Membangun Kemandirian Anak Berkebutuhan Khusus di Tanah Pasundan

Keseteraan untuk mendapat pendidikan adalah hal mutlak

Bandung, IDN Times - Jari jemari Yulianti dengan sigap memeragakan cara melafalkan bilangan angka. Di depannya, duduk seorang murid bernama Ashar. Keceriaan sesekali tersungging di wajah keduanya ketika Ashar berhasil menjawab dengan benar pertanyaan yang dilayangkan Yulianti.

Hanya sebuah meja kecil menjadi pembatas antara mereka. Kerap kesal dan bosan, Ashar acap kali menerobos sekat. Namun Yulianti dengan sigap berupaya melunakkan hati Ashar dan menenangkannya agar dia mau menyelesaikan pembelajaran terlebih dulu.

Pagi itu, Jumat (4/9/2020) pukul 08.00 WIB Yulianti telah sampai di rumah Kamiati, Ibunda Ashar. Memakai pakaian rapih berwarna abu-abu dan face shield merah muda terpasang di kepala, salah satu pengajar di Dreamable ini langsung menyapa Ashar yang tengah bermain di dalam rumah. Sebentar bercengkerama dengan Ashar dan Kamiati, Yulianti langsung mengamalkan tugasnya.

Tanpa arahan khusus keduanya bersiap, duduk bersila berhadap-hadapan dan memulai pembelajaran mengenal angka.

Ashar, 8 tahun, merupakan anak berkebutuhan khusus (ABK) yang tinggal tepat di samping kantor Desa Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Dia merupakan satu dari 53 ABK yang selama ini menimba ilmu di Dreamable, sebuah sekolah gratis untuk anak-anak inklusi.

Sejak pandemik COVID-19 menerjang Indonesia pada Maret 2020, sekolah Dreamble menghentikan kegiatan belajar mengajar (KBM) secara tatap muka. Puluhan ABK akhirnya harus belajar di rumah secara mandiri dengan bantuan orang tuanya.

Tiga bulan berselang, sekolah secara jarak jauh (online), nyatanya tak berdampak optimal pada perkembangan setiap siswa. Kesulitan orang tua mendisiplinkan anak dan memberikan arahan untuk belajar jadi persoalan yang sulit diselesaikan.

Tak patah arang, para pengajar di sekolah Dreamable mengambil langkah kembali membuka sekolah. Bedanya, pertemuan antara guru dan murid tidak dilakukan di sekolah. Setiap relawan pengajar saat ini secara sukarela mendatangi rumah demi rumah setiap murid untuk mengajar tatap muka.

1. Mereka kesulitan ketika harus belajar secara online

Membangun Kemandirian Anak Berkebutuhan Khusus di Tanah PasundanDok.IDN Times/Istimewa

Yulianti yang juga penggagas sekolah Dreamable menuturkan, sekolah secara daring untuk AKB tidak mudah, termasuk mereka yang bersekolah di Dreamable. Tingkah laku anak yang super aktif memerlukan keahlian khusus dalam hal mengajar. Sedangkan orang tua kerap kesulitan ketika harus menjadi pembimbing anak-anaknya.

Alhasil, orang tua justru lebih banyak mengeluh karena tidak mampu mengajari anaknya. Sang anak pun akan lebih rewel dan susah diatur ketika ibu atau ayahnya yang menjadi guru dadakan.

"Ibu, sama ibu saja. Kalau sama saya suka greget," kata Yulianti menirukan perkataan salah satu orang tua murid.

Di sisi lain, mayoritas keluarga murid Dreamable merupakan golongan menengah ke bawah. Untuk memiliki satu gawai canggih saja banyak yang tidak punya, apalagi ketika mereka harus mengisi kuota internet guna sekolah online.

Hal semacam ini yang tidak diinginkan Yulianti. Dia tahu bahwa angka ABK yang tidak bersekolah cukup tinggi. Jika belajar untuk ABK di Dreamable tidak dilanjutkan, bisa jadi angka putus sekolah ABK kembali bertambah.

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2018 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), ketimpangan partisipasi sekolah antara penyandang disabilitas dan yang bukan disabilitas masih terjadi. Persentase penduduk usia 5 tahun ke atas penyandang disabilitas yang masih sekolah hanya 5,48 persen, dan masih ada sebesar 23,91 persen yang sama sekali belum pernah mencicipi bangku sekolah.

Disparitas keadaan disabilitas juga terlihat dari nilai APM (angka partisipasi murni) di setiap jenjang pendidikan. Kesenjangan tertinggi terdapat pada jenjang SM/sederajat, yaitu APM SM/sederajat penyandang disabilitas sebesar 24,74 persen dibandingkan APM SM/sederajat bukan penyandang disabilitas sebesar 61 persen.

Hal ini menandakan di antara empat orang penyandang disabilitas usia 16-18 tahun, hanya satu orang di antaranya yang masih bersekolah SM/sederajat.

Sementara itu, Kamiati sangat mensyukuri kehadiran para guru yang mengajar ke rumahnya. Menurut dia, belajar secara online sangat sulit dilakukan untuk anak berkebutuhan khusus. Tanpa guru yang membimbing, anak justru enggan belajar secara serius.

Padahal, dengan belajar tingkah laku anak biasanya bisa lebih tenang. Kencanduan akan gawai pun dapat dikurangi karena mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar dan bersosialisasi bersama teman-teman atau guru.

"Kalau tidak sekolah itu jadi lebih sering marah-marah. Sudah diatur dan inginnya main-main terus. Disuruh belajar juga susah," ujar Kamiati.

2. Keinginan para murid untuk belajar jadi pelecut semangat guru

Membangun Kemandirian Anak Berkebutuhan Khusus di Tanah PasundanIDN Times/Debbie Sutrisno

Sekolah tatap muka dengan berkunjung ke rumah setiap siswa cukup menguras tenaga para guru. Dalam satu hari, mereka bisa mendatangi dua siswa yang rumahnya belum tentu berdekatan.

Muslih misalnya, salah satu relawan pengajar di sekolah Dreamable ini mengendarai sepeda motor dari Majalaya sedari pagi menuju Desa Tegalluar. Menempuh perjalanan lebih dari satu jam, dia menyambangi Galih, salah seorang siswa di Dreamable yang kurang lancar dalam berbicara.

"Ya lumayan lah kalau sekarang karena saya tinggal tidak dekat sini," ujar Muslih usai memberikan pelajaran.

Dia bercerita, sebelum ada pandemik Muslih biasanya menjadi guru sekaligus sopir antar jemput siswa. Setiap Senin sampai Jumat Muslih menjemput anak-anak, berkeliling menggunakan mobil Dreamable yang merupakan bantuan dari PT. Pertamina. Mulai pukul 06.30 WIB sampai 07.30 WIB jadwal Muslih menjemput siswa dari setiap rumah.

Pun setelah selesai pembelajaran dia kembali mengantar seluruh siswa pulang ke rumahnya masing-masing. Agar bisa melakukan kegiatan ini Muslih memilih menginap di salah satu kamar yang ada di sekolah. Namun, karena saat ini sekolah dilakukan di rumah, maka Muslih harus pulang ke rumahnya di Majalaya.

"Saya senang kalau mengajar mereka. Tekad saya mengajar agar pendidikan mereka bagus dan nantinya bisa lebih mandiri, bekerja sesuai keahlian dan minat mereka. Makanya kita kembangkan dimulai dari memberikan pelajaran seperti ini," ujar Muslih.

Semangat siswa Dreamable untuk belajar sangat dirasakan Linda, ibunda Galih. Dia menuturkan, sebelum sekolah di Dreamable anaknya sempat menimba ilmu di sekolah biasa. Namun, Galih sering mendapat perundungan dari teman sebayanya hanya karena dia kurang lancar dalam berbicara. Hal ini kemudian membuat dia enggan bersekolah hampir dua tahun lamanya.

Ketika mencoba menyekolahkan Galih ke Dreamable, dia sangat senang. Di sana tidak ada siswa yang merundungnya. Bahkan teman di sekolah saling dukung ketika sama-sama belajar dan bermain.

"Pas corona (pandemik) gini, kan sekolah jadi di rumah. Nah Galih tuh suka nanya, kenapa sekolah ditutup terus lama banget. Sering setiap bangun tidur dia sudah menyiapkan buku dan tas untuk ke sekolah. Pakaian juga sering dia gunakan," kata Linda.

Semangat semacam inilah yang membuat Muslih senang untuk mengajar siswa Dreamable. Keinginan anak-anak sekolah dan belajar, membuatnya tak merasakan lelah meski harus berjibaku berkendara cukup lama untuk sampai di rumah siswa.

3. Siswa di Dreamable diajarkan agar lebih mandiri ketika mereka dewasa

Membangun Kemandirian Anak Berkebutuhan Khusus di Tanah PasundanIDN Times/Debbie Sutrisno

Setiap warga berhak mendapatkan pendidikan. Setidaknya hal ini yang menjadi landasan sekolah Dreamable berdiri sejak 2016 sampai sekarang. Dimulai dari hanya ada dua ABK, sekarang jumlahnya lebih dari 50. Jenjang usia pun bervariasi dari anak-anak sampai dewasa. Untuk mereka yang terbilang dewasa jumlahnya sekitar 15 orang.

Ditemui saat menggelar workshop Dreamwork, sebuah tempat pelatihan keterampilan untuk ABK, Yulianti bercerita sebuah angan-angan yang coba dia wujudkan.

"Selalu ada pandangan bahwa anak berkebutuhan khusus ini tidak bisa apa-apa, padahal itu salah. Mereka kalau dibimbing pasti bisa untuk mandiri. Itulah alasan saya coba membangun Dreamwork ini," kata Yulianti.

Selama ini, masih banyak orang tua yang menyembunyikan ABK karena menganggap bahwa sang anak tidak mampu melakukan banyak hal ketika memiliki kelainan. Alhasil, ketika ABK tumbuh dewasa, mereka tidak memiliki ilmu dan keahlian seperti masyarakat lainnya.

Hal ini yang coba didobrak Yulianti, Muslih, dan empat relawan lainnya di Dreamable. Mereka berkeyakinan, ABK ketika dididik dan dilatih pasti bisa memiliki keahlian untuk kemandiriannya.

Salah satu upaya memandirikan ABK sudah dilakukan di Dreamable, di mana para siswa dibawa ke tempat bercocok tanam sayuran secara hidroponik. Selain itu, ada juga pembelajaran dan pelatihan untuk beternak ikan lele. Harapannya, mereka bisa tahu bahwa bertani dan beternak bisa dilakukan siapapun termasuk yang memiliki kebutuhan khusus.

Sementara di Dreamwork, para relawan akan lebih dulu memberi pelajaran ketika mereka bekerja di jasa cuci dan setrika pakaian (laundry). Tempat usaha ini rencananya didirikan di sekitar kantor Desa Lengkong, Kecamatan Bojongsoang.

"Kita di sini juga ada namanya Omah Therapy. Jadi nantinya akan ada tempat untuk terapi dan pelatihan usaha untuk anak berkebutuhan khusus dalam satu tempat," ungkap Yuliantii.

4. Anak berkebutuhan khusus harus dibantu memiliki keahlian sesuai dengan minat dan kondisi

Membangun Kemandirian Anak Berkebutuhan Khusus di Tanah PasundanIDN Times/Debbie Sutrisno

Dengan bervariasinya kebutuhan para anak disabilitas, keahlian mereka pun akan beragam. Artinya, ke depan para ABK bisa bekerja atau membuka usaha di berbagai bidang tergantung kemampuan masing-masing.

Dosen dari Prodi Pendidikan Luar Biasa Universitas Islam Nusantara (Uninus) Emay Mastiani mengatakan, seorang ABK memiliki hak yang sama untuk punya keahlian dan keterampilan. Seorang ABK tidak bisa dipinggirkan oleh keluarga maupun masyarakat sekitar, karena ke depannya ketika mereka dewasa, setiap ABK jelas mempunyai berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi.

Selama ini, para ABK sangat minim mendapatkan sosialisasi, pendidikan, dan pelatihan. Padahal itu merupakan dasar untuk seseorang bisa bertahan.

Melalui Dreamwork, Emay optimistis siswa ABK bisa mendapat ilmu karena berbagai pelatihan akan disediakan di sini. "Setelah mereka lulus sekolah kan butuh keterampilan yang digunakan untuk mendapat penghasilan, minimal untuk kebutuhan mendasar yakni makan," papar Emay.

Dengan ilmu yang akan didapat ABK ke depannya, diharap masyarakat bisa lebih menghargai dan tidak memandang sebelah mata penyandang disabilitas, karena mereka pun bisa menghasilkan karya hebat.

5. Gotong royong menyetarakan penyandang disabilitas

Membangun Kemandirian Anak Berkebutuhan Khusus di Tanah PasundanDok.IDN Times/Istimewa

Pandangan miring terhadap penyandang disabilitas memang tidak bisa dipungkiri. Banyak pihak yang menganggap para difabel ini tidak bisa berbuat banyak dalam berbagai macam kegiatan.

Pun di sektor pendidikan dan pekerjaan, para penyandang disabilitas kerap dipinggirkan secara tidak langsung. Padahal, mereka memiliki hak yang sama sebagai seorang warga negara.

Kondisi ini pula yang mendorong berbagai pihak pihak termasuk PT. Pertamina untuk ikut andil dalam menyelesaikan permasalahan ini demi mewujudkan generasi emas Indonesia. Melalui salah satu pilar yaitu Pertamina Cerdas, sekolah Dreamable memperlihatkan bahwa ABK pun memiliki hak untuk mendapat pendidikan yang layak.

"Kemandirian adalah tujuan utama dan paling penting dari keseluruhan program CSR Pertamina termasuk program Dreamable, baik dream school maupun dream work, karena kemandirian lah salah satu ciri manusia dewasa, termasuk bagi ABK kelak," ujar Unit Manager Communication Relations & CSR MOR III Eko Kristiawan saat dihubungi IDN Times.

Dalam mendukung program Dreamwork, akan ada berbagai bantuan mulai dari pelatihan keterampilan usaha, peralatan usaha laundry dan pemasaran. Dengan kegiatan ini diharap ABK yang memasuki usia produktif mampu membuat mereka mandiri di masa depan. Usaha Omah Therapy dipilih karena sesuai dengan keahlian guru-guru Dreamable, sedangkan Omah Laundry dipilih karena baik ABK maupun orang tua ABK dapat berperan dan bekerja sama dalam usahanya.

"Kami berharap bisa mencapai target program pembangunan berkelanjutan atau SDGs di mana salah satunya adalah pilar pembangunan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dan kami ingin anak-anak berkebutuhan khusus menjadi salah satu generasi hebat Indonesia di masa depan,” pungkasnya.

Baca Juga: Salut! Melihat Semangat Belajar Siswa Disabilitas di Tengah Pandemik

Baca Juga: Heroik! Drg Maruli Buka Klinik Gigi Gratis untuk Pasien Disabilitas

Topik:

  • Galih Persiana
  • Favo Perdana Hadiyanto Saputra

Berita Terkini Lainnya