Membangun Kemandirian Penyandang Disabilitas di Tanah Pasundan

Setiap orang tak terkecuali punya hak untuk hidup mandiri

Bandung, IDN Times - Menggunakan sepeda yang dimodifikasi khusus, Ahmad Syahid terlihat antusias menuju gedung tempatnya belajar keahlian olahan pangan. Bersama rekan-rekan sesama penyandang disabilitas, Ahmad akan coba membuat panganan kue kering di Panti Sosial Rehabilitas Penyandang Disabilitas, Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat.

Sesaat setelah sampai di dalam gedung pelatihan, setiap peserta diberi celemek untuk dipakai. Mereka kemudian menyebar, ada yang menyiapkan bahan adonan, ada juga yang membawa peralatan memasak.

Bahan adonan seperti terigu, mentega, kuning telur, vanili, garam, hingga susu bubuk yang telah diambil dari lemari kaca kemudian ditimbang lebih dulu. Setelah sesuai, bahan-bahan tersebut dimasukkan dalam wadah kecil. Ahmad pun dengan sigap memegang pencampur (mixer) untuk mengaduk adonan agar tercampur sempurna.

Tak berselang lama, adonan yang sudah selesai dibuat, kemudian tata dalam cetakan adonan untuk dimasukkan ke dalam oven. Sambil menunggu adonan menjadi kue, mereka saling bercengkerama, bercerita banyak hal mulai dari asal tempat tinggal hingga alasan ikut pelatihan di Panti Sosial Rehabilitas Penyandang Disabilitas, Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat.

"Saya selama ini belum bisa memasak. Makanya di sini coba ikut pelatihan memasak khususnya bikin kue kering dan kue basah biar bisa dijual untuk lebaran (Idul Fitri)," ujar Ahmad saat berbincang dengan IDN Times di tempat pelatihan, Rabu (24/2/2021).

Pria 22 tahun ini bercerita, sebagai penyandang disabilitas tuna daksa dia kerap terpinggirkan karena dianggap tidak bisa melakukan banyak hal secara mandiri. Ketika di rumah misalnya, Ahmad sempat berwirausaha dengan berjualan sembako hingga pulsa. Namun, orang tua Ahmad justru melarangnya dan meminta dia berhenti saja. Alasannya, karena Ahmad memiliki keterbatasan untuk berjalan

"Padahal saya juga ingin bisa mandiri. Saya ingin menyukseskan keluarga saya," kata Ahmad.

Dengan berbagai pelatihan yang dilakukan di panti sosial ini, Ahmad yakin bisa lebih mandiri dalam berbagai hal termasuk mencari penghasilan.

Membuat olahan pangan jadi kemandirian yang terbilang mudah

Membangun Kemandirian Penyandang Disabilitas di Tanah PasundanPeserta pelatihan mengolah pangan di Panti Sosial Rehabilitas Penyandang Disabilitas, Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat. IDN Times/Debbie Sutrisno

Kepala Panti Sosial Rehabilitasi Penyandang Disabilitas, Dinas Sosial Jawa Barat, Ferrus Syammach mengatakan, setiap tahunnya panti sosial ini bisa kedatangan sampai 100 penyandang disabilitas. Mereka berada di asrama sekitar delapan bulan untuk mendapat berbagai ilmu pengetahuan mulai dari cara berkomunikasi hingga keahlian yang menjadikannya lebih mandiri dalam menghasilkan pendapatan.

Di panti sosial ini setidaknya ada 15 keahlian yang bisa dijadikan minat setiap difabel. Mulai dari montir, memijar, furnitur, batu mulia, handicraft, memantik, elektro, memasak, hingga membatik.

Setiap difabel diharuskan belajar dua keahlian yang berbeda. Pembelajaran dua ilmu itu agar ketika mereka kesulitan di satu keahlian bisa mempraktikkan keahlian yang lainnya.

Khusus untuk tahun ini, Ferrus mewajibkan setiap perempuan yang masuk ke panti rehabilitasi agar mengambil kelas membuat olahan pangan. Artinya, satu keahlian bisa mereka tentukan sendiri, sedangkan satu lagi sudah pasti harus berhubungan dengan memasak.

"Satu (ilmu) harus sesuai hati mereka, dan satu lagi harus memasak karena ini akan membantu ekonomi keluarga. Ketika mereka mentok dalam pekerjaan lain minimal bisa membantu keluarga dengan memasak. Karena memasak panganan itu paling mudah, murah, dan peminatnya banyak. Tinggal bagaimana mereka bisa berkreasi dan berinovasi," ujar Ferrus.

Jangan abaikan hak penyandang disabiitas

Membangun Kemandirian Penyandang Disabilitas di Tanah PasundanIDN Times/Debbie Sutrisno

Dia menuturkan, selama ini banyak penyandang disabilitas yang terpinggirkan. Bukan karena mereka enggan berbaur, tapi lingkungan tidak mendukung mereka untuk bisa mandiri. Bahkan tak sedikit orang tua yang tidak membiarkan anak-anaknya melakukan banyak hal baik belajar bersama-sama ataupun bekerja, karena merasa kasihan.

Kondisi ini yang coba dibenahi oleh Ferrus dan tim di panti sosial. Pelatihan yang baik dan benar diharap bisa membantu penyandang disabilitas bisa lebih mandiri, tidak selalu menggantungkan hidup dari orang sekitar.

"Makanya saya pikir selama pandemik (COVID-19) ini kan banyak orang mencari makan karena sering berada di rumah. Maka kita dorong untuk mereka bisa membuat makanan. Pengolahan makanan juga bisa memberdayakan orang lain. Jadi saling membantu," ujar Ferrus.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dari Susenas 2018, terdapat sekitar 460 ribu anak penyandang disabilitas dengan rentang usia 7-18 tahun. Analisis alur terhadap data menyajikan gambaran tentang riwayat partisipasi pendidikan kelompok usia 19-21 tahun (1-3 tahun di atas tingkat usia resmi untuk kelulusan SMA) dari SD hingga SMA.

Dari data tersebut anak dengan disabilitas adalah kelompok yang paling dirugikan dan mengalami banyak kesulitan dalam mengakses dan menyelesaikan pendidikan. Sementara mayoritas anak tanpa disabilitas atau 99,6 persen dapat berpartisipasi pada pendidikan dasar, hampir 30 persen anak dengan disabilitas tidak pernah menginjakkan kaki di ruang kelas.

Selain itu, proporsi putus sekolah pada anak dengan disabilitas lebih tinggi dibandingkan anak tanpa disabilitas. Sebanyak 62 persen anak tanpa disabilitas berhasil menamatkan jenjang SMA dibandingkan hanya 26 persen pada anak dengan disabilitas.

Untuk tingkat kelulusan menunjukkan semakin tinggi jenjang pendidikan, tingkat kelulusan untuk anak dengan disabilitas pun turun signifikan.Sekitar 62 persen anak tanpa disabilitas berhasil menamatkan SMA dibandingkan hanya 26 persen pada anak dengan disabilitas.

Minimnya para penyandang disabilitas mendapat pendidikan layak bisa berdampak pada masa depan mereka. Tanpa ilmu yang memadai bisa jadi para difabel ini nantinya hanya menggantungkan hidup pada orang lain.

Berkaca dari data ini, Ferrus ingin lebih banyak penyandang disabilitas yang memiliki keahlian, termasuk mengolah makanan. Pada gelombang pertama pelatihan memasak, sudah ada 15 difabel yang ikut serta. Mereka pun sekarang tersebar di berbagai daerah seperti Garut, Bogor, Indramayu, Cirebon, Sumedang, hingga Majalengka. Produk olahan pangan yang dibuat para difabel bervariasi, seperti kue basah, gorengan, makanan berat, atau camilan.

Baca Juga: Lipstick Untuk Difabel Ajak Perempuan Difabel Semakin Menginspirasi

Pelatihan membawa berkah bagi kami

Membangun Kemandirian Penyandang Disabilitas di Tanah PasundanDani Ramdani, salah satu lulusan panti sosial sedang berjualan makanan di Kabupaten Garut. IDN Times/Debbie Sutrisno

Manfaat dari pelatihan olahan pangan di dinas sosial dirasakan Dani Ramdani. Pria 19 tahun ini merupakan penyandang disabilitas tuna daksa dari Kabupaten Garut, Lulus dari pelatihan di dinas sosial, Dani sekarang berjualan gorengan di sekitar Kecamatan Cibatu setiap harinya.

Dihubungi melalui sambungan telepon, Dani mengaku sangat terbantu dengan pelatihan yang dia dapat selama ini, termasuk dalam hal masak-memasak. Mengikuti jejak sang ayah yang juga sempat berjualan makanan, Dani sekarang membuka warung gorengan.

Dia bercerita, sebelum ikut pelatihan di dinas sosial, Dani merupakan sosok yang pendiam dan kurang bersosialisasi. Merasa fisiknya tidak sama dengan yang lain, Dani sempat minder untuk berada di lingkungannya.

Dorongan kemudian muncul dari kaka kandungnya yang juga lulusan dari dinas sosial di Cimahi. Dani kemudian memberanikan diri ikut menjadi peserta pada 2020.

"Kakak sebenarnya sudah mengajak dari 2007, tapi baru tahun kemarin saya tergerak. Karena di sana ada pelatihan memasak saja coba ikut. Banyak yang dipelajari mulai dari bikin kue lumpur, puding, makanan berat, nasi-nasian, dan lainnya," papar Dani.

Memilih untuk berjualan gorengan memanfaatkan bantuan barang yang diberikan dinas sosial, Dani kini bisa mendapat penghasilan sendiri maksimal Rp100 ribu per hari.

Hal senada disampaikan Salamah (20). Wanita asal Bandung Barat ini sudah dua pekan belajar olahan pangan di panti sosial rehabilitasi. Sebelum belajar di sini, Salamah sebelumnya sudah memiliki dasar masak-memasak. Bahkan dia sudah sering membuat kue bolu untuk acara pernikahan.

Di panti sosial ini, Salamah ingin coba meningkatkan keahliannya di bidang olahan pangan. Harapannya, dia bisa membuka toko kue kecil baik panganan modern atau tradisional.

"Aku ingin buktikan ke orang di uar yang sudah ejek dan hina aku. Keterbatasan seperti ini tidak akan menjadi alangan. Aku mau melakukan yang aku inginkan tanpa terkecuali, untuk bahagiakan orang tua," kata Salamah.

Selain belajar olahan pangan, Salamah pun akan coba keahlian di bidang IT dan membatik. Dengan demikian sebagai penyandang disabilitas dia tetap memiliki banyak keahlian seperti orang lain.

Setiap difabel pasti punya keahlian yang bisa dimaksimalkan

Membangun Kemandirian Penyandang Disabilitas di Tanah Pasundanhttp://lib.uin-suka.ac.id/

Dengan bervariasinya kebutuhan para penyandang disabilitas, keahlian yang dibutuhkan mereka pun harus beragam. Dengan demikian, ke depannya para difabel ini diharap bisa bekerja atau membuka usaha di berbagai bidang tergantung kemampuan masing-masing.

Dosen dari Prodi Pendidikan Luar Biasa Universitas Islam Nusantara (Uninus) Emay Mastiani mengatakan, seorang penyandang disabilitas memiliki hak yang sama untuk punya keahlian dan keterampilan. Mereka tidak bisa dipinggirkan oleh keluarga maupun masyarakat sekitar, karena nantinya ketika mereka dewasa mempunyai berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi.

Selama ini, penyandang disabilitas sangat minim mendapatkan sosialisasi, pendidikan, dan pelatihan. Padahal itu merupakan dasar untuk seseorang bisa bertahan.

Emay optimistis para penyandang disabilitas bisa mendapat ilmu setelah mengikuti serangkaian pelatihan yang disediakan. "Setelah mereka lulus kan butuh keterampilan yang digunakan untuk mendapat penghasilan, minimal untuk kebutuhan mendasar yakni makan," papar Emay.

Dengan ilmu yang akan didapat mereka, diharapkan masyarakat bisa lebih menghargai dan tidak memandang sebelah mata penyandang disabilitas, karena mereka pun bisa menghasilkan karya hebat.

Mari bersama menyetarakan penyandang disabilitas

Membangun Kemandirian Penyandang Disabilitas di Tanah PasundanIDN Times/Debbie Sutrisno

Citra miring terhadap para penyandang disabilitas memang masih hinggap di masyarakat. Tak sedikit yang berpikiran bahwa pada difabel tidak bisa melakukan banyak hal dan hanya bisa menggantungkan diri pada orang lain.

Kurangnya fasilitas bagi mereka berkreasi membuat penyandang disabilitas kerap terpinggirkan. Padahal, mereka memiliki hak yang sama sebagai seorang warga negara untuk hidup sejahtera.

Latar belakang ini yang coba didobrak PT. PLN dengan ikut andil dalam menyelesaikan masalah ini demi mewujudkan generasi emas Indonesia. Dengan program PLN Peduli, perusahaan pelat merah ini coba memberikan bantuan pembangunan gedung pendidikan dan pemberian alat pelatihan olah pangan.

"Bentuknya kepedulian perusahaan untuk peningkatan program kesejahteraan masyarakat di mana sala satunya penyediaan sarana dan prasarana. Dengan kepada penyandang disabilitas kita bantu agar mereka bisa menjadi mandiri," ujar Assistand Manager Coorporate Social Responsibility PLN UID Jabar, Asep Priatna saat dihubungi IDN Times.

Ketertarikan PLN untuk ikut serta membantu pengadaan gedung dan sarana pelatihan, tidak terlepas dari pandangan perusahaan bahwa setiap orang termasuk penyandang disabilitas bisa melakukan banyak hal dan berkreasi dengan kemampuannya meski memiliki keterbatasan tertentu.

"Program ini bisa dilakukan secara berkelanjutan dengan melihat kebermanfaatan yang didapat (para difabel). Kalau itu terjadi maka tidak akan ada hambatan untuk membantu kembali," pungkasnya.

Baca Juga: Semangat Siti Halimah Berdayakan Difabel hingga Napi pada Bisnisnya

Baca Juga: Cerita Arih, Beauty Vlogger Disabilitas Lampung Rias Wajah Pakai Lutut

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya