Ridwan Kamil: Modal Jadi Pimpinan Daerah di Indonesia Memang Mahal

Mendagri akan segera mengevaluasi sistem Pilkada

Bandung, IDN Times - Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil turut menanggapi pernyataan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, terkait biaya politik untuk menjadi kepala daerah yang mahal. Dalam penyataannya, untuk untuk menjadi pimpinan daerah sekelas bupati saja diperlukan biaya mencapai angka Rp30 miliar.

Emil mengaku, untuk menjadi kepala daerah memang membutuhkan dana yang tidak sedikit. Bahkan, ketika dia maju dalam pemilihan Wali Kota Bandung dan Gubernur Jawa Barat pun modalnya mahal. Meski demikian, Emil enggan merinci berapa dana yang harus dirogohnya dalam dua pemilihan kepala daerah tersebut.

"Kalau mahal itu pasti mahal tapi angkanya saya tidak hafal kan semua ada di timses (tim sukses)," kata dia di Hotel Hilton, Kota Bandung, Selasa (19/11).

Dia pun menegaskan, demokrasi di Indonesia terhitung mahal. "Tapi intinya demokrasi kita memang mahal," ujarnya.

1. Mendagri akan lakukan kajian akademis terkait Pilkada

Ridwan Kamil: Modal Jadi Pimpinan Daerah di Indonesia Memang MahalIDN Times/Aan Pranata

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegaskan, pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung harus dievaluasi. Hal ini ditegaskan Tito dalam rapat bersama Komite I DPD, di Gedung DPD, Senayan, Jakarta, Senin (18/11).

Menurut Tito, harus ada kajian akademis secara mendalam terkait pelaksanaan pilkada langsung yang sudah berjalan 15 tahun.

"Saya garis bawahi pernyataan saya, bahwa pelaksanaan pilkada langsung harus dievaluasi," kata Tito seperti dilansir Antara.

2. Tito sebut calon bupati setidaknya harus punya Rp30 miliar untuk ikut pilkada

Ridwan Kamil: Modal Jadi Pimpinan Daerah di Indonesia Memang MahalMenteri Dalam Negeri Tito Karnavian (Dok. Kemendagri)

Menurut Tito, pilkada langsung tidak hanya menyedot banyak Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), tapi juga menguras kocek para calon kepala daerah.

"Bupati kalau gak punya Rp30 miliar, gak akan berani. Wali kota dan gubernur lebih tinggi lagi. Kalau dia bilang gak bayar, 0 persen, saya mau ketemu orangnya," ujar Tito sambil tertawa, seperti dikutip dari teropongsenayan.com.

Biaya tersebut, lanjut mantan Kapolri itu, jelas sangat mahal. Apalagi jika dibandingkan dengan pendapatan kepala daerah berupa gaji dan tunjangan, yang hanya sampai pada Rp12 miliar. Dengan demikian, para kepala daerah itu akan tekor.

"Mana mau tekor. Saya mau hormat itu kalau ada yang mau tekor demi mengabdi kepada bangsa," ujar Tito.

3. Evaluasi harus dengan mekanisme kajian akademik

Ridwan Kamil: Modal Jadi Pimpinan Daerah di Indonesia Memang Mahal(Ilustrasi) ANTARA FOTO/Reno Esnir

Karena itulah, Tito menilai harus ada evaluasi pelaksanaan pilkada langsung.

"Kemudian evaluasi itu harus dilakukan dengan mekanisme evaluasi kajian akademik, jangan kajian empirik berdasarkan pemikiran semata," kata Tito.

Metode penelitiannya juga harus dilakukan secara benar oleh institusi yang reliabel dengan reputasi yang bagus.

"Mungkin tiga sampai empat kajian lembaga penting yang terkenal baru kita lihat hasilnya, bisa saja temuannya nanti (menyatakan) bahwa publik lebih sepakat dengan pilkada langsung terus dilanjutkan," ucap Tito.

4. Tito sampaikan pilkada asimetris juga perlu jadi pertimbangan

Ridwan Kamil: Modal Jadi Pimpinan Daerah di Indonesia Memang Mahal(Mendagri Tito Karnavian) Dok. Kemendagri

Menurut Tito, bila kajian akademik nanti menunjukkan tidak perlu pilkada langsung tapi pilkada asimetris, hal itu juga perlu jadi pertimbangan.

Pilkada asimetris, ujar Tito, tidak semua pilkadanya langsung. Untuk melihat model tersebut perlu dibuat indeks kedewasaan demokrasi tiap-tiap daerah.

"Saya sudah bicara dengan Kepala Pusat Statistik dan Kepala Balitbang di Kemendagri untuk menggunakan anggaran itu, untuk mencoba melihat indeks demokrasi, daerah mana yang siap melaksanakan pilkada langsung dan tidak," ujar dia.

Dengan adanya kajian akademis itu, kata Tito, Kemendagri tidak pada posisi pengambil keputusan memilih sistem pilkada langsung, tidak langsung, atau asimetris.

Baca Juga: Ganjar Ingatkan Mendagri Tito Hati-hati Soal Pilkada Tak Langsung

Baca Juga: OTT Dinilai Mendagri Tito Bukan Prestasi Hebat, KPK: Tapi Tetap Perlu

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya