Kemandirian Anak Difabel Intelektual Bukan Hal Mustahil

Jangan pernah letih berikan semangat untuk mereka

Bandung, IDN Times - Rika (20) dan Risma (12) duduk di kursi menghadap tembok. Ditemani pengajar, keduanya belajar menulis dan menghitung di meja masing-masing. Bukan di ruangan sekolah, kegiatan ini berlangsung di rumah Kepala Desa Lengkong, Kabupaten Bandung.

Dreamwork dan Omah Therapy. Begitu Yulianti menamai tempat ini. Wanita yang juga penggagas sekolah Dreamable, sekolah khusus anak difabel intelektual, sekarang tengah menjalankan misi membantu anak berkebutuhan khusus (ABK) lebih mandiri secara finansial.

Sudah setahun Yulianti dan rekan-rekannya mendirikan tempat belajar sekaligus 'bekerja' para siswa difabel intelektual ini. Meski belum memiliki tempat yang nyaman, 10 siswa di Dreamwork sudah mulai belajar membaca, menghitung, juga membuat produk yang bisa dipasarkan.

Selain itu, di sini siswa difabel pun diajarkan dan diperbantukan di Rumah Laundry. Tiga mesin alat pencuci yang ada dipakai untuk belajar para siswa mencuci pakaian menggunakan mesin. Sementara untuk keperluan sabun mencuci, siswa ikut membuatnya didampingi para pengajar di rumah ini.

"Untuk di rumah ini kita ada rumah therapy, rumah laundry, dan rumah kreativitas. Jadi anak difabel intelektual yang datang ke sini bisa mendapatkan tiga kegiatan bermanfaat," ujar Yulianti saat berbincang dengan IDN Times, Kamis (16/9/2021).

Pendirian Dreamwork di Desa Lengkong ini bukan tanpa alasan. Setelah sempat berbincang dengan kepala desa, Yuli mendapat data bahwa banyak anak difabel intelektual di daerah ini yang sudah besar atau pascasekolah. Sayangnya, ketika berbincang dengan keluarga mayoritas anak difabel itu ternyata belum pernah mengenyam pendidikan.

Dari latar belakang tersebut, Yuli melihat bahwa pengembangan kreativitas dan kemandirian kepada anak-anak ini lebih cocok diterapkan. Sembari tetap menyediakan ruang untuk anak difabel yang ingin belajar.

Kemahiran siswa harus terus diasah

Kemandirian Anak Difabel Intelektual Bukan Hal MustahilSiswa difabel intelektual di Dreamwork diajarkan untuk mencuci tangan sebelum ikut belajar. IDN Times/Debbie Sutrisno

Kegiatan di Dreamwork dilakukan setiap hari Selasa dan Kamis. Dalam satu kali pertemuan hanya dari jam 08.00 WIB sampai 11.00 WIB. Jam belajar ini tidak terlepas dari pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).

Kurikulum belajar tidak dibuat serinci mungkin. Pertemuan demi pertemuan dilakukan secara santai tapi serius. Ketika mereka belajar, maka pendamping akan sigap mengajar baik ilmu membaca, menghitung, atau bahkan melukis.

Sementara saat membuat kreativitas seperti sabun cuci atau pengepakan teh untuk terapi, siswa diajarkan agar lebih mahir dan bisa secara mandiri. Harapannya, ke depan mereka tidak selalu harus didampingi tapi sudah terbiasa melakukannya sendiri.

Yuli menyebut, sejauh ini memang belum ada siswa di Dreamwork yang sudah mahir dalam pengepakan atau mencuci pakaian. Jangka waktu satu tahun dianggap masih terlalu dini untuk menjadikan pada difabel intelektual ini mandiri.

"Banyaknya hal bisa dilakukan membuat mereka lebih senang belajar, tidak bosan. Kalau tidak jenuh maka pengembangan (diri) mereka juga bisa lebih mudah," ujar Yuli.

Sejauh ini produk teh terapi yang berhasil dikepak para siswa sudah mulai diperjualbelikan kepada masyarakat. Pun dengan sabun cuci yang dibuat oleh mereka perlahan tapi pasti mulai dipesan masyarakat dan pelaku usaha cuci pakaian lainnya yang ada di sekitar Desa Lengkong.

Keberadaan Dremwork ini, lanjut Yuli, saat ini tidak hanya dimanfaatkan oleh anak difabel intelektual yang ada di Desa Lengkong. Sejumlah anak di desa tetangga pun sudah ada yang mendaftar untuk belajar di sini.

Dukungan pengembangan bagi difabel intelektual masih kurang

Kemandirian Anak Difabel Intelektual Bukan Hal MustahilSalah satu siswa di Dreamwork sedang menggunakan mesin cuci. IDN Times/Debbie Sutrisno

Nurna Yunisa (34), salah satu relawan Dreamwork yang juga istri Kepala Desa Lengkong menuturkan, keberadaan tempat belajar ini sangat membantu keluarga yang memiliki akan difabel intelektual. Selama ini pihak desa tidak memiliki program untuk belajar bagi mereka. Sedangkan sekolah luar biasa (SLB) yang bisa diakses jaraknya jauh. Alhasil orang tua difabel intelektual sangat jarang mengantarkan mereka belajar karena keterbatasan finansial.

Di sisi lain, bantuan kepada pada difabel pun baru sedikit sekali. Mayoritas masih berupa uang atau barang yang diberikan dinas sosial (dinsos). Padahal keperluan ABK ini tidak hanya berupa bantuan barang semata. Butuh hal lebih mendasar seperti pendidikan dan pelatihan agar mereka ke depannya bisa lebih mandiri.

"Jadi (bantuan) hanya tunjangan gitu setahun sekali, dan itu pengaturannya di dinsos. Kalau pelatihan atau pembelajaran itu ga ada," kata Nurna.

Saat ini anak difabel intelektual di Desa Lengkong yang terdata baru ada 14 orang khusus di RW 12. Jumlah ini diprediksi lebih banyak karena tidak semua orang tua memberikan informasi bahwa anaknya difabel. Masih banyak keluarga yang justru menyembunyikan keberadaan mereka karena takut muncul stigma miring dari masyarakat.

Menurutnya, anak difabel intelektual di Desa Lengkong sempat ada yang bersekolah sekelas dengan siswa non-difabel. Sayang anak tersebut kerap mendapat perundungan dan membuatnya tidak ingin bersekolah kembali.

Nurna pun sangat berterimakasih dengan didirikannya Dreamwork di Desa Lengkong. Anak difabel intelektual akhirnya bisa mendapat pendidikan seperti anak lainnya. Mereka juga mendapat berbagai pelatihan yang diharap bisa menghasilkan finansial untuk diri sendiri.

Tak hanya itu, keberadaan Dreamwok juga memberikan semangat untuk orang tua siswa. Biasanya para orang tua tersebut malu untuk berbagi informasi terkait kondisi anaknya.

"Kita di sini juga mengajarkan keahlian atau kreativitas untuk keluarga siswa difabel. Jadi manfaatnya bukan hanya dirasakan siswanya saja tapi juga orang tuanya," kata Nurna.

Orang tua Risma, Nendah, bersyukur dengan adanya komunitas yang mau memberikan pendidikan pada anaknya. Selama ini Risma yang sudah seharusnya mengenyam pendidikan hanya berdiam di rumah dan belajar dari kakak-kakanya.

Dia kebingungan ke mana harus memasukkan Risma untuk belajar. Dengan segala keterbatasan akhirnya Nendah hanya menjaga Risma di rumah dan belajar seadanya.

Setahun ikut pelajaran di Dreamwork, Risma terlihat ada perubahan. Meski tingkah lakunya masih bandel, tapi Risma menyukai ketika datang dan belajar bersama teman lainnya.

"Alhamdulillah sedikit-sedikit (ada perubahan). Kalau aktifnya masih sih, tapi memang sekarang mulai bisa diatur," ujar Nendah ditemui saat menjemput Risma pulang.

Sebagai anak bungsu dari enam bersaudara, Risma menjadi kesayangan keluarga. Nendah dan semua kakak Risma berupaya memberikan kesetaraan untuknya agar bisa mengakses banyak hal seperti anak non-difabel.

Nendah optimistis ke depannya Risma bisa lebih pintar dalam pendidikan dan mampu mandiri melakukan banyak hal. "Kan sekarang baru setahun, mudah-mudahan ma nanti bisa lebih baik lagi kalau sudah sering belajar di sini," kata dia.

Jangan lelah bantu ABK hilangkan stigma negatif

Kemandirian Anak Difabel Intelektual Bukan Hal MustahilSeorang anak difabel intelektual sedang berlajar menghitung. IDN Times/Debbie Sutrisno

Ketua Umum Pengurus Provinsi (Pengprov) Special Olympic Indonesia (SOIna) Jawa Barat, Sandi Pertiwi mengatakan, mengajar ABK memang tidak mudah dan butuh waktu. Berbeda dengan anak non-difabel, anak difabel membutuhkan perhatian dan metode yang berbeda-beda agar mereka mampu lebih mandiri.

Menurutnya, setiap lembaga pendidikan memiliki cara tersendiri dalam mengajar ABK. Di SOIna, terdapat metode unified (gabungan), di mana siswa difabel dan non-difabel bermain dan belajar bersama. Cara ini diyakini bisa melecut semangat siswa difabel untuk lebih mandiri dalam berbagai hal.

"Jadi sistemnya mereka bergabung. Yang non-difabel ini seperti pendamping tapi mereka sebaya. Jadi saat main juga digabung, tidak ada batasan," ujar Sandi.

Selama ini memang banyak siswa difabel mencoba belajar di sekolah yang mayoritas non-difabel. Namun, ada saja stigma negatif terhadap mereka termasuk perundungan. Itu membuat siswa difabel tidak nyaman dan bisa saja berujung pada stres.

Sementara ketika belajar di SLB, siswa difabel hanya bertemu dengan siswa difabel lainnya. SOIna menilai sistem pendidikan seperti itu juga kurang pas untuk mendorong kemandirian siswa.

Maka, metode gabungan dianggap paling pas untuk membantu ABK menjadi mandiri baik dalam kegiatan sehari-hari, atau meningkatkan skil mereka agar mampu secara finansial.

Sandi menyebut, dengan metode gabungan dan beragam ilmu yang diajarkan, beberapa anak difabel intelektual binaan SOIna Jabar mulai mampu secara finansial. Hingga sekarang ada siswa yang sekarang bisa membuat keset, menjahit, hingga menjadi tukang urut.
Meski pendapatannya tidak banyak, tapi itu memperlihatkan bahwa siswa difabel intelektual pun bisa melakukan banyak hal.

***

Tulisan ini adalah bagian dari program Workshop dan Story Grant Jurnalisme Keberagaman yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Special Olympic Indonesia (SOIna) didukung oleh Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Baca Juga: Semangat Difabel Intelektual Menggapai Asa di Tengah Himpitan Pandemik

Baca Juga: Lipstick Untuk Difabel Ajak Perempuan Difabel Semakin Menginspirasi

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya