Menyulap Limbah Tekstil Jadi Fesyen Bernilai Tinggi Ala Sagarayasa

Jangan sampai produk tekstil mencemari lingkungan

Bandung, IDN Times - Industri tekstil sejak jauh hari menjadi sorotan karena limbah yang dihasilkan. Produk tekstil kerap mencemari lingkungan mulai dari pembuatannya hingga barang jadi yang sudah tak tergunakan.

Berkaca dari itu, konsep Sustainable Fashion atau fesyen yang berkelanjutan menjadi kampanye yang diusung pelaku usaha di bidang ini selama pandemik COVID-19 berlangsung. Memanfaatkan barang-barang yang sudah lama tidak digunakan menjadi salah satu upaya menyukseskan konsep tersebut. 

Hal ini yang juga mendasari didirikannya Sagarayasa. Bergelut di bidang fesyen, UMKM dari Bandung ini menerapkan konsep mendaur ulang limbah tekstil dan menjadikannya produk bermutu bernilai tinggi.

Aci Astri salah satu pendiri Sagarayasa mengatakan, UMKM ini berdiri dari empat orang yang memiliki visi dan misi sama dalam produk fesyen berkelanjutan. Limbah tekstil yang kerap terbuang coba disulap menjadi produk fesyen.

"Makanya kita mencoba bagaimana membuat produk yang ramah lingkungan. Jadi produk kami memang ramah lingkungan karena dari limbah tekstil, diolah lagi menjadi benang, dipintal, ditenun menjadi kain dan didesain lagi jadi baju ready to wear (siap pakai)," ujar Aci saat ditemui di acara Karya Kreatif Indonesia 2021 yang digelar Bank Indonesia Jawa Barat, Kamis (23/9/2021).

1. Peminat fesyen berkelanjutan cukup tinggi

Menyulap Limbah Tekstil Jadi Fesyen Bernilai Tinggi Ala SagarayasaInstagram Sagarayasa

Setelah dirilis pada 2 Juni 2021, baju dari Sagarayasa banyak dilirik dan diminati masyarakat. Keunikan cara pembuatan dan desain yang tidak dimiliki UMKM lainnya, jadi nilai lebih bagi konsumen.

Meski pandemik COVID-19 masih menghantui Indonesia, itu jadi jadi penghalang Sagarayasa berkreasi. Tercatat hingga September 2021 jumlah baju yang diproduksi mencapai 500. Pembelinya bisa pribadi atau perusahaan yang minta dibuatkan baju untuk acara tertentu.

Harga baju dari Sagarayasa sendiri bervariasi tergantung bahan dan desain, karena itu akan mempengaruhi berapa lama pembuatannya.

"Kisaran harganya ada paling murah dari Rp300 ribu hingga yang premiun di angka sekitar Rp4,5 juta. Ini karena prosesnya harus ditenun, disulam, dibordir, sampai dibatik lagi," papar Aci.

2. Merangkul warga sekitar yang tidak bekerja dampak pandemik

Menyulap Limbah Tekstil Jadi Fesyen Bernilai Tinggi Ala SagarayasaInstagram/Sagarayasa

Untuk membuat baju, Sagarayasa pun tidak membuatnya sendirian. Puluhan warga di Kampung Sayang, Banjaran, Kabupaten Bandung, yang ekonominya terdampak diajak bekerjasama. Mereka dirangkul sebagai mitra membuat produk fesyen tersebut.

Oman salah satu pendiri Sagarayasa mengatakan, mayoritas yang bekerja adalah ibu-ibu yang selama ini bisa bekerja di sawah kemudian ladangnya hilang karena dibangun rumah. Pekerjaan nonformal lainnya yang dilakukan pun penghasilannya tidak seberapa karena adanya pandemik COVID-19.

"Kita ada tagline, pandemik tidak akan menghentikan kita untuk berkarya dan berkreasi. Dari situ kita tidak ingin (Sagarayasa) hanya profit oriented (ujngnya duit) saja. Maka kita memberdayakan masyarakat yang di-PHK atau ibu rumah tangga yang ga ada kerjaan. Total ada 50 pekerja," kata Oman.

Dengan sistem kemitraan, UMKM ini tidak ingin ada batasan antara atasan dan bawahan. Sagarayasa pun melakukan pendampingan dalam setiap pembuatan barang. Semua pihak harus bekerja bersama menghasilkan produk berkualitas untuk digunakan konsumen.

3. Kita ingin mengajak masyarakat lebih ramah pada lingkungan

Menyulap Limbah Tekstil Jadi Fesyen Bernilai Tinggi Ala SagarayasaIlustrasi limbah. ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar

Upaya menyebarluaskan kepedulian terhadap lingkungan juga dicantumkan dalam nama Sagarayasa. Ratih Miranti yang juga pencetus Sagarayasa menuturkan, nama ini diambil dari dua suku kata, Sagara dan Yasa.

Sagara merupakan bahasa sunda yang mempunyai arti empat. Ini diambil karena pendiri Sagarayasa terdiri dari empat orang. Selain itu Sagara pun memiliki arti lain, yakni samudera.

"Samudera ini mewakili kita terhadap kepedulian akan lingkungan," ujarnya.

Sementara Yasa merupakan kara sansakeerta yang artinya termashur. Ini menjadi harapan keempatnya agar produk ramah lingkungan bisa lebih dikenal masyarakat luas.

Dalam praktiknya, Sagaraya pun tidak hanya membuat fesyen, tapi juga melakukan edukasi kepada masyarakat tentang ecoprint, dan pemanfaatan produk ramah lingkungan lainya yang bisa diolah agar bernilai tinggi.

Baca Juga: 10 Ide Mengolah Limbah Tekstil yang Kreatif dan Sederhana

Baca Juga: Atasi Limbah Popok dengan Bioplastik Singkong

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya