Jangan Diskriminasi Penyintas ODHA Ketika Mengakses Layanan Kesehatan

Bandung jadi daerah penyintas ODHA terbanyak di Jabar

Bandung, IDN Times - Para penyintas orang dengan HIV/AIDS (ODHA) masih dibayangi stigma negatif dari mayoritas masyarakat. Di tengah upaya mereka untuk mampu bangkit dengan kondisinya, pendampingan dan pendangan positif pada penyintas harus digaungkan.

Harapannya mereka tetap punya semangat untuk melanjutkan hidup, dan patuh mengonsumsi obat untuk mengurangi risiko penularan. Anggota staf media Rumah Cemara, Prima Prakasa mengatakan, diskriminasi terhadap ODHA masih meski angkanya mulai menurun. Pandangan negatif kepada mereka membuat mental para ODHA bisa menurun. Kondisi ini didapat Rumah Cemara, lembaga nonprofit di Bandung yang fokus mengandvokasi masyarakat marginal, termasuk ODHA.

"Diskriminasi saat layanan ini masih banyak ditemukan di fasilitas kesehatan. Mereka belum ramah dengan populasi kunci seperti LGBT, narkotika, pekerja seks, hingga ODHA. Masih ada stigma negatif ketika berobat," kata Prima kepada IDN Times, Jumat (8/12/2023).

Menurutnya, pernyataan mental para tenaga kesehatan yang kerap memandang sebelah mata ODHA membuat mental para penyintas anjlok di saat mereka berupaya untuk lepas dari ketergantungan.

1. Tak usah mengorek luka lama penyintas

Jangan Diskriminasi Penyintas ODHA Ketika Mengakses Layanan KesehatanIlustrasi LGBT (IDN Times/Arief Rahmat)

Prima mencotohkan, ketika ada pelayan kesehatan yang melayani kelompok LGBT, sering muncul pertanyaan mengapa mereka bisa terkena HIV. Padahal, hal tersebut tidak harus ditanyakan karena membuat penyintas tidak nyaman dan akhirnya malam untuk mengakses layanan kesehatan.

Apalagi dengan kondisi penyintas ODHA tidak bisa sembuh total dan harus rutin mengambil obat, mau tak mau mereka harus mendatangi fasilitas layanan kesehatan dan melakukan pemeriksaan.

"Jangan lagi ada pemikiran atau sampai omongan 'kami sih HIV', hal kaya gitu harusnya udah ga di layanan kesehaan," ungkap Prima.

Saat ini, informasi banyaknya stigma negatif dari pelayan kesehatan mayoritas tidak di Jawa Barat. Kondisi ini terjadi di Yogyakarta dan Padang, Sumatera Barat. Sedangkan di Jabar sendiri perlahan kasus diskriminasi ini mulai turun meski belum hilang seluruhnya.

2. Dukungan perlu digencarkan kepada ODHA

Jangan Diskriminasi Penyintas ODHA Ketika Mengakses Layanan KesehatanIlustrasi Hari AIDS Dunia (IDN Times/Mardya Shakti)

Prima menuturkan, saat ini bantuan dalam berbagai hal kepada ODHA memang banyak. Mulai dari lembaga non pemeritahan, hingga pemerintah daerah mulai konsen untuk memberikan pelayanan kepada mereka.

Dengan pendampingan ini, harapannya penularan HIV/AIDS pun bisa terus menurun. Walaupun pada kenyataannya agak sulit untuk meredam penyebaran HIV/AIDS di Indonesia. Sejumlah target yang dicanangkan pemerintah pusat juga belum mempu menahan laju peningkatan jumlah HIV/AIDS.

"Sulit, tapi kita di Rumah Cemara juga bersama organisasi lain kami terus membari bantuan kepada ODHA untuk bisa aktif berkegiatan. Kami ikut kegiatan juga bersama Fifa Foundation, mengkampanyekan lewat sepakbola dan olahraga lainnya," ungkap Prima.

3. Jangan ada lagi kematian karena HIV/AIDS

Jangan Diskriminasi Penyintas ODHA Ketika Mengakses Layanan KesehatanIlustrasi Dukungan pada Penderita AIDS (IDN Times/Mardya Shakti)

Dukungan tak ada stigma negatif kepada ODHA juga disuarakan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung. Ketua KPA Bandung Maya Verasandi menyebut salah satu target yang dikejar Kota Bandung ialah tidak ada lagi kasus baru HIV/AIDS pada 2030.
Dengan target tersebut, Bandung harus menjadi kota yang unggul, nol HIV/AIDS, serta kota tanpa stigma bagi ODHA.

“Kami berharap pada 2030 tidak ada lagi infeksi HIV baru. Selain itu tidak ada lagi stigma, dan tidak ada lagi kematian karena HIV/AIDS," tuturnya.

Berdasarkan data KPA, Bandung menjadi kota yang memiliki kasus HIV/AIDS tertinggi di Jawa Barat. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Jawa Barat, pada tahun 2021 sebanyak 12.358 orang terinfeksi HIV merupakan jumlah orang yang terdiagnosis HIV dari dalam wilayah Kota Bandung dan luar Kota Bandung. 

Secara rinci, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) kasus HIV-AIDS di Kota Bandung secara kumulatif hingga akhir 2022 mencapai 2.428 orang. Dari total kasus itu, mayoritas adalah laki-laki, yakni 2.014 orang.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023, tahun lalu ditemukan 31 kasus baru. Jika ditotal, kasus HIV-AIDS di Kota Bandung mencapai 2.428. Dari 2.428 kasus itu, sebanyak 2.014 merupakan laki-laki, selebihnya perempuan.

4. Pemkot Bandung upayakan 2030 tak ada lagi kasus HIV/AIDS

Jangan Diskriminasi Penyintas ODHA Ketika Mengakses Layanan Kesehatanilustrasi seorang pria menggunakan pita merah, simbol solidaritas untuk para pengidap HIV/AIDS (pexels.com/Anna Shvets)

Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung terus berupaya menekan penyebaran dan penularan HIV/AIDS serta menanggulanginya. Strateginya antara lain dengan melakukan pelacakan cepat, agar penyintas HIV/AIDS terlacak dan segera diobati permanen.

"Kota Bandung juga menargetkan tidak ada lagi kasus HIV/AIDS baru di tahun 2030," kata Sekretaris Dinas Kesehatan Kota Bandung, Sony Adam.

Sony pun mengajak anak muda yang saat ini terjangkit HIV/AIDS untuk bisa berkreasi dalam bentuk apapun. Harapannya setiap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) bisa tetap mandiri dalam menjalankan aktivitas termasuk mencari penghasilan.

“Kegiatan ini juga merupakan upaya meningkatkan kesadaran dan kemandirian ODHA di Kota Bandung,” katanya.

Baca Juga: Dinsos Jabar Minta Masyarakat Tidak Beri Stigma Buruk pada ODHA

Baca Juga: Masyarakat Bali Dukung Penyintas HIV AIDS Berorganisasi dan Bergaul

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya