Kesehatan Mental, Hantu di Tengah Pandemik yang Harus Diwaspadai

Beranikan diri untuk mengecek kesehatan jiwa kalian

Bandung, IDN Times - Gelombang Pandemik COVID-19 yang terjadi sejak awal tahun 2020 memberikan dampak serius pada masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tak hanya persoalan orang terjangkit kasus, meninggal, dan terpuruk akibat perekonomian, satu hal yang masih luput dari pantauan adalah dampak kesehatan mental.

Dikutip dari Buku Panduan tentang Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS) 2021, menunjukkan bahwa di masa pandemik COVID-19 terdapat kenaikan kasus depresi dan ansietas. Lebih dari 60 persen orang mengalami gejala depresi. 40 persen mengalami disertai ide bunuh diri, dan diperkirakan sekitar 32,6 persen hingga 45 persen penduduk yang terkena COVID-19 mengalami gangguan depresi. Sedangkan 10,5 persen sampai 26,8 persen penyintas COVID-19 mengalami gangguan depresi.

Bahkan ketika berstatus positif COVID-19, sekitar 35,7 persen hingga 47 persen orang mengalami gangguan ansietas, serta 12,2 persen mengalami gangguan stres pasca trauma.

Sementara itu, di Jawa Barat per data 2018 terdapat sekitar 2,31 juta orang yang mengalami depresi. Dari angka tersebut, hanya 9 persen saja yang mendapatkan pengobatan.

"Angkanya kecil karena kadang mereka (penderita depresi) serba salah ketika mau curhat (konsultasi). Padahal kalau sudah waktunya mereka harus minta tolong karena kondisi itu bisa membuat hubungan dengan orang lain," ujar Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa RSIA Limijati Elvine Gunawan dalam sebuah diskusi akhir pekan kemarin.

1. Jangan abai dengan kondisi mental

Kesehatan Mental, Hantu di Tengah Pandemik yang Harus Diwaspadaiilustrasi berdiskusi (pexels.com/Mental Health America (MHA))

Elvine menuturkan, kesehatan mental menjadi hal krusial yang harus diketahui setiap orang. Kondisi mental ini serinng kali naik turun tergantung dengan kegiatan yang kita lakukan atau dampak dari orang sekitar.

Karakteristik setiap orang yang berbeda membuat kesehatan mental tidak bisa dilihat secara gamblang. Bisa saja ketika seseorang merasa dirinya sudah tidak benar dengan mental yang dipunya, tapi orang lain merasa itu biasa saja.

"Kesehatan jiwa ini subyektif sekali. Tapi, kalau diri kita merasa ada yang salah dalam tiga atau empat hari, maka sebaiknya memeriksakan diri ke psikiater," kata dia.

Menurutnya, kondisi mental yang menurun tidak bisa dijabarkan dalam angka. Artinya, pada umur berapapun mental seseorang bisa sangat menurun. Untuk itu, sangat penting bisa merasakan apakah diri kita melakukan hal yang benar atau tidak. Karena kesehatan mental bisa berdampak pada prilaku atau kegiatan sehari-hari.

2. Cek kesehatan mental kini lebih mudah

Kesehatan Mental, Hantu di Tengah Pandemik yang Harus DiwaspadaiInternet

Elvine menuturkan, selama ini banyak masyarakat abai dengan kesehatan mental bukan hanya karena mereka merasa sehat secara rohani. Persoalan lainnya adalah ketakutan masyarakat membayar mahal ketika harus bertemu dengan dokter spesialis termasuk psikiater.

Di saat seperti ini, masyarakat sebenarnya bisa memanfaatkan berbagai platform yang bisa memastikan kita memiliki gangguan kesehatan atu tidak. Di ruang tengah semedi misalya, setiap orang yang mau mengecek kesehatan bisa melakukannya lebih dulu secara daring melalui laman www.ruangtengahsemedi.com.

Setelah mengisi pertanyaan secara daring dan mendapatkan hasilnya, bisa langsung mendatangi psikiter dan memastikan kondisi kesehatan lewat hasil pengecekan tersebut.

"Skrining online ini bisa untuk menyaring kita butuh bantuan (profesional) apa enggak yang perlu dikonfirmasi. Kalau sudah dapat hasilnya dan memang harus datang, bisa dibawa hasil skrining onlinenya," kata dia.

3. Tak mudah pulih dari mental yang sudah sakit

Kesehatan Mental, Hantu di Tengah Pandemik yang Harus Diwaspadaiilustrasi mental health(pixabay.com/wokandapix)

Kondisi mental yang sempat ambruk dialami Mia. Wanita yang bekerja sebagai seorang ahli IT ini menuturkan, kesehatan mentalnya pernah berada di titik terendah ketika mencoba bunuh diri saat masih mengandung.

Itu terjadi ketika dia mengandung sang buah hati. Saat hamil tiga bulan ayah yang amat dicintainya meninggal dunia. Tak berselang lama, sang suami pun harus menghembuskan napas terakhirnya karena kecelakaan.

"Saya kepikiran mengakhiri hidup, tapi saya ingin bayi yang saya kandung tetap hidup dan tidak meninggal," ujarnya.

Beragam cara sudah terbesit di benak Mia agar dia bisa meninggal dengan tenang tanpa mengajak anaknya. Bahkan dia berkeinginan melahirkan sang buah hati lebih dulu untuk kemudian mencari cara bunuh diri.

Keinginan tersebut makin menguat ketika banyak pemberitaan yang melaporkan seorang ibu membunuh anak karena alami babyblues. Di tengah upaya tersebut, Putih, anak Mia justru jadi penguatnya untuk tetap bertahan.

"Setiap mau melakukannya (bunuh diri), saya suka teringat anak yang nangis. Saya coba berjuang (tidak bunu diri)," kata dia.

Sempat melakukan konseling dengan psikiater bahkan sampai meminum beberapa obat, Mia sekarang sudah mulai merasakan ketenangan. Dukungan keluarga pun membuatnya semakin yakin untuk terus hidup bersama Putih.

Baca Juga: 6 Alasan Ilmiah Kamu Butuh Traveling, Sehat untuk Mental dan Fisik

Baca Juga: 9 Drama Korea tentang Mental Illness, Happy World Mental Health Day!

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya