Perselisihan Palestina-Israel Bukan Konflik, Tapi Penjajahan

Indonesia harus berperan aktif meredam kekerasan di Gaza

Bandung, IDN Times - Aksi kekerasan yang terjadi kepada masyarakat Palestina di Gaza disebut bukan merupakan konflik kedua negara. Kejadian yang yang puluhan tahun terjadi merupakan penjajahan yang dilakukan Israel terhadap masyarakat Palestina.

Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga, Kementerian Luar Negeri, Muhsin Syihab mengatakan, kejadian demi kejadian di kawasan tersebut lebih nampak sebagai penjajahan dari komunitas satu terhadap komunitas lainnya. Oleh karena itu diperlukan peran dunia internasional secara menyeluruh untuk menyelesaikan penjajahan tersebut.

“Apa yang terjadi di Palestina bukan konflik, tapi yang terjadi adalah penjajahan,” kata Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga, Kementerian Luar Negeri, Muhsin Syihab melalui siaran pers dikutip IDN Times, Minggu (23/5/2021).

Ia merujuk temuan pelapor khusus PBB Makarim Wibisono yang mengungkapkan ketidakberdayaan kelompok Palestina atas dominasi Israel seperti penangkapan sepihak, dan penahanan dalam jangka waktu yang lama.

1. Upaya melobi PBB dan komunitas dunia lain selalu terhalang pendukung Israel

Perselisihan Palestina-Israel Bukan Konflik, Tapi PenjajahanBella Hadid dalam kampanye offline pro Palestina. (instagram.com/gigihadid)

Menurutnya, selama penjajahan terjadi pihak Palestina nampak sangat tidak berdaya melawan kekuatan Israel selama penjajahan berlangsung. Maka diperlukan intervensi komunitas internasional seperti PBB, OKI dan komunitas dunia lain dalam rangka membantu Palestina keluar dari penjajahan tersebut.

Sejauh ini ada sejumlah tantangan dari upaya penyelesaian tersebut. Pertama, dinamika di dalam tubuh PBB sendiri yang mendukung kelompok Israel. Dukungan tersebut membuat keberpihakan PBB pada Palestina berkurang.

“Ada perbedaan pandangan dalam PBB. Beberapa negara selalu nyatakan kecaman terhadap aksi teror dan dukungan terhadap hak Israel untuk membela diri. Ditambah lagi hak veto anggota tetap DK PBB yang dapat menghambat aksi DK PBB,” ujar dia.

2. Negara-negara Arab pun sulit lakukan dukungan yang utuh bagi Palestina

Perselisihan Palestina-Israel Bukan Konflik, Tapi PenjajahanApi dan asap muncul selama serangan udara Israel di tengah meningkat nya kekerasan Israel-Palestina, di Jalur Gaza selatan, Selasa (11/5/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Ibraheem Abu Mustafa.

Tantangan lain datang dari dunia Arab sendiri yang terikat kepentingan perdagangan dengan Israel, seperti Turki, Mesir, Qatar, Arab Saudi, Pakistan, dan yang lain. Kepentingan ini membuat suara negara-negara Arab tidak sepenuhnya utuh dalam membela Palestina.

Argumentasi kedua ini diperkuat oleh Pengamat Hubungan Internasional & Founder of Synergy Policies, Dinna Prapto Rahardjo. Menurutnya Persekutuan antarnegara Arab dan negara-negara mayoritas Islam yang cenderung tidak bertahan lama. “Faktornya adalah ekonomi, takhta, dan sistem pemerintahan. Ini dipahami betul oleh Israel, sehingga melemahkan solidaritas terhadap Palestina,” ujar Dinna Prapto.

Dalam kondisi ketidaksolidan kelompok Arab, Israel justru memperkuat jejaring ekonominya hingga ke luar komunitas Arab yang membuatnya memiliki banyak relasi dalam mendukung kepentingannya. Inilah menurut dia yang bisa menjelaskan mengapa Amerika Serikat selalu ikut apapun suara dari Israel dalam kasus Palestina.

Ekspansi perdangan Israel dilakukan ke berbagai negara mulai dari negara kecil sampai ke negara besar, mulai dari sektor pertanian, industri, teknologi dan yang lain. Banyak negara mengadopsi dari Israel, dan tersebut memanfaatkan ketergantungan negara-negara itu.

"Sedangkan lingkaran dalam yakni negara-neagra mayoritas muslim sibuk dengan kesibukan internal, termausk konflik antarnegara muslim,” kata dia.

Dengan dukungan banyak negara yang terbangun atas kepentingan ekonomi, Israel berani menentang dan melanggar upaya resolusi yang dibuat oleh PBB. Keberanian ini dilandaskan dukungan negara-negara besar yang memiliki hak veto seperti Amerika.

“Israel tidak pernah mengikuti resolusi PBB, apapun itu. Selalu dilanggar, dan itu didukung Amerika,” ujarnya.

3. Ulama dari Indonesia harus ikut mengambil peran atas kekejian di Palestina

Perselisihan Palestina-Israel Bukan Konflik, Tapi PenjajahanKota Bogor gelar doa bersama untuk keselamatan warga Palestina. (Dok Humas Pemkot Bogor)

Anggota Majelis Ulama Indonesia Sudarnoto Abdul Hakim mengungkapkan adanya peran strategis yang bisa dimainkan kelompok agama di Indonesia. Sebab mayoritas organisasi keagamaan di Indonesia menganut prinsip Islam Rahmatan Lil Alamain.

Secara khusus ia menyinggung, Majelis Ulama Indonesia memiliki tanggung jawab dalam penjajahan Israel atas palestina. Penjajahan tersebut, kata dia, bertentangan dengan semangat perlindungan terhadap umat manusia.

Arah kebijakan MUI adalah Islam sebagai agama yang berasa di jalan tengah, mewujudkan nilai-nilai keteladanan (Qudwah Hasanah), memberikan pelayanan dan perlindungan kepada umat (khidmah dan himayatul ummah), saling tolong menolong (taáwun), adanya gerakan kemanusiaan (tansiqul harokah), kesamaan cara berfikir dan bertindak untuk visi kemanusiaan yang sama (taswiyatul manhaj), dan penyatuan umat (tauhidul ummah).

“Ulama harus memberikan pelayanan sebaik-baiknya pada umat. Salah satunya mengamalkan nilai-nilai zakat sebagai filantropi untuk kemanusiaan. Dana yang diterima ini seluruhnya akan disalurkan ke Palestina sebagai korban korban perang,” kata Sudarnoto.

Baca Juga: 10 Tempat Bersejarah di Palestina yang Jadi Favorit Wisatawan

Baca Juga: Muhammadiyah Berhasil Himpun Bantuan Rp7 Miliar untuk Palestina

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya