Kisah Rifki dan Kue Balok Mang Salam, Asa Difabel Setara Dalam Bekerja

Disabilitas harus dapat kesempatan sama dalam segala hal

Bandung, IDN Times - Waktu menunjukkan pukul 11.00 WIB saat alarm dari ponsel Rifki Wirawan berbunyi lantang. Terbangun dari tidurnya, dia duduk di kasur sembari menghela napas panjang. Di kamar berukuran panjang dan lebar 2,5 meter ini, Rifki bersiap memulai rutinitas menuju tempat kerja.

Pakaian yang baru kering di jemuran depan rumah langsung diambilnya setelah mandi. Menggunakan celana pendek, sweater, sepatu, dan kaus kaki serba hitam, pria 20 tahun tersebut mengeluarkan sepeda motor merek Astrea Grand berpolet merah.

Setelah berpamitan pada kedua bibi dan kakeknya yang berada di teras, Rifki tancap gas dari rumahnya di Kampung Lio, Kelurahan Cinambo, Kecamatan Rancasari, Kota Bandung, menuju kedai Kue Balok Mang Salam, di daerah Tamansari.

Tak mengambil jalan protokol, Rifki justru lebih memilih jalan tikus untuk mempersingkat jarak tempuh untuk sampai ke kedai.

"Kita muter (berputar putar cari jalan) yah, lewat belakang ke Kiaracondong," kata Rifki kepada IDN Times, Kamis (7/9/2023).

Butuh waktu sekitar 20 menit untuk sampai ke kedai menggunakan sepeda motor. Sesampainya di sana, pagar kedai tenyata masih digembok. Dia tak memegang kunci dan teman yang punya kunci baru datang sekitar pukul 14.30 WIB. Rifki pun akhirnya menunggu di minimarket samping kedai sambil bermain game online.

Iki, sapaan akrabnya, merupakan satu-satunya pegawai di Kue Balok Mang Salam yang menyandang disabilitas. Dia memiliki kekurangan dalam pendengaran atau disebut disabilitas tuli, sehingga kosakata berbicara pun tak begitu banyak. Meski memiliki keterbatasan, Iki tetap mampu bekerja dan melayani kebutuhan setiap pelanggan di kedai.

Sudah lebih dari 10 bulan dia bekerja di Kue Balok Mang Salam. Tempat ini menjadi yang pertama bagi Iki bekerja setelah lulus dari sekolah luar biasa (SLB) YPDP pada 2019. Dia bercerita, setelah lulus sekolah di mana banyak mendapat ilmu praktik memasak sebagai keterampilannya, Iki tak langsung mendapat pekerjaan. Dia sempat menganggur sekitar satu tahun sebelum akhirnya diajak seorang guru untuk bekerja di kedai ini.

"Dulu lewat WA (WhatsApp) kasih tahu mau kerja atau engga? Nanti dikasih pelatihan barista dulu soalnya kerja di kedai kopi," ungkap Iki menirukan percakapan tersebut.

Tak berpikir lama, dia langsung menyambut ajakan itu dan bergegas datang ke kedai untuk bertemu sang pemilik. Ketimbang harus menganggur mencari pekerjaan yang diinginkan, Iki lebih dulu meminang permintaan itu. Pikirnya, lowongan pekerjaan untuk penyandang disabilitas sangat sedikit dan sulit didapat, maka ketika ada tawaran jelas tidak boleh ditolak. Gayung bersambut ulam pun tiba, setelah dites membuat makanan dan minuman, Iki dianggap layak untuk ikut bekerja di kedai ini.

Mengutip data dari Badan Pusat Statistik (2022), jumlah pekerja dengan disabilitas di Indonesia mencapai 720.748 orang. Jumlah ini sekira 0,53 persen dari total penduduk yang bekerja di Indonesia yang sebanyak 131,05 juta.

Berdasarkan daerah tempat tinggalnya, mayoritas jumlah pekerja disabilitas berasal dari perdesaan yaitu sebanyak 389.224 orang dengan proporsi 0,64 persen. Sedangkan, jumlah pekerja disabilitas yang berasal dari perkotaan 331.524 orang dengan proporsi 0,44 persen. Masih berdasarkan survei BPS, penyandang disabilitas sering mendapatkan perlakuan yang tidak adil karena kekurangan mereka, termasuk dalam hal mendapatkan pekerjaan.

Baca Juga: Kisah Yuli Dirikan Sekolah Anak Difabel, Dulu Pe-Bully Kini Peduli

1. Sumringah bisa berbagi hasil jerih payah dengan keluarga dan teman

Kisah Rifki dan Kue Balok Mang Salam, Asa Difabel Setara Dalam BekerjaRifki, salah satu pekerja di Kue Balok Mang Salam tengah mempersiapkan pesanan pembeli. Debbie Sutrisno/IDN Times

Bisa bekerja setelah sekian lama menganggur membuat Iki lebih murah senyum. Dia seringkali menjadi orang pertama yang datang ke kedai untuk menyiapkan berbagai macam keperluan. Jam kerja yang mengharuskannya pulang malam tak jadi soal, asalkan dia tetap dipercaya menjadi bagian dari tim Kue Balok Mang Salam.

Secara nominal, uang yang didapat memang belum begitu besar. Awalnya dia hanya mendapat Rp1,5 juta setiap bulan dengan jam kerja enam hari dalam sepekan. Karena pekerjaan yang dilakukannya berjalan dengan baik, Iki pun naik gaji dan mendapat Rp1,8 juta per bulan. Itu belum termasuk uang maka yang didapat Rp10 ribu setiap hari saat masuk kerja sebagai pengganti uang makan.

Meski upah yang didapat belum besar, uang yang didapat menjadi kebahagiaan tersendiri baginya Dia kerap berbagi sedikit kebahagiaan tersebut dengan kakak dan adik sang ibu yang selama ini mengasuhnya pascaditinggal kedua orang tua. Gaji itu juga kerap dijadikan uang jajan bagi keponakan yang ada di rumah.

"Lumayan bisa beli makan, kuota buat game, jajan bareng teman juga kalau nongkrong. Bantu-bantu juga keuangan bibi sama Ua yang udah ngasuh (mengasuh) Iki," kata dia.

Dari gaji bulanan tersebut, Iki sebenarnya ingin menabung untuk membeli sepeda motor sendiri karena selama ini motor yang dipakainya milik sang adik. Sayang keinginan itu belum terwujud. Alhasil dia masih sering juga pergi dan pulang dari kedai menggunakan kendaraan umum, baik angkutan kota (angkot) maupun ojek.

Belum bisa berbuat banyak dari penghasilan selama bekerja, tak jadi masalah buatnya. Dia senang karena bisa menyalurkan hobinya di bidang memasak. Meskipun dia tidak menutup keinginan untuk membuka warung makan atau kafe sendiri sesuai dengan apa yang diinginkan. Harapannya, Iki bisa ikut membantu penyandang disabilitas lain untuk bisa mendapat pekerjaan sepertinya sekarang.

"Banyak teman belum kerja, karena memang sudah dapatnya. Ada yang buka lowongan tapi jauh-jauh tempat kerjanya. Saya ingin buka usaha makanan sendiri, bantu teman lain," kata dia.

Kebahagiaan yang dirasakan Iki pun menular pada Leni. Wanita yang selama ini berjualan jajanan dari rumah tersebut cukup senang dengan pekerjaan yang didapat Iki. Meski berada di tengah keterbatasan pendengaran, keponakannya ini terlihat sudah lebih mandiri dan tidak melakukan hal-hal aneh.

Menurutnya, semasa masa sekolah Iki merupakan anak baik. Dia mengikuti pelajaran di sekolah termasuk praktikum memasak yang sampai sekarang ilmunya bisa terpakai ketika bekerja di kedai. Saat berada di rumah, Iki sangat aktif bersama teman-temannya dan ikut organisasi Karang Taruna.

"Kalau ada uang suka babagi (berbagi). Malah kadang buat sendiri juga suka kurang. Dia bilang biarin ada rejeki sedikit ewang (kebagian sedikit-sedikit)," kata Leni.

Satu hal yang mengganjal bagi Leni adalah waktu kerja keponakannya yang harus pulang malam. Dia kerap khawatir saat Iki harus pulang menggunakan angkot atau gojek di malam hari karena tidak berangkat pakai motor dari rumah.

Baca Juga: Semangat dan Antusias, Anak Disabilitas Berlatih Jadi Konten Kreator

2. Mereka bisa bekerja dengan baik ketika lingkungan sekitar memberi dukungan

Kisah Rifki dan Kue Balok Mang Salam, Asa Difabel Setara Dalam BekerjaDebbie Sutrisno/IDN Times

Kedai Kue Balok Mang Salam mulai ramai menjelang malam hari. Pelanggan yang mayoritas mahasiswa dari sejumlah kampus di kawasan Tamansari berkumpul di meja yang diapit empat hingga enam kursi. Mereka berbincang berbagai macam hal, mulai dari perkuliahan hingga kisah asmara.

Sementara itu di balik alat pembuat kue balok, Iki sigap membuat setiap pesanan dari pembeli. Adonan yang sudah dituang ke cetakan kue balok lantas diisi beragam rasa seperti keju, coklat, greentea, strawberry, blueberry, hingga oreo.

Setelahnya dia menyajikan kue balok tersebut kepada pembeli yang telah menunggu. Sesekali Iki mendapat panggilan, tapi dia tidak menoleh. Pramusaji lain pun kemudian memberi isyarat kepada Iki bahwa ada pelanggan yang memanggilnya.

"Tantangannya mungkin di sini karena dari komunikasi pasti ada kesulitan ke pelanggan," kata Dwiki Setia, pengelola Kue Balok Kang Salam saat ditemui di kedai.

Iki sebenarnya sudah menggunakan pin di bajunya sebagai penanda bahwa dia memiliki kekurangan dalam pendengaran, tapi tidak banyak pelanggan yang paham hal tersebut. Meski demikian, persoalan ini tidak menjadi masalah serius di kedai ini karena para pekerja saling membantu termasuk kepada Iki agar tetap bisa bekerja memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan. Bahkan, ketika pelanggan tahu bahwa Iki merupakan penyandang disabilitas pendengaran tak sedikit dari mereka yang memberikan acungan jempol kepada Iki.

Pria 24 tahun ini menceritakan, perekrutan Iki sebagai penyandang disabilitas pendengaran bukan sekedar gimmick. Menjadikan difabel sebagai salah satu pekerja berawal dari curhatan pegawai lainnya yang mempunyai adik penyandang disabilitas grahita.

Pegawai itu cerita bahwa adiknya sangat sulit mendapatkan pekerjaan dikarenakan kondisi tersebut. Mendengar cerita itu, Dwiki dan para pendiri Kua Belok Kang Salam terinspirasi untuk bisa mengajak para difabel agar bisa bekerja bersama di tempat ini. Hingga akhirnya salah satu pendiri bertemu dengan perwakilan PT Pertamina yang menawarkan kerja sama untuk membantu para penyandang disabilitas agar bisa bekerja.

"Karena ada kesamaan visi dan misi kita sepakat bekerja sama lah. Nah setelah dua bulan buka kedai di Tamansari sekitar November 2022, dari Pertamina ini bawa penyandang disabilitas buat belajar dulu bagaimana jadi pramusaji di kedai kami," ungkap Dwiki.

Namun, dalam perjalanannya dari tiga orang yang sempat magang dan bekerja hanya Iki yang bertahan hingga sekarang. Dia mau belajar dan tidak sungkan bertanya ketika bingung dengan pekerjaan yang harus dilakukan. Sempat dicoba menjadi barista, Iki nyatanya lebih senang memanggang kue balok. Kerap belajar memasak ketika berada di bangku SMA menjadikan dia lebih nyaman membuat makanan.

Melihat Iki yang mampu bekerja dengan baik meski memiliki kekurangan dalam pendengaran, Dwiki dan tim pun memutuskan siap menerima pekerja difabel lain di kedainya. Namun, untuk sementara dia akan mencari pekerja paruh waktu, sehingga mereka bisa bekerja pada sore hari dan malam hari tidak dari buka hingga tutup seperti yang Iki lakukan.

"Mungkin perempuan di sore, terus laki-laki malamnya sekalian tutup kedai. Intinya sih kita ingin memanusiakan manusia. Jangan ada halangan siapapun termasuk yang disabilitas agar bisa kerja. Mereka juga bisa kerja dengan benar kalau kita bimbing dan lingkungannya mendukung," ungkap Dwiki.

3. Peluang bekerja penyandang disabilitas harus diperbanyak

Kisah Rifki dan Kue Balok Mang Salam, Asa Difabel Setara Dalam BekerjaDebbie Sutrisno/IDN Times

Nasib baik yang diterima Iki nyatanya belum banyak dirasakan penyandang disabilitas lainnya. Masih banyak difabel kesulitan mengakses pekerjaan karena dianggap tidak mampu bekerja dibandingkan dengan orang non-disabilitas.

Meski demikian, usaha untuk memberikan kesetaraan pada penyandang disabilitas terus diupayakan, salah satunya oleh Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Bandung. Kepala Bidang Penempatan Tenaga Kerja Disnaker Kota Bandung, Marsana mengatakan, untuk mempermudah difabel mendapatkan pekerjaan Disnaker rutin menggelar pelatihan bersama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memang fokus mendampingi mereka.

Dalam dua tahun terakhir, Pemkot Bandung bahkan telah memiliki unit layanan disabilitas bidang ketenagakerjaan. Harapannya, mereka mampu bekerja sesuai dengan minat atau maupun ke BUMN dan BUMD, di mana perusahaan wajib mempekerjakan paling sedikit dua persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja, sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016, Tentang Penyandang Disabilitas.

Selama ini penyandang disabilitas memang masih terpinggirkan dalam hal mendapat pekerjaan. Alhasil banyak dari mereka yang kemudian belajar mencari keahlian tertentu agar bisa membuka usaha, tidak bergantung pada usaha orang lain.

"Kita ada pelatihan di sektor non-formal seperti jadi barista, membantik, menjahit, dan pelatihan lain yang bisa membuat mereka mandiri dalam berwirausaha," kata Marsana.

Dari data terakhir yang dihimpun Disnaker Kota Bandung, hanya ada 164 penyandang disabilitas yang bekerja di sejumlah perusahaan. Jumlah tersebut naik turun setiap tahunnya karena banyak penyandang disabilitas yang masuk keluar sebuah perusahaan.

Marsana menuturkan, jumlah ini bisa jadi lebih banyak karena tidak sedikit pelaku usaha yang sebenarnya sudah memperkerjakan penyandang disabilitas. Namun, mereka enggan memberikan data karena takut upah yang diberikan kepada pekerja tersebut tidak sesuai dengan ketentuan. Meski demikian, dia sangat berterimakasih kepada UMKM atau pelaku usaha lainnya yang sudah mau mempekerjakan para difabel.

Terkait minimnya lapangan pekerjaan untuk penyandang disabilitas, Ketua Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin) Jawa Barat, Rosmayadi mengatakan bahwa peluang kerja untuk teman-teman tuli sebenarnya mempunyai keahlian dan bisa diandalkan.

"Tapi sekarang masih banyak hambatan seperti persyaratan pendidikan hingga akses ketika wawancara yang membuat difabel tuli kurang sesuai dengan kondisi tersebut," ungkap Rosmayadi.

Teman Tuli sebenarnya memiliki mobilitas yang baik termasuk dengan kemampuan visual. Ini terlihat dari banyaknya prestasi yang ditorehkan difabel tuli dalam bidang olahraga, fotografi, seni lukis, atau desain grafis. Namun, pelatihan untuk mempunyai keahlian sangat terbatas didapatkan para difabel, di saat jumlahnya saat ini terus bertambah.

Rosmayadi amat berharap Pemerintah atau swasta lebih banyak membuka kesempatan lapangan kerja bagi disabilitas, memberikan pelatihan sebelum bekerja, dan membuka aksesibilitas dunia pendidikan universitas.

4. Setiap orang punya hak yang sama untuk mendapatkan kesempatan bekerja

Kisah Rifki dan Kue Balok Mang Salam, Asa Difabel Setara Dalam BekerjaDokumentasi Pertamina Jawa Bagian Barat.

Memberikan kesempatan bekerja bagi penyandang disabilitas menjadi keharusan, bukan hanya pemerintah tapi seluruh pelaku usaha.

Chief of Program Implementation – Save the Children Indonesia Erwin Simangunson mengatakan, salah satu cara memberikan hak tersebut adalah dengan mempertemukan secara langsung antara penyandang disabilitas dengan industri dan pelaku usaha lainnya.

Dengan konsep tidak ada anak yang tertinggal, Save the Children Indonesia berkeinginan melakukan pendekatan dan strategi program untuk anak muda dengan disabilitas menjadi penting untuk memastikan mereka memiliki hak yang sama termasuk untuk pendidikan atau pelatihan dan dunia kerja, baik dari sisi akses, kualitas, partisipasi hingga kebijakan.

"Dunia usaha pun penting untuk mengetahui sumber daya potensial dari para anak muda ini, sehingga anak muda dengan disabilitas dapat mandiri secara ekonomi,” kata dia.

Save the Children Indonesia, lanjut Erwin, berharap praktik-praktik baik yang telah dilakukan dapat menjadi pembelajaran bagi pemerintah daerah dan seluruh pihak terkait dalam menyusun rencana dan desain program untuk orang muda dengan disabilitas bekerja untuk mempercepat pencapaian target kuota yang ditetapkan dalam Pasal 28 Peraturan Pemerintah RI Nomor 43 Tahun 1998 Tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Disabilitas.

Upaya dalam memenuhi hak setiap orang termasuk pada difabel ini yang terus dilakukan PT Pertamina. Area Manager Communication Relations & CSR Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Barat (JBB), Eko Kristiawan menuturkan bahwa salah satu fokus tanggung jawab sosial lingkungan (TJSL) yaitu menjawab isu strategis Pemerintah tentang kesetaraan termasuk kaum difabel dalam mencapai kesetaraan dengan memberikan kesempatan lapangan pekerjaan atau penghasilan.

CSR Pertamina masuk dalam klaster program Pertamina Berdikari yang memberdayakan masyarakat agar dapat mandiri ini target utama penerima manfaatnya adalah kelompok rentan di mana difabel menjadi salah satunya.

"Peran masyarakat dan perusahaan saling menguatkan dan sama pentingnya dalam menunjang kesetaraan penyandang disabilitas. Masyarakat menjadi lingkungan utama para difabel memiliki peran penting sebagai subyek dan obyek bagi kesetaraan itu sendiri, sedangkan perusahaan menjadi pemantik dan pendorong untuk memunculkan program-program yang dapat memberdayakan serta memunculkan kesetaraan," ungkap Eko kepada IDN Times.

Menurutnya, penyandang disabilitas sama seperti manusia pada umumnya, memiliki kekurangan tapi juga memiliki berbagai kelebihan. Kelebihan dan potensi inilah yang harus dikembangkan sehingga difabel dapat menjadi bagian dari masyarakat yang memiliki peran bagi diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat sekitar.

Sejauh ini PT Pertamina telah memberikan sejumlah program dalam pengembangan para difabel, yaitu Dreamable dan Kopi Berbagi. Dremable sendiri fokus kepada pendidikan difabel usia sekolah yang kemudian memiliki program turunan yaitu Dreamwork yang fokus pada pelatihan dan praktik kerja setelah usia sekolah. Sedangkan kopi berbagi fokus memberdayakan difabel rungu untuk menjadi barista pada kafe yang terletak di Tamansari dan Margahayu Raya, kota Bandung.

Baca Juga: Ini 3 Poin Omnibus Hak Disabilitas Hasil Forum Tingkat Tinggi ASEAN

Baca Juga: 5 Cara Rasulullah SAW Memperlakukan Disabilitas, Junjung Kesetaraan

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya