Industri Keluhkan UMK vs Buruh Minta Naik Gaji, Mana Harus Didukung?

Sudah banyak industri yang runtuh dan pindah provinsi lain

Bandung, IDN Times - Gelombang aksi buruh di Jawa Barat masih berdatangan ke depan Gedung Sate. Ratusan buruh dari berbagai aliansi pun silih bergantian berorasi berharap agar upah minimum kerja (UMK) di setiap daerah dinaikkan. Selain itu, mereka pun berharap tidak ada pengusaha di setiap daerah yang menggunakan upah minimum provinsi (UMP) Jawa Barat karena nilainya yang terlalu rendah di angka Rp1,8 juta.

Pengamat ekonomi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati, Setia Mulyawan, mengatakan, penetapan UMK memang dilematis dan menjadi pisau bermata dua. Musababnya, kenaikan UMK yang terlalu tinggi bisa berdampak pada kestabilan dunia industri.

"Pebisnis tidak akan tertarik lagi usaha kalau mereka harus mengeluarkan cost terlalu besar, khususnya yang bergelut di industri padat karya," ujar Setia ketika dihubungi IDN Times, Rabu (20/11).

Di sisi lain, tuntutan buruh juga tak bisa dielakan. Kebutuhan ekonomi para pekerja tidak turun. Kebutuhan yang makin tinggi membuat mereka sudah pasti meminta gaji lebih besar.

1. Pemda harus mencari win-win solution terbaik

Industri Keluhkan UMK vs Buruh Minta Naik Gaji, Mana Harus Didukung?IDN Times/Debbie Sutrisno

Setia mengatakan, dalam persoalan ini pemerintah daerah dalam hal ini provinsi harus bisa mencari jalan tengah terbaik bagi pelaku industri dan buruh. Jangan sampai aturan atau keputusan pemerintah daerah buruk bagi salah satu pihak.

"Jadi tarif UMK tidak membebani dunia usaha, tapi di sisi lain bisnis harus tetap jalan dan mendapat keuntungan," papar Setia.

Hal yang ditakutkan dari tingginya UMK di daerah adalah hengkangnya pelaku industri dari suatu daerah. Ketika mereka menutup pabrik tersebut maka perekonomian masyarakat pun terganggu.

2 Industri padat karya yang paling terdampak ketika UMK terlalu tinggi

Industri Keluhkan UMK vs Buruh Minta Naik Gaji, Mana Harus Didukung?ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya

Menurut Setia, persoalan kenaikan UMK akan sangat berdampak pada industri padat karya. Sebab beban pengeluaran terbanyak dari sektor industri tersebut adalah untuk menggaji sumber daya manusia (SDM).

Industri tekstil dan produk tekstil misalnya, sejauh ini sudah banyak perusahaan yang terpaksa menutup pabrik ketimbang harus mengeluarkan dana besar untuk membayar karyawan. Sejumlah industri pun memilih pindah ke provinsi lain seperti Jawa Tengah karena UMK di daerah tersebut masih lebih rendah dibandingkan di Jawa Barat.

"Sekarang saja industri tekstil di Jabar sudah turun. Kalau UMK ini naik terus dan tinggi maka industri padat karya kesulitan karena mereka sangat menghindari upah tinggi," kata Setia.

3. Jangan bandingkan gaji satu daerah dengan daerah lain

Industri Keluhkan UMK vs Buruh Minta Naik Gaji, Mana Harus Didukung?IDN Times / Auriga Agustina

Di sisi lain, Setia meminta para pekerja di satu daerah tidak membandingkan dengan upah daerah lain. Sebab kebutuhan dan kesanggupan industri di daerah lain tidak sama.

Misalnya, buruh yang ada di Majalaya tidak membandingkan dengan buruh yang ada di Bekasi atau Karawang. Meski pendapatan buruh di sana lebih tinggi, tapi industri yang menggaji mereka pun memang mendapat penghasilan lebih besar.

"Jadi yang paling penting adalah duduk bersama mencari formula yang kira-kira pas untuk ditetapkan di Jabar," ungkapnya.

4. Pengangguran dan kemiskinan bisa bertambah dampak kenaikan UMK

Industri Keluhkan UMK vs Buruh Minta Naik Gaji, Mana Harus Didukung?IDN Times/Arief Rahmat

Hal yang paling ditakutkan karena kenaikan UMK yang terlampau tinggi adalah kemungkinan adanya jumlah pengangguran yang bertambah. Misalnya, ketika upah tinggi kemudian pabrik menutup operasionalnya, ratusan hingga ribuan pekerja sudah pasti tidak bekerja. Dampaknya? angka pengangguran meningkat. Setelah pengangguran ini ada, bisa jadi persoalan itu berpengaruh pada angka kemiskinan.

"Industri padat karya itu sensitif pada perekonomian. Kalau sampai mereka (pabrik) migrasi itu berbahaya," ujarnya.

Provinsi Jawa Barat (Jabar) saat ini menjadi sorotan usai Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pengangguran. Dalam rilis tersebut, per Agustus 2019 Provinsi Jawa Barat menempati ranking kedua sebagai daerah dengan presentase pengangguran tertinggi.

Berdasarkan data BPS, presentase Jabar mencapai 7,99 persen. Sedangkan rangking pertama provinsi dengan presentase pengangguran terbesar adalah 8,11 persen. Sedangkan dalam tataran nasional, tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 5,28 persen. Angka ini turun dibandingkan tahun lalu sebesar 5,34 persen. Dengan demikian dalam 100 orang angkatan kerja di Indonesia terdapat lima orang yang menganggur.

5. Pemprov Jabar belum bisa menetapkan UMK di seluruh daerah

Industri Keluhkan UMK vs Buruh Minta Naik Gaji, Mana Harus Didukung?IDN Times/Humas Pemprov Jabar

Gubernur Jabar Ridwan Kamil, belum bisa memberikan keputusan akan menetapkan upah minimum kota/kabupaten (UMK) atau tidak. Menurutnya, upah minimum baru akan dirapatkan hari ini (Rabu, 20/11).

"Karena ada kendalanya besok jadi plus minus nya. Sudah terima surat dari Apindo yang intinya ekonomi lagi berat, itu sangat berpengaruh pada kelangsungan yang padat karya. Ini saya pertimbangkan," ujar Ridwan Kamil.

Emil mengatakan, keputusan upah ini setiap tahun selalu menimbulkan gejolak yang tidak mudah. Untuk itu,ia meminta buruh dan pengusaha untuk menyelesaikan kenaikannya.

"Tapi tetap naik ya, kalau saya tidak tetapkan UMK itu tetap naik hanya presentasinya disesuaikan dengan kesanggupan dari masing-masing," katanya.

Baca Juga: Terlalu Tinggi, Usulan UMK Tiga Daerah Ini Ditolak

Baca Juga: Pekerjanya Dipolisikan, Ratusan Buruh Datangi Manajemen PT Ultrajaya 

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya