Kisah Arfi Rafnialdi dan Romantisme Bandung yang Penuh Cinta

Dia siap mengabdikan diri bagi warga Bandung

Bandung, IDN Times - Arfi Rafnialdi adalah salah satu bakal calon wali Kota Bandung yang sudah mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dia akan berdampingan dengan Yena Masoem sebagai bakal calon wakil wali kota. Keduanya sekarang tengah menunggu hasil penetapan dari KPU Kota Bandung untuk memastikan langkahnya ikut Pilkada 2024.

Disela-sela kesibukannya, IDN Times berkesempatan berbincang dengan Arfi yang baru-baru ini merayakan hari kelahirannya di bulan September. Di sebuah kedai di sekitaran Dago Utara, Arfi pun menceritakan mengapa dia ingin menjadi seorang Wali Kota Bandung. Berikut bincang santai IDN Times bersama Arfi.

1. Bandung menjadi kota yang dia cintai

Kisah Arfi Rafnialdi dan Romantisme Bandung yang Penuh CintaIDN Times/Istimewa

Ceritakan masa kecil Arfi seperti apa?

Saya lahir di Tangerang karena saat itu orang tua dari kedokteran dan bekerja di Tangerang. Jadi dari SD sampai SMP di Tangerang, pas SMA baru ke Bandung masuk ke SMA 3 karena ingin kuliah di ITB. Dulu cita-citanya adalah untuk bikin gedung tinggi jadi kuliahnya daftar ke Teknik Sipil di ITB walaupun ternyata ada ceritanya dulu mau masuk ITB itu. Karena dulu bapak dan ibu kan dokter jadi ada dorongannya untuk menjadi dokter lagi. Jadi dulu masih punya opsi di SMA 3 apakah masuk Kedokteran di Unpad atau masuk ke ITB Teknik Sipil.

Nah, suatu ketika saya dulu pengguna angkot karena tidak dikasih kendaraan pribadi atau motor jadi saya naik angkot dari SMA 3 mau ke teman saya lihat ada demo mahasiswa berada pada depan dengan polisi di ujung Jalan Ganesha di jalan di dekat Borromeus. Jadi saat itu ada momen wah sangat keren untuk jadi mahasiswa sangat heroik dan saya membayangkan yang di sana kan pasti anak ITB makanya waktu itu saya bercita-cita mau ikutan demo makanya harus masuk ITB itu jadi salah satu penyebabnya.

Jadi ITB ini saya pilih karena itu jadi pas kecil buku yang dikasih pertama buku-buku yang lebih banyak gambarnya daripada tulisannya. Itu ada salah satu buku judulnya pencakar langit jadi dalam imajinasi anak kecil kan kalau pencakar kan cakar adik atau teman, ini kan pencakar langit disebut pencakar langit atau gedung tinggi. Dari situ saya pikir kalau wah ini sangat menarik sekali barulah dari sana saya mencari tahu untuk bagaimana bisa membangun bangunan, dan ternyata harus masuk teknik sipil makanya itu memotivasi saya untuk ke SMA 3 ke Bandung kemudian kuliahnya ingin di Bandung.

Di Bandung saya tinggal di rumah nenek karena mereka orang tua memang asli Bandung kan. Tapi saya sama sepupu-sepupu yang juga waktu itu sekolah di Bandung kuliah. Jadi itu rumah seperti kos-kosan, bedanya sama sepupu. Cuman karena dulu memang suka main sama teman-teman, jadi beres sekolah ga langsung pulang tapi nongkrong lah, main basket juga. Biasa nongkrong di kios gitu di Jalan Kalimantan sampai disebut Barudak Kios.

Pas sudah masuk ITB bagaimana rasanya?

Saya masuk ITB 96 rasanya senang dan bangga. Karena kalau di ITB itu juga kan ada himpunan yang jaketnya beda-beda warna jadi kaya keren aja gitu. Cuman pas kuliah memang saya banyak kegiatan di organisasi, ya mungkin ini nyambung dari kegiatan di SMA 3. Sampai akhirnya di sipil itu saya diminta jadi ketua ospek mahasiswa baru Sipil ITB. Saya juga aktif jadi ketua antarhimpunan.

Saya memang sudah senang berorganisasi dan menikmati kegiatan di luar kelas. Kadang nonton konser-konser musik juga kaya di Saparua. Ruangannya kecil musiknya keras jadi mendebarkan. Datang ke pensi-pensi (pentas seni), itu jadi kebahagiaan di masa remaja saya dan romantisme di Bandung.

Setelah lulus saya juga masih tinggal di Bandung. Dulu saya masuk ke Santri Siap Guna Darul Tauhid (DT) karena memang dekat dengan rumah nenek. Ikut di sana selama empat bulan lalu saya diminta menjadi keta SSG wilayah Bojonegara itu sekitar tahun 2001-2002 lah.

Pengalaman-pengalaman ini buat saya pas lulus malah banyak bekerja di bidang pelatiham, pengembangan SDM (sumber daya manusia). Cita-cita sebenarnya bikin bangunan ternyata di kampus sibuk berorganisasi, jadi tukang ospek, makin lama malah lebih terampil cara membangun SDM. Dari sana makanya saya bikin perusahaan dengan teman-teman ada yang anak ITB anak Unisba ada dari Telkom juga kita bikin lembaga pelatihan sampai awalnya dari kampus ke kampus karena biasanya kan di kampus ospek, jadi memang kampus ke kampus dari ITB, Brawijaya, dan lain-lain.

2. Menjadi orang di balik layar Wali Kota Bandung Ridwan Kamil

Kisah Arfi Rafnialdi dan Romantisme Bandung yang Penuh CintaIDN Times/Debbie Sutrisno

Nama Arfi selalu dikaitkan dengan Ridwan Kamil, kenapa?

Sambil tetap bisnis kan ini senang kumpul dan berorganisasi, waktu itu tahun 2010 ada pemilihan ketua ikatan alumni SMA 3 Bandung. Nah ketua yang lama sudah senior dan kita merasa harus ada darah muda. Akhirnya saya dan teman-teman mendatangi Kang Ridwan Kamil karena beliau 6 tahun di atas saya, angkatan 90, saya ajak dia untuk menjadi ketua ikatan ketua alumni SMA 3. Cuman dia kan nyebut nggak bisa kampanye karena sibuk, ya sudah kita yang kampanyekan.

Nah dari situlah pertama kali saya jadi ketua tim kampanye Ridwan Kamil di alumni SMA 3 nah saat dia jadi ketua saya di amanahi oleh jadi Sekjen diikat tersebut jadi waktu itu beliau aksi generasi 80-an wakil ketuanya dari 70-an bendahara dari 60-an dan saya angkatan 90-an jadi Sekjen, jadi lintas generasi.

Sampai akhirnya 2013 Kang Emil undang saya ke rumah botol. Dia cerita kirain mau ngobrolin tentang SMA 3 karena keterikatan di situ ternyata dia meminta untuk jadi tim kampanye wali kota. Saya bilang baguslah kalau dia mau maju karena tahu tata kota, cuman saya diminta untuk jadi tim suksesnya, saya bilang kan enggak bisa urusan politik, tapi dia masih minta pasti bisa karena dulu juga mengkampanyekan ketika untuk ikatan alumni SMA 3.

Singkat cerita, pas 2012 dulu skemanya independen tapi setelahnya tetap dimasukkan ke jalur politik maju bersama Mang Oded, dan saya jadi ketua bidang kampanye di pemenangan akhirnya setelah terpilih masuk ke tim penasihat wali kota, dulu tim kebijakan publik Kota Bandung.

Dari situlah saya pertama kali kerja sama dengan pemerintah secara langsung. Kalau sebagai kelompok masyarakat minta duit ke pemerintah mah kan tinggal pakai proposal, tapi ini harus bekerja bersama memang adaptasinya lumayan menantang karena kita-kita yang non pemerintah masuk ke pemerintahan yang banyak regulasinya itu membuat stres. Kita datang dengan ide banyak main ini pengen ini itu, tapi terhalang birokrasi barulah saya pahami bahwa birokrasi itu memang harus sesuai dengan regulasi, sesuai aturan, karena kan yang dikelola itu uang rakyat, uang negara. Jadi ada proses pembelajaran di tahun-tahun pertama itu, sampai akhirnya lima tahun jadi tim kebijakan publik Kota Bandung.

Kemudian ketika Kang Emil maju jadi di Pilgub saya jadi wakil ketua tim pemenangan pada 2018. Lalu kemudian setelah terpilih ada tahap kita bikin tim sinkronisasi dan saya jadi ketua harian di sana, tim transisi lah. Setelah dilantik kita membuat tim akselerasi pembangunan (TAP) supaya bisa lebih cepat men-deliver hasil ke masyarakat. Saya jadi ketua harian di situ jadi dari akhir 2018 sampai 2020. Pas awal 2021 ada pergantian ketua di TAP jadi saya kemudian lebih banyak di Jakarta untuk kegiatan-kegiatan komunikasi politik di nasional jadi bersama Kang Emil tetap.

Kok bisa ikut Emil masuk Golkar?

Kan sebetulnya kenapa masuk ke pemerintahan karena saya merasa bahagia kalau kita bisa bermanfaat buat orang lain. Ternyata memang kebahagiaan itu sudah ada ajarannya bahwa manusia itu yang paling bagus adalah yang bisa memberikan manfaat untuk orang lain dan saya belajar di organisasi, menjadi seorang ketua itu kalau ada keputusan dampaknya pasti luas.

Masuk di pemerintahan juga begitu, pemerintahan ini kan mempengaruhi keseharian hidup kita dan elemennya di situ bukan eksekutif tapi ada juga legislatif dan ada juga yudikatifnya. Kalau di pemerintahan ada eksekutif legislatifnya ini kan saling menguatkan satu sama lain menyeimbangkan juga dua-duanya ternyata punya lembaga atau organisasi yang menjadi tempat melahirkan kader-kader terbaik namanya partai politik (parpol).

Kan orang-orang terbaik sekarang ini didiknya lewat partai, dan menurut saya masuk parpol ini sesuatu yang tidak bisa dihindarkan kalau kita mau masuk di ranah pemerintahan supaya nilai manfaatnya maksimal karena masuk di legislatif atau eksekutif agak susah kalau tidak masuk lewat partai politik. Tinggal pilih mau partai politik yang mana.

Kalau di Golkar ini kan partai besar bahkan dengan segala dinamika naik turunnya kalau karena tetap bisa jadi nomor 2 sekarang di nasional. Walaupun saya ingat dulu sekitar tahun 98 atau 99 Ada pendemo yang ingin membubarkan Golkar tapi ternyata Golkar sekarang malah masuk Golkar.

Ada pengaruhnya juga (Ridwan Kamil) karena di dalam Partai Golkar ini kan banyak kelompok-kelompok juga. Jadi buat saya itu simbiosis mutualisme karena Ridwan Kamil sendiri masuk ke Golkar akan menjadi sosok yang terasing tidak ada kelompok. Kalau kami masuk Golkar tanpa Ridwan Kamil juga sebetulnya kami juga harus berinduk ke siapa. Jadi ini simbiosis mutualisme, dia butuh kelompok yang jadi pendukungnya, tim juga butuh induk yang bisa dijadikan patron, makanya kenapa ada tim-tim banyak yang masuk ke Golkar.

3. Siap mengabdikan diri untuk Bandung

Kisah Arfi Rafnialdi dan Romantisme Bandung yang Penuh CintaIDN Times/Istimewa

Sejak kapan terpikir untuk jadi Wali Kota?

Dari Kang Emil mau maju gubernur sebenarnya saya sudah pernah masuk bursa calon wali kota. Dulu karena bukan anggota Partai dari manapun tidak dapat tiket dulu daftarnya ke Nasdem, ke Hanura, Gerindra juga sempat daftar ke PKS kan ada Mang Oded jadi waktu itu 2018 akhirnya karena tidak bisa maju tidak dapat tiket ya udah masuk lagi ke tim kampanyenya Ridwan Kamil.

Jadi dari 2017-2018 ini memang sudah ada niatan cuman memang tidak dapat tiketnya. Saya sebenarnya secara pribadi belum merencanakan maju dalam waktu dekat untuk saat ini cuma waktu itu nggak maju ya udahlah, tapi kan kita merasa kayaknya banyak yang sebenarnya bisa dibuktikan untuk Kota Bandung, pikiran, pengalaman, jaringan, macam-macam lah. Bukan merasa paling pintar tapi banyak orang yang lebih pintar, bukan karena bisa, tapi banyak kenalan yang bisa jadi memang semangatnya semangat kolaborasi.

Waktu itu saat Pilpres saya jadi ketua TKD Prabowo Gibran mulai ada pertanyaan karena bertemu lagi dengan teman-teman para perpolitikan di Jawa Barat, ditanya mau maju nggak Kota Bandung, saya jawabannya enggak. Jadi kita fokus Pilpres memenangkan Prabowo itu saja dulu. Sampai akhirnya ternyata selesai Pilpres itu beberapa senior baik dari Golkar, Gerindra, dan lainnya itu meminta saya untuk diskusi serius dan mempertimbangkan untuk maju.

Akhirnya saya berbicara dengan Kang Emil itu tiga hari setelah pencoblosan karena saya harus lapor ke Kang Emil suara kabupaten/kota di Jawa Barat. Gimana kemudian saya tanya gimana nih nanti pilgub waktu itu jawabannya tidak tahu ke Jakarta atau ke Bandung. Lalu pertanyaannya adalah Bu Atalia maju atau enggak dan dia pastikan memang enggak.

Makanya saya mengajukan kalau jadi Kang Emil akan dukung lahir batin karena rasa saya bisa mengatasi kegelisahannya tentang Kota Bandung. Jadi bismillah saya sowan dulu ke pimpinan Golkar baru setelah itu launching.

Jadi memang sejak tujuh tahun lalu sudah ada kepikiran maju yah?

Jadi kalau ditanya atau tidak memang ada dari 2017 cuman memang tidak ada waktu dekat harapan saya. Mungkin kepikirannya pas Emil jadi Wapres dulu baru saya masuk, tapi ya memang jalannya seperti ini jadi ini kesempatan yang istimewa yang buat saya, rezeki lah kemudian bisa maju jadi calon wali kota karena persaingan di Golkar sendiri sebenarnya sangat ketat. Golkar ini partai kader yang orang-orangnya pada hebat, baik yang sudah lama berkarir di Golkar maupun yang sama-sama baru masuk Golkar punya kekuatan dan potensi serta jaringan.

Saya akhirnya di amanahi maju di waktu terakhir banget pendaftaran saya baru dikasih surat keputusan DPP 27 dini hari jam 12.30 WIB. Jadi hari-hari itu memang sedang ada di Jakarta dengan inisiatif berkomunikasi ke DPP PSI dan Golkar.

Jadi PSI ini dinamika Pilkada lah karena kan ada juga mungkin di Jabar seperti yang terakhir itu di PDIP tapi ini mencerminkan bagaimana hari per hari, jam ke jam, itu ada situasi yang sebenarnya harus direspon oleh pimpinan partai politik jadi waktu itu saya bersyukur tanggal 27 Agustus. Jadi akhirnya masih bisa melakukan komunikasi politik dengan PSI dengan PAN, Hanura, Garuda. Ya alhamdulillah Walaupun ada partai politik lain yang sebenarnya udah mulai dekat Intens komunikasinya kemudian lepas.

Baca Juga: Farhan-Erwin Targetkan Kemenangan Pilwakot Bandung 45 Persen Suara

Baca Juga: Jadi Pendaftar Terakhir, Dandan-Arif Siap Rebut Suara Warga Bandung 

Baca Juga: Pemkab Bandung Siapkan Tanggap Darurat Gempa Bumi Selama Dua Pekan 

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya