di lantai atas. Di antara kamar tersebut terdapat dapur untuk memasak, sekaligus tempat bercanda gurau para santri serta pengurus pesantren.

Di ujung lorong, IDN Times bertemu dengan Zainal yang berada di dalam kamar seorang diri. Mengenakan baju koko putih dan peci emas bermotif hijau, dia duduk bersila membelakangi jendela. Tak ada suara nyaring, tapi tangan Zainal meraba-raba Alquran braille yang didudukan di antara kedua lutut.

"Sekarang saya masuk tahun keempat di sini (pesantren)," kata Zainal mengawali perbincangan kami kala itu, Senin (2/8/2021). Menutup Alquran braille miliknya, dia lantas bercerita keinginannya untuk mondok dan belajar ilmu agama di pesantren.

Zainal menjadi seorang tunanetra dari kecil. Beruntung orang tua, saudara, dan tetangga memberikan dukungan penuh kepadanya untuk mendapat pendidikan di tengah keterbatasan penglihatan. Dia kemudian menimba ilmu di yayasan Wyata Guna, Kota Bandung.

Usai menamatkan sekolah di sana, Zainal pun memiliki keinginan memperdalam ilmu agamanya. Dorongan ini berawal dari keinginannya sendiri. Tekad itu kian bulat setelah orang tua Zainal memberikan dukungan penuh.

"Saat ada informasi pesantren tunanetra di sini, saya langsung bilang mau ikut. Sekolah juga langsung daftarin (mendaftarkan) saya," ungkap Zainal.

1. Kami ingin bermanfaat untuk masyarakat

Semangat Santri Tunanetra Merajut Cahaya di Tengah KegelapanSalah satu santri pesantren Sam'an, Zainal, tengah membaca Alquran di kamarnya. IDN Times/Debbie Sutrisno

Salah satu hal yang ingin Zainal capai ketika mencari ilmu di pesantren adalah bisa membaca Alquran. Lebih tinggi lagi dia ini menjadi seorang tahfidz. Itu pula yang membuatnya mengambil jurusan ilmu tahfidz di pesantren Sam'an.

Dengan ilmu tersebut, pria 19 tahun ini ingin agar apa yang dia dapat selama belajar bisa bermanfaat bagi pribadi dan keluarganya. Lebih baik lagi ketika ilmu itu mampu memberikan kemanfaatan bagi masyarakat luas.

"Istilahnya ingin menyebarkan cahaya kepada orang lain," ujar Zainal.

Tak cukup di situ, dia pun memiliki cita-cita lebih mulai, yakni menjadi guru. Keinginan untuk berkuliah sudah ada dalam benaknya. Diskusi dengan keluarga dan pimpinan pesantren pun ditempuh agar bisa mendapat kesempatan berkuliah sembari pesantren.

Menurutnya, kondisi tunanetra yang dialaminya dan banyak orang bukanlah halangan atau sebuah kekurangan yang harus disesali. Apapun yang diberikan Sang Pencipta harus disyukuri, dan dipahami pasti ada kelebihan dari setiap hal yang diberikan kepada manusia.

"Tunanetra itu bukan berarti saya mendapat kekurangan. Ini ada kelebihan yang diberikan Allah, dan kelebihan itu bisa saya buktikan dengan di sini, menghapal Alquran," kata dia.

2. Menjadi seorang tunantera bukan berarti berpasarah diri

Semangat Santri Tunanetra Merajut Cahaya di Tengah KegelapanIDN Times/Debbie Sutrisno

Zainal jelas tidak sendirian di pesantren Sam'an. Saat ini setidaknya ada 20 santri yang tengah menggali ilmu secara luring (offline) dan mondok di sini. Santri pun datang tidak hanya dari Kota Bandung, ada pula mereka yang mondok berasal dari luar Provinsi Jawa Barat.

Salah satunya adalah Ahmad Zulfikar Alfarizi (26), yang berasal dari Kota Tegal, Jawa Tengah. Fariz, sapaan akrabnya, datang ke pesantren ini setelah dia tidak bisa menimbal ilmu di salah satu pesantren di Banten. Dari pesantren tersebut Fariz kemudian diarahkan ke pesantren Sam'an.

Berbeda dengan Zainal, Fariz kehilangan penglihatan di umurnya ke 19 tahun. Kondisi bagian mata yang menurun kemudian membuatnya kehilangan penglihatan. Mata sebelah kiri sudah gelap seluruhnya. Sedangkan mata sebelah kanan hanya bisa melihat samar. Itupun hanya mampu melihat di sebelah kanan saja, tidak seluruhnya.

Frustasi. Kondisi itu yang dialami Fariz ketika kemampuan penglihatannya tiba-tiba hilang. Di umur yang sudah dewasa dan telah melihat banyak hal, Fariz harus menerima bahwa dia sekarang tidak bisa melihat secara baik.

"Saya sudah berobat ke mana-mana. Mulai dari Jakarta, ujung timur Jawa, Sulawesi, sampai sempat ke Papua. Dari pengobatan tradisional hingga internasional saya coba. Dan semua dokter bilang ga bisa," kata Fariz menceritakan upayanya menyembuhkan mata.

Sampai suatu ketika setelah bersekolah di dinas sosial selama dua tahun bersama penyandang tunanetra lainnya, Fariz memutuskan untuk menimba ilmu agama di pesantren. Keinginan mendekatkan diri kepada Tuhan menjadi cara dia mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkan Sang Pencipta kepadanya.

"Satu-satunya kekuatan, keyakinan saya dengan keadaan seperti ini (adalah belajar agama). Kalau hal yang paling pasti saat ini (ketika) tidak melihat adalah kematian," ujarnya.

Dengan belajar di pesantren Fariz berharap mendapat banyak ilmu yang nantinya bisa menguatkan dia dan juga berbagi kepada masyarakat luas. Dia yakin bisa tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik di pesantren Sam'an Netra. Bersama teman-teman lainnya, Fariz ingin menjadi orang berguna di kemudian hari.

3. Boleh buta di dunia, tapi jangan di akhirat

Semangat Santri Tunanetra Merajut Cahaya di Tengah KegelapanIDN Times/Debbie Sutrisno

Setiap penyandang disabilitas jangan hanya jadi obyek penyantunan. Kalimat ini terlontar dari salah satu pendiri pesantren Sam'an Darushudur, ustadz Ridwan Effendi. Selama ini masyarakat termasuk pemerintah kerap beranggapan miring kepada para difabel dan menjadikan mereka sekedar obyek berbagai proyek.

Keadaan itulah yang coba diubah para pengurus Sam'an. Para difabel ini harus menjadi subyek yang bisa melakukan berbagai aktivitas dan bermanfaat bagi orang lain, tidak hanya jadi penerima manfaat.

Mendirikan yayasan sejak 2014 untuk kemudian berkembang menjadi sebuah pesantren pada 2018, Sam'an bertekad mencetak santri yang unggul dalam menghapal Alquran. Dengan ilmu itulah mereka diharap bisa bermanfaat untuk orang sekitar.

"Kita sudah buta di dunia, masa mau buta lagi di akhirat. Makanya kita belajar agama dan menghapal, minimal diberdayakan untuk jadi imam atau pidato. Sederhana, ga muluk-muluk," ujarnya.

Ridwan yang juga seorang penyandang tunanetra ini mengatakan, jumlah santri yang ada di pesantren ini memang tidak banyak. Pada angkatan pertama di 2018 ada 16 santri. Kemudian peminatnya bertambah menjadi 20 santri pada 2019, dan 25 santri pada 2020.

Hingga saat ini memang belum banyak alumnus dari pesantren. Namun setiap lulusan sudah mampu memberikan kontribusi. Beberapa lulusan dari Sam'an Netra Mulia misalnya, diangkat menjadi pengajar bagi para santri lainnya.

Selain itu ada juga yang mampu menjadi pengusaha, guru, atau meneruskan pendidikan di perguruan tinggi. Ridwan optimistis para alumnus ini bisa memiliki pemikiran yang berbeda dengan mengesampingkan egonya untuk berbagi kepada sesama.

"Intinya kalau kita mau masuk surga jangan sendiri, tapi ajak juga yang lain. Nah dengan belajar agama dan memberi ilmu kepada yang lain, itu jadi caranya," ungkap Ridwan.

Baca Juga: Membangun Kemandirian Penyandang Disabilitas di Tanah Pasundan

Baca Juga: Lipstick Untuk Difabel Ajak Perempuan Difabel Semakin Menginspirasi

4. Mari ulurkan tangan untuk keberlangsungan belajar penyandang tunanetra

Semangat Santri Tunanetra Merajut Cahaya di Tengah KegelapanSeorang karywan BSI tengah berbincang dengan santri perempuan pesantren Sam'an. IDN Times/Istimewa

Untuk menjalankan pesantren tidaklah mudah. Selama ini operasional pesantren masih banyak mengandalkan bantuan dari para dermawan.

Ridwan mengatakan, sejak pesantren ini dibuka para pengurus memang tidak membebankan para santri untuk membayar sejumlah uang ketika ingin belajar di pesantren. Maka upaya yang dilakukan adalah mencari orang yang ikhlas memberi bantuan.

Meski demikian cara itu tidak mudah. Kebutuhan operasional kerap serba pas-pasan. Dalam sebulan pesantren Sam'an membutuhkan setidaknya Rp10 juta hanya untuk operasional makan para santri dan pengurus yang seluruhnya mencapai 40 orang. Ini belum dengan biaya menggaji guru dan keperluan lainnya.

Di tengah pandemik COVID-19, lanjut Ridwan, pesantren membuka pembelajaran secara daring (online). Ada 75 penyandang tunanetra yang belajar sehingga total yang belajar baik daring dan luring mencapai 100 orang.

Satu hal yang membuat pengurus Sam'an ngap-ngapan adalah uang yang harus disediakan bagi santri yang belajar online. Uang ini diberikan kepada mereka untuk membeli kuota internet.

"Kalau tidak dikasih voucher (untuk iming-iming) belum tentu berhasil (banyak yang ikut) belajar online," papar Ridwan.

Agar program ini tetap berjalan, pengurus pesantren membuat program orang tua asuh. Lewat program ini para dermawan diharap bisa memberi bantuan minimal Rp100 ribu per bulan untuk satu santri selama setahun, atau selama santri itu belajar di pesantren ini.

"Kita target ada 2.400 orang terlibat. Ini bisa jadi ladang amal saleh biar pahalanya terus ngalir," ungkap Ridwan.

Selain program tersebut, pesantren Sam'an pun membuka peluang siapapun untuk membantu pembangunan infrastruktur penunjang. Salah satu yang sudah ikut berkontribusi adalah Bank Syariah Indonesia (BSI). Perbankan milik negara ini telah memberikan bantuan yang dipakai untuk membangun toilet dan ruang guru.

5. Optimalkan ziswaf untuk pengembangan santri dan UMKM lewat pondok pesantren

Semangat Santri Tunanetra Merajut Cahaya di Tengah KegelapanBank Syariah Indonesia berikan bantuan untuk pesantren Sam'an. IDN Times/Istimewa

Pandangan miring terhadap penyandang disabilitas memang tidak bisa dipungkiri. Banyak pihak yang menganggap para difabel ini tidak bisa berbuat banyak dalam berbagai macam kegiatan.

Pun di sektor pendidikan dan pekerjaan, para penyandang disabilitas kerap dipinggirkan secara tidak langsung. Padahal, mereka memiliki hak yang sama sebagai seorang warga negara.

Hal ini yang kemudian mendorong BSI untuk berkolaborasi dalam mencetak hafidz dan pengajar Alquran dari para tunanetra. Manager URO 4 Laznas BSMU Bandung Muhammad Mulyana menuturkan, tunanetra selama ini dianggap menjadi beban bagi orang lain. Padahal kenyataannya mereka justru memiliki potensi yang sama, atau bahkan lebih dibandingkan dengan orang yang dapat melihat.

"Banyak tuna netra yang tidak dapat membaca Alquran dengan berbagai kendala yang ada, salah satunya minimnya tenaga pengajar. Inilah tugas Laznas BSMU (Bangun Sejahtera Mitra Umat) didukung penuh oleh BSI, dengan mengoptimalkan penggunaan dana ziswaf untuk berkontribusi mendorong terbentuknya para pengajar hingga penghafal Alquran dari internal mereka," ujar Mulyana kepada IDN Times.

Selain pesantren Sam'an, lanjut Mulyana, BSI melalui Laznas BSMU sebagai mitra strategis dalam mengelola dan menyalurkan dana ziswaf telah menghadirkan berbagai program-program yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat. Di Jawa Barat, hingga Juli 2021, penerima manfaat bantuan modal usaha bagi UMKM melalui pondok pesantren mencapai 11.253 orang yang tersebar di 13 pondok pesantren dari Banten hingga Cirebon.

Berdasarkan data Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), per 2020 lalu total dana Ziswaf yang terkumpul diperkirakan mencapai Rp12,5 triliun, tumbuh dari tahun 2019 yang sebesar Rp10,6 triliun. Tahun ini, jumlahnya diestimasi bisa naik hingga Rp19,77 triliun. Meski pengumpulannya terus meningkat setiap tahun, tapi jumlah Ziswaf yang terakumulasi itu belum seberapa dibanding potensinya yang mencapai Rp327,6 triliun.

Sebagai bank syariah terbesar di Indonesia, Mulyana menyebut bahwa BSI menjadi salah satu bagian penting yang bisa memberikan perubahan bagi masyarakat Indonesia. Memiliki potensi 15 juta nasabah dan ribuan karyawan se-Indonesia, BSI dan Laznas BSMU akan menjadi corong kebaikan dalam mengedepankan literasi syariah dan potensi ziswaf di Indonesia.

Selain mengandalkan layanan pengumpulan ziswaf melalui platform mobile, BSI juga saat ini telah bekerjasama dengan Baznas untuk pengembangan pengelolaan Ziswaf. Kerja sama yang telah berjalan sejauh ini adalah penggunaan kartu Co-Brand Tap Cash IB Hasanah, pembinaan manajemen mitra penghimpunan Baznas, dan terciptanya kemudahan akses informasi data zakat antara kedua institusi.

"Langkah yang kami lakukan adalah selalu meniatkan diri bahwa ini pekerjaan dan tugas dari Allah, memitigasi kebutuhan guna mendorong program-program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia, melakukan sosialisasi kebaikan dengan memanfaatkan teknologi atau media online yang saat ini terus berkembang, melakukan penguatan melalui transparansi dan akuntabilitas melalui audit dana ziswaf," pungkasnya.

Baca Juga: Kolaborasi dengan Rumah Zakat, Bayar ZISWAF Kini bisa di JNE

Baca Juga: BSI Cetak Laba Rp1,48 Triliun di Semester I-2021

Baca Juga: Profil BRISyariah, Bank BUMN yang Kini Gabung dalam BSI

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya