Merajut Mimpi Siswa Difabel Intelektual di Tengah Himpitan Pandemik

Setiap anak punya hak mendapat pendidikan yang setara

Bandung, IDN Times - Ruang kelas Yayasan PKBM Hidayah riuh para siswa yang tengah belajar. Sejak pagi, sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD) ini sudah ramai didatangi orang tua yang membawa anaknya untuk belajar tatap muka. Relaksasi aturan untuk membuka pembelajaran tatap muka (PTM) disambut senyum riang siswa maupun orang tua.

Di antara suara gelak tawa 50 siswa PAUD yang belajar di dalam, terdapat satu ruang kelas yang hening. Letaknya di dekat pintu masuk. Dari balik kaca, kelas ini terlihat cukup gelap. Hanya ada dua guru dan empat murid yang tengah belajar. Kelas ini digunakan untuk belajar siswa difabel intelektual.

Eulis dan Dhea Tri, dua guru tengah mengajar secara terpisah. Dua siswa, Aji dan Dika, belajar dengan Eulis di salah satu sudut ruangan. Di sisi ruangan lainnya, terdapat Dhea yang tengah memberikan pelajaran menghitung kepada Galih. Sementara, satu siswa lainnya, yaitu Amar yang cukup pemalu belajar terpisah, menggambar dan menyusun puzzle.

"Tadi kan kita sudah belajar menghitung dan menulis, sekarang kita belajar mewarnai. Yang digambar sekarang ayah yah. Pensil warna ada di meja, Sok dipilih yang kalian suka yang mana," ujar Eulis memberi arahan pada Aji dan Dika usai keduanya belajar menulis, Senin (13/9/2021).

Aji dan Dika langsung sigap mengambil pensil warna. Aji membubuhkan warna oranye di bagian muka gambar ayah, sedangkan Dika menggunakan pensil warna biru. Sesekali mereka bercanda, meninggalkan kursi, berkeliling kelas, lalu duduk kembali di kursi merampungkan tugas mewarnai.

"Sudah bu," teriak Dika menunjukkan gambar yang baru setengah diwarnainya, bagian muka saja.

Sementara itu, Aji masih terus mewarnai badan ayah pada gambar tanpa terganggu teriakan Dika. Di saat Aji dan Dika lanjut mewarnai, Eulis menuju tempat Amar yang ada di samping meja guru. Di balik tembok penyekat dari triplek cokelat, siswa sekolah dasar (SD) ini sedang asyik bermain teka-teki puzzle, mulai dari gambar buah-buahan, kendaraan, hingga rambu lalu lintas.

"Kalau Amar ini memang pemalu. Jadi dia belum mau gabung sama yang lain buat belajar. Inginnya belajar sendirian," ungkap Eulis sambil bercengkerama dengan Amar.

Menggunakan pakaian merah putih khas siswa SD, Amar sangat menikmati permainannya. Dia kerap memanggil Eulis dan menunjukkan potongan puzzle yang dipegangnya untuk ditempel. Bertanya apakah puzzle yang dipegang sudah sesuai dengan letaknya atau belum.

Selesai mengajar Amar, Eulis kembali ke kursinya di depan Dika dan Aji. Hasil mewarnai keduanya lantas dibawa menuju ke tembok pemisah ruangan.

"Ayo ditempel di sini," ajak Eulis kepada Aji dan Dika. Amar yang mendengar ajakan itu sesekali mengintip malu-malu dari balik tembok.

PKBM Hidayah terletak di Kelurahan Bojongsari, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tempat yang juga disebut Dreamable ini memiliki beberapa ruangan, di mana salah satunya digunakan untuk mengajar siswa dengan difabel intelektual.

Eulis menceritakan, pandemik COVID-19 menjadi momok yang menakutkan bagi para siswa difabel intelektual. Musababnya, siswa yang selama ini belajar di dalam kelas harus berhenti sejenak. Aturan pemerintah yang tidak memperbolehkan kegiatan pembelajaran tatap muka selama pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) membuat mereka kesulitan mengakses pendidikan saat belajar secara daring dari rumah.

Mengakali hal tersebut, saat awal pandemik pada 2020, para guru di Dreamable kerap mengajar dari rumah ke rumah setiap siswa secara bergilir. Namun waktu belajar sangat terbatas sekitar dua jam saja. Para siswa pun hanya dapat belajar tatap muka dengan guru satu kali dalam seminggu. Sisanya diupayakan secara daring.

Memasuki 2021, guru di PKBM Hidayah sempat membuka kelas secara sembunyi-sembunyi. Hanya mereka yang jarak dekat dan tidak harus dijemput, bisa datang ke sekolah. Sedangkan mereka yang jauh tetap belajar di rumah secara daring, atau ketika guru datang ke kediamannya.

"Kita biasa ada mobil jemputan untuk siswa yang jauh. Tapi karena PPKM pas COVID-19 lagi tinggi-tingginya, susah juga kalau mobil jalan kan nanti ketahuan. Ga enak sama masyarakat. Jadi kita khususkan yang bisa datang sendiri diantar orang tua untuk belajar di sekolah," ungkap Eulis.

Para siswa gembira ketika ikut belajar di kelas

Merajut Mimpi Siswa Difabel Intelektual di Tengah Himpitan PandemikIDN Times/Debbie Sutrisno

Sudah belasan tahun Eulis berkecimpung mengajar siswa difabel intelektual. Keinginan memberikan ilmu dan membangun kemandirian para siswa tidak terlepas dari anak kandungnya yang juga seorang difabel grahita.

Menurutnya, setiap anak difabel memiliki ketertarikan untuk belajar. Meski terlihat sulit, mengajar mereka justru lebih mudah. Membimbing siswa difabel terlebih yang intelektual justru gampang karena jumlahnya tidak banyak. Mereka pun cenderung menuruti guru ketika merasa sudah nyaman.

"Anak ini senang belajar. Yang jadi masalah justru orang tua yang kadang mikir buat apa anaknya disekolahkan, nanti juga tidak bisa apa-apa," ungkap Eulis.

Pola pikir ini yang ingin diubah Eulis dan rekan guru lainnya. Menurut dia, siswa dengan kebutuhan khusus tetap memiliki peluang untuk mandiri dengan ilmu yang didapat. Mereka pun bisa diajarkan keterampilan yang mampu menunjang aktivitas keseharian.

Dia mencontohkan, di Dreamable ini sudah siswa dewasa yang kemudian bisa membuat kerajinan tangan seperti busa untuk tusukan jarum, anting-anting, gelang, hingga kerajinan lainnya. Ini membuktikan bahwa mereka bisa berkreasi ketika dibimbing dengan benar. 

"Jadi kita tidak hanya ajarkan belajar saja, ada juga keterampilan. Sekarang sudah lima orang yang sedikit-sedikit bisa mandiri buat keterampilan," kata Eulis.

Saat ini jumlah siswa yang terdaftar di Dreamable ada 52 orang. Angka ini naik turun karena ada yang keluar dan masuk sebagai siswa baru. Eulis berharap siswa difabel yang bersekolah bisa terus bertambah. Dia tidak ingin masih ada orang tua yang menyembunyikan anak difabel intelektual, di saat mereka membutuhkan pendidikan agar bisa lebih mandiri.

Berdasarkan data yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Profil Anak Indonesia pada 2019, jumlah anak di Indonesia mencapai 84,4 juta atau 31,6 persen dari total penduduk. Dari angka tersebut, terdapat 0,79 persen atau sekitar 650 ribu anak difabel dengan rentang usia 2 hingga 17 tahun.

Untuk presentasi anak difabel usia 7 hingga 17 tahun yang berpartisipasi bersekolah hanya 72,77 persen. 13,5 persen dari mereka tidak atau belum bersekolah, dan 9,58 persen sudah tidak bersekolah lagi.

Mengutip data Direktorat Sekolah Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), pada 2019 terdapat 59 ribu sekolah yang menyediakan pendidikan inklusi. Sementara pada 2020 terdapat 99 ribu sekolah dengan pendidikan inklusi. Untuk jumlah peserta didiknya yaitu pada tahun 2019 sebanyak 17.473 peserta didik, dan tahun 2020 sebanyak 17.558 peserta didik.

Jangan abaikan hak para difabel intelektual

Merajut Mimpi Siswa Difabel Intelektual di Tengah Himpitan PandemikIDN Times/Debbie Sutrisno

Setiap orang berhak mendapat kesetaraan dalam akses pendidikan, kesehatan, dan lainnya, tak terkecuali penyandang difabel. Pemikiran inilah yang menjadi motif Dhea Tri terjun menjadi pengajar anak difabel.

Dhea mengatakan, sebelum menjadi seorang guru, di kampungnya dulu dirinya melihat seorang anak yang tidak sekolah seperti anak sebayanya. Setelah ditelisik, anak itu berkebutuhan khusus dan harus ada penanganan tertentu untuk membuat dia mendapat ilmu setara teman-temannya.

Dari pengalaman itu, Dhea kemudian memilih jurusan di perkuliahan agar bisa mengajar siswa difabel. Hingga akhirnya dia bergabung dengan PKBM Hidayah.

Selama belajar dan mengajar, satu persoalan yang belum bisa diselesaikan pemerintah adalah membangun kemandirian anak berkebutuhan khusus. Untuk difabel intelektual misalnya, mereka selama ini hanya menjadi obyek bantuan semata. Padahal seharusnya, mereka bisa diberi pelatihan dan akses untuk mampu mandiri termasuk dalam hal finansial.

"Karena banyak yang sudah bukan usia sekolah kalau mereka masih sekolah, belajar menulis dan membaca mau sampai kapan. Kemandirian ini harus kita terapkan, mungkin tidak banyak tapi daripada diam di rumah, tidur, tidak ada aktivitas," kata Dhea.

Sebagai yayasan, PKBM Hidayah bukan tanpa usaha memberikan berbagai pelatihan kepada siswa difabel intelektual. Namun, karena dukungan pendanaan mayoritas dari yayasan maka banyak kekurangan untuk memenuhi kebutuhan para siswa.

Seperti untuk pelatihan, seharusnya para siswa bisa mendapat modal kerja di rumahnya masing-masing. Ketika siswa berada di sekolah mereka bisa belajar kerajinan tangan, dan ketika di rumah bisa mengaplikasikannya kembali dengan pendampingan dari pihak keluarga.

Untuk itu, Dhea sangat berharap pemerintah bisa turun tangan memberikan bantuan untuk pelatihan pada siswa. Harapannya, ke depan siswa yang sudah lulus bisa memiliki kemampuan membuat kerajinan secara mandiri.

Merajut Mimpi Siswa Difabel Intelektual di Tengah Himpitan PandemikInfografis seputar difabel intelektual (IDN Times/Aditya Pratama)

Sementara itu, Wulan (28), orang tua Deris (7), salah satu siswa difabel berterima kasih dengan adanya Dreamable. Keinginannya menyekolahkan Deris agar bisa menimba ilmu seperti anak seumurannya terwujud ketika datang ke PKBM Hidayah. Deris yang masuk dalam kategori tantrum sangat mudah meluapkan emosinya. Di sisi lain, dia masih sulit untuk berbicara.

Sempat masuk ke sekolah di dekat rumahnya, Deris kerap mengamuk dan membanting barang di dalam kelas. Alhasil, Wulan menarik Deris dari sekolah tersebut karena khawatir membahayakan siswa lainnya.

"Saya juga ga enak sama orang tua yang lain. Terus sekarang belajar di sini, lumayan ada perubahan untuk berbicaranya. Kalau aktifnya sih masih," ungkap Wulan.

Perubahan meski perlahan ini memberikan harapan untuk Wulan bagi Deris. Dia sangat ingin Deris bisa lancar berbicara dan tidak sering mengamuk. "Semoga Deris bisa lebih baik lagi belajarnya kaya anak yang lain," kata Wulan.

Kemandirian anak berkebutuhan khusus bisa diasah

Merajut Mimpi Siswa Difabel Intelektual di Tengah Himpitan PandemikSalah satu siswa di Dreamwork sedang menggunakan mesin cuci. IDN Times/Debbie Sutrisno

Rika (20) dan Risma (12) duduk di kursi menghadap tembok. Ditemani pengajar, keduanya belajar menulis dan menghitung di meja masing-masing. Bukan di ruangan sekolah, kegiatan ini berlangsung di rumah Kepala Desa Lengkong, Kabupaten Bandung.

Dreamwork dan Omah Therapy. Begitu Yulianti menamai tempat ini. Wanita yang juga penggagas sekolah Dreamable, sekolah khusus anak difabel intelektual, sekarang tengah menjalankan misi membantu anak berkebutuhan khusus (ABK) lebih mandiri secara finansial.

Sudah setahun Yulianti dan rekan-rekannya mendirikan tempat belajar sekaligus 'bekerja' para siswa difabel intelektual ini. Meski belum memiliki tempat yang nyaman, 10 siswa di Dreamwork sudah mulai belajar membaca, menghitung, juga membuat produk yang bisa dipasarkan.

Selain itu, di sini siswa difabel pun diajarkan dan diperbantukan di Rumah Laundry. Tiga mesin pencucian yang ada dipakai untuk belajar para siswa mencuci pakaian menggunakan mesin. Sementara untuk keperluan sabun mencuci, siswa ikut membuatnya didampingi para pengajar di rumah ini.

"Untuk di rumah ini kita ada rumah therapy, rumah laundry, dan rumah kreativitas. Jadi anak difabel intelektual yang datang ke sini bisa mendapatkan tiga kegiatan bermanfaat," ujar Yulianti saat berbincang dengan IDN Times.

Pendirian Dreamwork di Desa Lengkong ini bukan tanpa alasan. Setelah sempat berbincang dengan kepala desa, Yuli mendapat data bahwa banyak anak difabel intelektual di daerah ini yang sudah besar atau pascasekolah. Sayangnya, ketika berbincang dengan keluarga mayoritas anak difabel itu ternyata belum pernah mengenyam pendidikan.

Dari latar belakang tersebut, Yuli melihat bahwa pengembangan kreativitas dan kemandirian kepada anak-anak ini lebih cocok diterapkan. Sembari tetap menyediakan ruang untuk anak difabel yang ingin belajar.

Kegiatan di Dreamwork dilakukan setiap hari Selasa dan Kamis. Dalam satu kali pertemuan hanya dari jam 08.00 WIB sampai 11.00 WIB. Jam belajar ini tidak terlepas dari pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).

Kurikulum belajar tidak dibuat sedetail mungkin. Pertemuan demi pertemuan dilakukan secara santai tapi serius. Ketika mereka belajar, maka pendamping akan sigap mengajar baik ilmu membaca, menghitung, atau bahkan melukis.

Sementara saat membuat kreativitas seperti sabun cuci baju atau pengepakan teh untuk terapis, siswa diajarkan agar lebih mahir dan bisa secara mandiri. Harapannya, ke depan mereka tidak selalu harus didampingi tapi sudah terbiasa melakukannya sendiri.

Yuli menyebut, sejauh ini memang belum ada siswa di Dreamwork yang sudah mahir dalam pengepakan atau mencuci pakaian. Jangka waktu satu tahun dianggap masih terlalu dini untuk menjadikan pada difabel intelektual ini mandiri.

"Banyaknya hal bisa dilakukan membuat mereka lebih senang belajar, tidak bosan. Kalau tidak jenuh maka pengembangan (diri) mereka juga bisa lebih mudah," ujar Yuli.

Keberadaan Dremwork ini, lanjut Yuli, saat ini tidak hanya dimanfaatkan oleh anak difabel intelektual yang ada di Desa Lengkong. Sejumlah anak di desa tetangga pun sudah ada yang mendaftar untuk belajar di sini. Musababnya, keberadaan SLB masih minim.

Nurna Yunisa (34), salah satu relawan Dreamwork yang juga istri Kepala Desa Lengkong menuturkan, keberadaan tempat belajar ini sangat membantu keluarga yang memiliki akan difabel intelektual. Selama ini pihak desa tidak memiliki program untuk belajar bagi mereka. Sedangkan SLB yang bisa diakses jaraknya jauh. Alhasil orang tua difabel intelektual sangat jarang mengantarkan mereka belajar karena keterbatasan finansial.

Di sisi lain, bantuan kepada pada difabel pun baru sedikit sekali. Mayoritas masih berupa uang atau barang yang diberikan dinas sosial (dinsos). Padahal keperluan ABK ini tidak hanya berupa bantuan barang semata. Butuh hal lebih mendasar seperti pendidikan dan pelatihan agar mereka ke depannya bisa lebih mandiri.

"Jadi (bantuan) hanya tunjangan gitu setahun sekali, dan itu pengaturannya di dinsos. Kalau pelatihan atau pembelajaran itu ga ada," kata Nurna.

Saat ini anak difabel intelektual di Desa Lengkong yang terdata baru ada 14 orang khusus di RW 12. Jumlah ini diprediksi lebih banyak karena tidak semua orang tua memberikan informasi bahwa anaknya difabel. Masih banyak keluarga yang justru menyembunyikan keberadaan mereka karena takut muncul stigma miring dari masyarakat.

Menurutnya, anak difabel intelektual di Desa Lengkong sempat ada yang bersekolah sekelas dengan siswa nondifabel. Sayang anak tersebut kerap mendapat perundungan dan membuatnya tidak ingin bersekolah kembali.

Nurna pun sangat berterima kasih dengan didirikannya Dreamwork di Desa Lengkong. Anak difabel intelektual akhirnya bisa mendapat pendidikan seperti anak lainnya. Mereka juga mendapat berbagai pelatihan yang diharap bisa menghasilkan finansial untuk diri sendiri.

Tak hanya itu, keberadaan Dreamwok juga memberikan semangat untuk orang tua siswa. Biasanya para orang tua tersebut malu untuk berbagi informasi terkait kondisi anaknya.

"Kita di sini juga mengajarkan keahlian atau kreativitas untuk keluarga siswa difabel. Jadi manfaatnya bukan hanya dirasakan siswanya saja tapi juga orang tuanya," kata Nurna.

Orang tua Risma, Nendah, bersyukur dengan adanya komunitas yang mau memberikan pendidikan pada anaknya. Selama ini Risma yang sudah seharusnya mengenyam pendidikan hanya berdiam di rumah dan belajar dari kakak-kakanya.

Dia kebingungan ke mana harus memasukkan Risma untuk belajar. Dengan segala keterbatasan akhirnya Nendah hanya menjaga Risma di rumah dan belajar seadanya.

Setahun ikut pelajaran di Dreamwork, Risma terlihat ada perubahan. Meski tingkah lakunya masih bandel, tapi Risma menyukai ketika datang dan belajar bersama teman lainnya.

"Alhamdulillah sedikit-sedikit (ada perubahan). Kalau aktifnya masih sih, tapi memang sekarang mulai bisa diatur," ujar Nendah ditemui saat menjemput Risma pulang.

Sebagai anak bungsu dari enam bersaudara, Risma menjadi kesayangan keluarga. Nendah dan semua kakak Risma berupaya memberikan kesetaraan untuknya agar bisa mengakses banyak hal seperti anak nondifabel.

Nendah optimistis ke depannya Risma bisa lebih pintar dalam pendidikan dan mampu mandiri melakukan banyak hal. "Kan sekarang baru setahun, mudah-mudahan ma nanti bisa lebih baik lagi kalau sudah sering belajar di sini," kata dia.

Baca Juga: Kemnaker Perkuat Komitmen Pemerintah Daerah untuk Pekerja Disabilitas

Setiap anak punya keahlian yang bisa diasah

Merajut Mimpi Siswa Difabel Intelektual di Tengah Himpitan PandemikSiswa di Dreamwork sedang belajar melukis pohon. IDN Times/Debbie Sutrisno

Dosen Pendididkan Luar Biasa (PLB) Universitas Islam Nusantara (Uninus) Eka Yuli Astuti menjelaskan bahwa setiap anak difabel memiliki kemampuan yang berbeda. Ini membuat hambatan untuk belajar dan lebih mandiri setiap anak pun tidak sama.

Khusus untuk difabel intelektual, hambatan yang dimiliki mereka bisa berpengaruh pada diri pribadi, sosial, fisik, akademik, hingga kemandirian beradaptasi dengan lingkungan. Meski demikian rintangan ini bisa dilalui ketika anak tersebut sedari kecil sudah dibantu, termasuk memberikan mereka pembelajaran di lembaga pendidikan.

"Semakin dini memberikan pendidikan, kita bisa tahun nantinya program pengembangan diri apa dan bagaimana prosesnya yang bisa dilakukan sehingga anak tersebut bisa mandiri mengurusi dirinya sehari-hari. Istilahnya itu bina diri," ujar Eka.

Dalam sistem pendidikan di sekolah luar biasa (SLB) misalnya, siswa yang masuk ke di tingkat sekolah dasar (SD) akan diajarkan menulis dan menghitung. Saat masuk ke level sekolah menengah pertama (SMP) mereka mulai dikenalkan dengan ragam kreativitas dan kegiatan yang nantinya bisa disukai.

Kemudian saat masuk level sekolah menengah atas (SMA), pembelajaran vokasional lebih diutamakan. Di sana siswa bisa memilih apakah mendalami ilmu memasak, kecantikan, atau kerajinan tangan.

Eka menyebut, ketika seorang anak menjadi difabel intelektual bukan berarti mereka tidak bisa bekerja seperti biasa. Tingkatan difabel mulai dari difabel intelektual ringan, sedang, hingga berat, bisa jadi pembeda pada apa yang bisa dikerjakan.

"Jadi seperti yang difabel intelektual ringan ini bisa bekerja dengan bahasa yang sederhana. Misal mereka ada yang bekerja di toko bantu orang tua kalau hanya memberikan barang atau mengembalikan kembalian uang yang pecahannya mudah itu bisa dilakukan," papar Eka.

Satu hal yang kerap jadi persoalan dalam kemandirian para difabel adalah kemauan orang tua atau keluarga memberikan pendidikan yang layak. Selama ini masih ada saja keluarga yang enggan terbuka dengan keberadaan anak yang masuk kategori difabel.

Padahal ini penting agar anak tersebut pun bisa bertemu dengan orang lain dan mendapat pelajaran baik akademik maupun sosial ketika berbaur dengan banyak orang. Bahkan, bukan tidak mungkin di balik kondisi tersebut, anak difabel bisa menorehkan prestasi yang membanggakan.

Kesetaraan bagi para difabel harus diupayakan bersama

Merajut Mimpi Siswa Difabel Intelektual di Tengah Himpitan PandemikIDN Times/Debbie Sutrisno

Di Kabupaten Bandung, pemerintah daerah sudah membuat sejumlah program pendidikan dan pelatihan untuk para difabel. Namun, mayoritas ditujukan untuk difabel daksa. Sementara belum ada program serius yang bisa didapatkan difabel intelektual.

Kepala Seksi Disabilitas Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Bandung, Agus Rahmat mengatakan, pemberian program untuk difabel intelektual terbilang lebih sulit, baik dari segi pendidikan maupun pelatihan untuk kemandiriannya. Di sisi lain, masih banyak orang tua difabel intelektual yang menyembunyikan anaknya ketimbang membawanya ke sekolah untuk belajar.

Selama ini pelatihan dari Dinsos Kabupaten Bandung untuk mereka yang masuk kategori difabel daksa. Mereka ada yang membuka usaha sendiri seperti berjualan makanan atau membuat kerajinan untuk kemudian diperjualbelikan. Selain itu ada juga produk dari difabel yang disimpan dalam berbagai pameran.

"Nah gini kalau yang seperti down syndrome, (difabel) intelektual di kami juga sudah coba ditelusuri agak susah. Jadi adanya dari komunitas. Makanya dari kami belum ada pembelajaran khusus seperti itu (untuk kemandirian)," ujar Agus ketika dihubungi IDN Times.

Persoalan anggaran pun jadi hal yang tidak terelakan. Minimnya dana untuk memberikan pendidikan hingga bantuan lainnya kepada difabel membuat program yang mampu membuat kesetaraan terhadap mereka sulit diwujudkan.

Meski demikian, Agus berjanji pihaknya akan mencari cara agar difabel intelektual bisa mendapatkan haknya, baik dari segi pendidikan hingga akses lainnya yang seharusnya didapat sebagai warga negara.

"Kita bisa bekerja sama dengan kementerian atau balai seperti di Wyata Guna ini sekarang kan tidak khusus untuk tuna netra saja, tapi berbagai difabel bisa masuk," kata Agus.

Merajut Mimpi Siswa Difabel Intelektual di Tengah Himpitan PandemikInfografis seputar ragam difabel (IDN Times/Aditya Pratama)

Upaya untuk membangun kemandirian ABK dan membuat stigma negatif terhadap mereka luruh, salah satunya dilakukan PT Pertamina. Unit Manager Communication Relations & CSR MOR III Eko Kristiawan mengatakan, Dreamable dan Dreamwork merupakan program cara perusahaan plat merah ini menjadikan para difabel mampu melakukan hal yang selama ini dianggap tidak mungkin oleh masyarakat.

Pada Dreamable misalnya, program yang berawal pada 2016 ini semula hanya diikuti tiga sampai enam orang ABK keluarga kurang mampu. Mereka kemudian mendapat pendidikan secara gratis dari relawan.

Sejak 2018, kegiatan ini digandeng Pertamina. Perusahaan pun bermitra dengan Yayasan PKBM Hidayah untuk kegiatan belajar mengajar program Dreamable yang semula dilakukan di rumah relawan.

Perkembangan Dreamable dari 2018-2021 semakin meningkat, sekarang siswa ABK yang mendapatkan akses pendidikan ada sekitar 65 anak di tahun 2021 yang semula hanya 5 anak di tahun 2016 dan meliputi satu kecamatan Bojongsoang bukan hanya tingkat desa saja.

Pertamina juga memberikan bantuan Mobil Home Care sebagai sarana antar jemput ABK untuk kemudahan akses dan menarik minat ABK untuk bergabung ke Dreamable

"Ini selaras dengan visi Pertamina untuk memberikan kesempatan dan pemerataan pendidikan terutama bagi anak berkebutuhan khusus yang masih kurang mendapat perhatian," papar Eko.

Sejak pandemik 2020 Pertamina melalui FT Bandung Group telah membantu memberikan 150 paket sembako kepada keluarga ABK yang bertempat tinggal di Desa Bojongsari dan Desa Tegalluar kecamatan Bojongsoang, Bandung. Selain itu, perusahaan BUMN ini juga memberikan dukungan untuk menerapkan sistem kegiatan belajar mengajar dengan "Dream Home Schooling" yaitu mengajar dari rumah ke rumah dengan tetap mentaati prokes dan dipantau oleh guru dan orang tua siswa per minggu.

Sementara untuk program Dreamwork dan rumah Theraphy kegiatannya sudah berjalan satu tahun ke belakang. Keberadaan tempat ini sangat membantu ABK di Desa Lengkong dan Kecamatan Bojongsoang.

Tahun ini pengembangan program Dreamwork meliputi rumah kreatif ABK dan pemberdayaan keluarga ABK melalui pelatihan konveksi. Rumah kreatif ABK bertujuan untuk mengasah dan menggali potensi seni dari setiap ABK seperti melukis, olahraga, menyanyi dan lainnya. Sedangkan pemberdayaan orang tua ABK diberi pelatihan dan kemampuan dalam menjahit sebagai dampak PHK akibat pandemik.

Eko menyebut, Pertamina memiliki komitmen untuk meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat, salah satunya bagi masyarakat penyandang difabel. Melalui program Pertamina Sahabat Disabilitas, Pertamina hadir untuk berbagi kepedulian agar mereka dapat tumbuh dan berkembang lagi. Oleh karena itu, pemberdayaan ABK lewat program Dreamable menjadi sangat penting.

"Selain untuk mewujudkan kemandirian bagi ABK, dibutuhkan sinergi berbagai elemen masyarakat, tidak hanya dari sisi perusahaan atau kebijakan pemerintah melainkan juga dukungan dari masyarakat agar ABK merasa dapat diterima di lingkungannya," kata Eko.

Pertamina akan terus mendukung program pendidikan ABK agar mereka dapat mandiri dan terampil setelah lulus sekolah sehingga menambah nilai ekonomi bagi keluarga.

Baca Juga: Sulitnya Jadi Difabel di Negeri Ini

Baca Juga: Hari Disabilitas Internasional: 5 Fakta Disabilitas di Dunia  

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya