Penutupan IPAL Pabrik Tekstil Secara Paksa Bukan Solusi Atasi Citarum

Justru timbul masalah baru yang membuat produksi terhambat

Bandung, IDN Times - Satuan tugas (Satgas) Citarum dalam beberapa waktu ke belakang kerap melakukan penutupan secara paksa lubang pembuangan limbah industri khususnya sektor tekstil. Penutupan ini dilakukan karena Satgas Citarum menilai buangan dari instalasi pembuangan limbah (IPAL) pabrik-pabrik tersebut tidak sesuai dan membuat kondisi Sungai Citarum semakin kotor.

Meski demikian, Ketua Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (Ikatsi) Suharno Rusdi mengatakan, penutupan pembuangan IPAL secara sepihak sekedar jalan pintas pemerintah dalam menanggulangi tercemarnya sungai Citarum. Sebab timbul masalah baru ketika pembuangan IPAL langsung ditutup seperti dengan pengecoran.

"Sebenarnya itu tidak menyelesaikan masalah karena justru menimbulkan masalah baru," ujar Suharno usai pelantikan Ikasti Jawa Barat, Sabtu (14/9).

1. Pemerintah sebaiknya membangun IPAL terpadu yang murah meriah

Penutupan IPAL Pabrik Tekstil Secara Paksa Bukan Solusi Atasi CitarumIDN Times/Debbie Sutrisno

Menurutnya, salah satu langkah yang bisa dilakukan pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah adalah membangun IPAL terpadu yang bisa diakses pelaku industri tanpa mengeluarkan anggaran operasional banyak. Selama ini ada IPAL terpadu yang dibangun perusahaan swasta. Alhasil mereka ingin menghasilkan uang yang berdampak pada mahalnya penggunaan IPAL terpadu tersebut.

Untuk IPAL dari pemerintah harapannya ongkos yang ditarik dari pelaku industri tidak banyak. Ongkos itu hanya digunakan untuk operasional saja tanpa memungut untuk keuntungan perusahaan.

"Nah itu salah satu jalan di mana harus ada modifikasi khusus untuk IPAL terpadu di lingkungan industri yang bisa diakses tanpa biaya mahal," ujar Suharno.

2. Modifikasi mesin untuk meminimalisir limbah tekstil sudah ada

Penutupan IPAL Pabrik Tekstil Secara Paksa Bukan Solusi Atasi CitarumDok.IDN Times/Istimewa

Menurut Suharno, pemerintah saat ini harus ikut serta dalam merekonstruksi permesinan untuk industri tekstil, khususnya yang berkaitan pencelupan kain. Sebab sektor industri tersebut yang paling banyak menghasilkan limbah cair.

Saat ini sudah ada mesin yang bisa melakukan pencelupan tanpa menggunakan air. Artinya limbah yang dihasilkan pun tidak banyak. Namun, investasi untuk mesin tersebut tidak murah.

"Pemerintah harus bisa membuka jalan untuk investasi ini, karena industri ini kan mampu menyerap banyak tenaga kerja," kata dia.

3. Serbuan impor tekstil makin melemahkan industri dalam negeri

Penutupan IPAL Pabrik Tekstil Secara Paksa Bukan Solusi Atasi CitarumPixabay

Suharno mengatakan, selain penutupan IPAL yang bisa menurunkan produksi tekstil, saat ini industri dalam negeri harus bersaing dengan serbuan produk impor yang membanjiri pasar Indonesia. Dengan harga yang lebih murah masyarakat lebih memilih produk tersebut padahal kualitasnya belum lebih bagus dari produk buatan pabrik tekstil lokal.

Dia pun meminta pemerintah bisa lebih giat melakukan pengawasan dan bisa tegas untuk meminimalisir produk luar negeri. Jangan sampai produk yang sejenis buatan dalam negeri justru kalah bersaing dengan barang impor.

"Maka harus ada penjagaan ketat, kalau bisa pajak bea masuk itu dinaikkan," ujarnya.

Dia mengatakan, produk impor Cina saat ini sangat merajalela di Indonesia. Murahnya harga barang dari negara tersebut karena produk dari Negeri Tirai Bambu sulit masuk ke pasar Amerika yang sebelumnya bisa mudah menembus ke sana.

Akibat pasar bebas, maka produk di Cina menumpuk sehingga memilih menjual murah ketimbang tidak terjual sama sekali. "Kita deh yang kan imbasnya," kata dia.

Baca Juga: Pemindahan Industri Tekstil ke Segitiga Rebana Butuh SDM Mumpuni

Baca Juga: Ribuan Buruh di PHK Sementara Dampak Perbaikan Sungai Citarum

Topik:

  • Galih Persiana

Berita Terkini Lainnya