Politik Identitas Hantui Proses Pemilihan Umum di Jawa Barat 

Masyarakat harusnya jangan terbawa arus informasi negatif

Bandung, IDN Times - Provinsi Jawa Barat masih mempunyai pekerjaan rumah dalam menurunkan angka intoleransi. Berdasaran data dari Indonesia Political Opinion (IPO) melalui publikasi bertajuk Dinamika Isu Sosial Kemasyarakatan dan Konstelasi Politik 2024 di Jawa Barat, menyebut kategori kerukunan umat beragama di Jabar hanya mendapat nilai 1,0 persen dibanding 11 kategori lain atas penilaian warga terhadap kinerja pemprov yang lebih baik.

Angka tersebut mencerminkan bahwa toleransi umat beragama di Jabar sangat rendah. Kondisi ini kemudian dikhawatirkan bisa menimbulkan politik identitas menjelang pemilihan presiden maupun kepala daerah.

Koordinator JAKATARUB, Arfi Pandu Dinata mengatakan bahwa politik identitas ini timbul bukan hanya karena dari masyarakatnya semata. Namun ada campur tangan para calon yang ingin dipilih, baik itu Pilpres, Pilkada, atau Pileg. Mereka biasanya menjanjikan sesuatu pada kelompok tertentu untuk memenangkannya.

Hasil dari kemenangan tersebut kemudian bisa menjadi sebuah produk hukum yang mendukung kelompok tertentu. "Perda syariah, kemudian perda P4S di Bogor, Perda Tata Nilai di Tasik, dan beberapa aturan di daerah. Produk itu mungkin hasil tawaran pada musim politik," ujar Arfi saat berbincang dengan IDN Times, Jumat (18/11/2022).

Kebijakan-kebijakan yang kemudian memihak pada kelompok tertentu bisa menimbulkan ketidakamanan pada kelompok minoritas yang dampaknya akan buruk di tengah kemajemukan masyarakat Jawa Barat.

1. Toleransi basa-basi menjamur di waktu kampanye tokoh politik

Politik Identitas Hantui Proses Pemilihan Umum di Jawa Barat Ilustrasi Anti SARA (IDN Times/Mardya Shakti)

Seiring kemajuan teknologi dan media sosial yang mudah diakses masyarakat, isu toleransi memang makin kental. Pejabat dari tingkat pusat hingga ke daerah lantas berbondong-bondong menyuarakan toleransi di masyarakat.

Mereka mulai masuk ke kelompok marginal, atau minoritas dalam hal keyakinan. Meski demikian, hal ini harus diantisipasi karena bisa jadi para pejabat dan calon pejabat menyuarakan kerukunan di masyarakat sekedar untuk mencari suara.

"Kalau di Jakatarub ini kita menyebutkan toleransi basa-basi. Ini (toleransi) hanya dijual di spanduk, tiba-tiba ada deklarasi calon tertentu yang datang ke minoritas. Tujuannya mencari suara," ungkap Arfi.

Maka, masyarakat perlu meningkatkan literasi mengenai perpoltiikan di Indonesia. Jika memungkinkan, para pemilik suara bisa melakukan pengecekan latar belakang orang yang mencalonkan diri dalam pemilu.

2. Pencegahan kampanye negatif sulit dibendung

Politik Identitas Hantui Proses Pemilihan Umum di Jawa Barat Ilustrasi (IDN Times/Galih Persiana)

Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Jawa Barat menilai potensi kasus ujaran kebencian masih tinggi pada saat pemilu. Terlebih saat ini metode kampanye mulai merambah ke media siber terutama media sosial.

Koordinator Divisi Pencegahan dan Partisipasi Masyakarat (P2M) Bawaslu Jabar, Zaki Hilmi menuturkan, persoalan ini memang sulit dibendung oleh penyelenggara pemilu seperti KPU termasuk badan pengawas, yaitu Bawaslu.

Lembaga ini memiliki keterbatasan dalam hal informasi teknologi terutama untuk menulusuri akun-akun media sosial (medsos) yang bersifat anonim.

Oleh karena itu, Bawaslu akan berkoordinasi dengan berbagai platform media yang sudah ada seperti Instagram, Facebook, Twitter, dan lainnya agar pelanggaran kampanye di media sosial dapat diantisipasi.

"Kita menyadari betul hambatan ruang kebebasan ekspresi dalam konteks penyelenggaraan Pemilu dengan konteks penggunaan medsos beda tipis. Misalkan peserta pemilu belum ada tapi sudah ada pandangan atau stigma negatif terhadap orang yang baru menjadi bakal calon," kata Zaki.

Selain itu, Bawaslu juga memiliki keterbatasan regulasi dalam hal penindakan secara tegas soal terhadap pelaku pelanggaran ujaran kebencian pada medsos atau media mainstrem.

"Misalkan tabloid Indonesia Barokah itu tiba-tiba ada. Makanya kita tidak bisa menindak sepihak, kita koordinasi dengan dewan pers untuk mengkatagorikan, apakah yang meanstrem seperti itu masuk dalam karya jurnalis atau tidak," kata dia.

3. Banyak pengaburan informasi dalam kampanye lewat media siber

Politik Identitas Hantui Proses Pemilihan Umum di Jawa Barat Ilustrasi penerapan aplikasi digital dalam jaringan website. IDN Times/Feny Maulia Agustin

Sementara itu, Direktur Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ahmad Fauzi menilai model kampanye di masa yang akan datang akan menggunakan siber dari pada media ruang.

"Media ruang akan ditinggalkan oleh hampir semua peserta Pemilu meski pun secara verbal yang diakui di dalam Pemilu kita itu adalah yang media ruang," kata Ray.

Musababnya, media ruang membutuhkan biaya yang besar sedangkan efeknya tidak terlalu berdampak pada elektabilitas dan membangun emosi caleg dan para penyidik.

Ray menerangkan, transisi kampanye ke media siber akan dipilih karena tidak memerlukan biaya yang besar, daya jangkau luar biasa, data tahan lebih lama bahkan hingga tahun 2024. Apalagi kampanye di media siber tidak membutuhkan narasi yang panjang dan memiliki kecendrungan kritisme yang mendahului.

"Jadi orang hanya baca yang hebohnya saja, soal benar atau tidak orang tidak baca," terangnya.

Kendati begitu, Ray menyoroti masalah yang mungkin bisa terjadi dalam kampanye media siber. Menurutnya, kampanye di medsos memiliki kecenderungan negatif, hoaks, dan politik identitas.

"Tantangan yang terberatnya itu hoaks dan politik identitas. Kalau negatif campaign itu bagus-bagus saja, itu tradisi yang harus kita tumbuhkan cuman sekarang ini ada pengaburan terhadap definisi negatif campaign menjadi hoks dan politik identitas, bahkan turun ke black campaign, itu sesuatu yang salah," tuturnya.

4. Masyarakat jangan terjerembab dalam narasi usang intoleransi

Politik Identitas Hantui Proses Pemilihan Umum di Jawa Barat Ilustrasi Provokator (IDN Times/Mardya Shakti)

Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, sudah sering mengingatkan masyarakat agar tidak terbawa arus dalam menyebarkan konten berbau sara dalam keseharian termasuk nanti ketika pemilu. Menurutnya, masyarakat Indonesia khususnya Jawa Barat sudah saatnya bergerak ke depan dan masyarakat jangan lagi membahas hal sifatnya sudah usang. Apalagi, kata dia, konflik yang terjadi masih pada poin yang itu-itu saja.

"Kita fokus pada hal-hal yang sifatnya masa depan jangan habiskan waktu untuk mengurusi hal-hal yang sebenarnya sudah selesai narasinya," ungkapnya.

Dia berharap masyarakat bisa lebih menguatkan persatuan. Jangan sampai ada lagi perongrong idiologi negara yang sudah menjadi identitas negara.

"Saat kemerdekaan dikumandangkan bahwa Bhinneka Tunggal Ika jangan di ganggu-ganggu lagi ya, perbedaan jangan dibesar-besarkan. Carilah selalu persamaan di antara banyaknya perbedaan," ucapnya.

Baca Juga: Ganggu Toleransi, Millenials di Klungkung Tolak Politik Identitas

Baca Juga: Publik Diimbau Waspadai Sosok di Balik Politik Identitas Jelang 2024

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya