Fesyen Thrifting: Antara Tren dan Upaya Mengurangi Limbah Tekstil

Konsumen harus jeli memilah barang agar bisa dipakai lama

Bandung, IDN Times - Julukan Kota Bandung sebagai kota fesyen masih melekat di kalangan anak muda hingga saat ini. Memang, tidak sedikit model dan tren fesyen yang lahir dari kota ini. Seakan tak kehabisan akal, para anak muda Bandung terus menggali dan mengembangkan fesyen apa yang bakal digandungi masyarakat ke depannya.

Seperti saat ini, di mana tren thrifting sedang menjamur di Kota Bandung. Lantas apa itu thrifting? Gampangnya istlah ini adalah berbelanja barang bekas, yang sekarang lebih banyak mengacu pada pakaian baik baju hingga sepatu.

Di Bandung, sejak puluhan tahun silam terdapat satu tempat yang menjual pakaian dan barang bekas, yaitu Pasar Gedebage. Tempat ini bukan hanya digandrungi anak muda Kota Bandung, tapi juga pelancong luar kota yang sengaja mencari pakaian ke sini.

Perlahan, para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menjual produk serupa kian banyak. Di tengah perkembangan media sosial (medsos), tak sedikit yang sudah mulai berjualan barang thrifting dengan memanfaatkan kecanggihan internet.

Salah satu sosok yang merasakan dampak baik pada fesyen ini adalah Rais Maulana. Pemilik toko Tostilas, atau dalam bahasa Indonesia memiliki arti 'sudah bekas', melihat tren ini diminati masyarakat muda.

Berjualan sejak 2018, peminat barang bekas sebenarnya sudah ada. Tak sedikit orang yang memang suka dan memilih membeli baju, celana, atau jaket bekas ketimbang beli barang baru. Namun, saat ini pembeli barang bekas tumbuh yang mayoritas didominasi anak muda seperti pelajar SMA dan SMP.

"Banyak yang pilih barang thrifting karena mereka ingin punya pakaian dengan brand fesyen tertentu tapi tidak punya uang. Akhirnya mencari barang bekas yang harganya jauh lebih murah," ujar Rais kepada IDN Times, Jumat (3/6/2022).

Karena tren thrifting yang makin digandrungi termasuk oleh selebgram, harga pakaian bekas sekarang sulit ditaksir, tidak selamanya murah meriah seperti dulu. Konsumen yang bertambah banyak dan pelaku usaha thrifting yang kian menjamur membuat harga barang dengan merk tertentu menjadi lebih mahal dibandingkan dulu.

Meski harganya tidak semurah dulu, nyatanya peminat barang thrifting tetap saja banyak. Rais mengatakan Tostilas sendiri dalam sebulan bisa menjual barang mencapai 50 potong selama pandemik, karena hanya fokus jualan secara daring. Pascapandemik dan tempat berjualan di lapak sudah diizinkan, sekarang Tostilas mampu menjual 100 sampai 200 barang bekas per bulannya.

Pembeli datang dari berbagai macam pintu, salah satunya dengan menyambangi toko di Instagram @tostilas.id.

"Memang bisnis seperti fesyen ini ada naik turunnya, semua juga merasakan. Tapi saya percaya fesyen ini tidak akan mati karena selama orang ada, pakaian tetap dibutuhkan, termasuk untuk orang yang ingin barang branded dengan harga murah," kata dia.

1. Pilih barang second asalkan bermerek

Fesyen Thrifting: Antara Tren dan Upaya Mengurangi Limbah TekstilIDN Times/Galih Persiana

Salah satu penyuka produk thrifting adalah Thalita. Mahasiswi di salah satu universitas swasta di Kota Bandung ini memilih baju bekas karena model yang ada berbeda dengan model pakaian saat ini. Selain bentuknya yang vintage, desainnya pun terbilang menarik dan harganya pun jelas lebih murah.

Untuk kebutuhan kuliah yang sehari-hari memakai pakaian bebas, baju bekas dengan model yang bagus sangatlah cocok. Apalagi tren sekarang memang barang thifting lebih menarik dan banyak digunakan anak muda, sehingga Thalita tak malu meski menggunakan pakaian itu ke kampus.

"Banyak juga yang pakai. Gak malu karena bukan saya doang ikuti tren ini. Kalau pakai barang baru dan mahal terus ke kampus ya uang beli pakaiannya mau dari mana?" ujar Thalita.

Dengan banyaknya produk thifting yang dijual UMKM di Kota Bandung, tidak sulit mendapat barang tersebut. Jika dulu penyuka produk thrifting harus pergi ke Gedebage, Tegalega, atau tempat lapak barang bekas lainnya, sekarang thrifting banyak juga dijual secara daring (online) lewat Instagram atau e-commerce.

Mencari barang branded dari thrifting juga dilakukan Robi. Dengan harga yang lebih murah, dia bisa bersolek menggunakan pakaian dengan merek terkenal walaupun barangnya masuk kategori second.

Saat ini memang ada sebagian masyarakat menilai barang bekas itu tidak sehat atau kotor, karena tidak tahu siapa pengguna baju tersebut di waktu yang lampau. Untuk meminimalisir penularan penyakit dari pakaian bekas, dia pun mencucinya terlebih dulu sebelum dipakai. Harapannya pakaian tersebut kembali bersih dan nyaman untuk digunakan.

2. Thrifting seharusnya berdampak pada pengurangan limbah tekstil

Fesyen Thrifting: Antara Tren dan Upaya Mengurangi Limbah TekstilEvent thrifting di Taman Pintar pada Jumat (03-06-2022) (IDN Times/Dyar Ayu)

Dosen Jurusan Produksi Garmen Konsentrasi Fashion Desain Politeknik-Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil (STTT) Bandung, Irfa Rifaah mengatakan, fesyen thrifting sebenarnya sudah lebih dulu ada di luar negeri, terutama di Benua Eropa. Banyak masyarakat di sana memilih produk thrifting karena gerakan untuk mendukung gaya hidup yang berkelanjutan dan minim sampai (zero waste).

Thrifting di negara-negara tersebut kemudian didukung oleh lingkungan sekitar baik perorangan maupun kelompok yang merawat barang-barang vintage atau keluaran dulu. Sehingga ketika barang tersebut dijual kembali kondisinya masih bagus, rapi, dan bersih. Bahkan mereka bisa menceritakan asal-muasal barang yang dijualnya.

Untuk saat ini, dengan infrormasi yang bisa diakses dengan bantuan berbagai platform, konsumen thrifting mungkin ada yang memang mencari latar belakang barang yang dicari. Namun, ada juga yang sudah tahu informasi dan ketika ada barangnya langsung dibeli.

"Tapi sekarang thrifting tidak hanya sebatas barang jadul saja. Banyak juga barang branded yang populer beberapa tahun lalu, kemudian dibeli saat barangnya masuk kategori second atau menjadi tangan kedua," kata Irfa.

Dengan adanya tren fesyen ini, para pelaku barang terbaru atau industri tekstil belum tentu gulung tikar, karena kembali pada daya beli konsumen yang bervariasi.

Salah satu persoalan dengan adanya tren thrifting adalah limbah teksil yang pasti lebih banyak. Karena barang yang dijual mayoritas adalah barang impor, maka pakaian yang seharusnya menjadi limbah di negara lain malah punya nilai ekonomi di Indonesia.

3. Jangan jadi konsumen yang konsumtif dengan adanya tren ini

Fesyen Thrifting: Antara Tren dan Upaya Mengurangi Limbah TekstilIDN Times/Galih Persiana

Meski demikian, ancaman limbah fesyen itu bisa diminimalisir ketika masyarakat tidak konsumtif dalam berbelanja. Artinya, mereka bisa mencari baju yang memang sesuai dan digunakan dalam jangka waktu panjang. Pembelian barang bekas harus yang berkualitas sehingga tidak cepat terbuang menjadi limbah tekstil.

"Terlebih thirfting sendiri istilah yang sebenernya mengerucut pada barang vintage yang dijual kembali (second). Jadi barang vintage harus diselidiki dl kondisinya sebelum dibeli," ujar Irfa.

Menurutnya, niat awal masyarakat untuk memperluas tren fesyen thrifting sudah baik. Sayangnya, edukasi yang kurang pada masyarakat membuat soal thrifting membuat konsumen lebih konsumtif ketika melihat barang bekas yang bagus dengan harga murah.

Untuk itu masyarakat perlu diarahkan dan mendalami kembali apa itu tren thrifting dan dampak positif yang bisa diambil. Gunakan barang bekas dengan lebih lama dan sesuai fungsi. Jangan tren ini sekadar ajang berburu barang untuk tujuan jangka pendek.

Ketika thrifting dilakukan dengan cara yang benar, maka tren ini akan berlangsung untuk jangka waktu lama. Namun, jika hanya dijadikan ajang keseruan anak muda untuk tampil fashionable semata, tren ini akan menghilang dalam beberapa waktu saja.

"Namun saya takin tetap ada segelintir orang yang tetap melakukannya walau tidak banyak dan menjadi tren lagi. bila tren thrifting menghilang, nanti akan muncul lagi di suatu waktu, dengan fokus produk thrifting yang digemari akan berbeda dari generasi yang satu dan yang lainnya," papar Irfa.

4. Mengolah barang bekas agar punya nilai jual kembali

Fesyen Thrifting: Antara Tren dan Upaya Mengurangi Limbah TekstilIDN Times/Debbie Sutrisno

Konsep berjualan barang bekas yang punya fokus pada pengurangan limbah tekstil dilakukan Restory. Salah satu toko thrifting yang berjualan di The Hallway Space, Pasar Kosambi, ini lebih banyak mengubah produk yang pernah dipakai agar bisa digunakan kembali.

Sayudha, salah satu pemilik Restory menuturkan, konsep yang dimiliki tempat usahanya adalah rework, recycle, dan reuse. Ini diambil karena Restory memiliki pemikiran bahwa barang bekas yang sudah pernah dipakai sebenarnya bisa dimanfaatkan kembali baik dengan perubahan pada kegunaannya. atau dikombinasikan sehingga punya daya tarik tersendiri.

Dengan konsep rework misalnya, pakaian bekas yang ada di toko ini merupakan produk kombinasi dengan desain tersendiri. "Kita konsep agar barang yang dipikir orang jelek atau tidak ada nilainya, terus kita rework lagi agar menarik konsumen untuk dimiliki," ujar pria yang akrab disapa Aduy ini.

Fesyen Thrifting: Antara Tren dan Upaya Mengurangi Limbah TekstilSeorang pembeli baju thrifting sedang mencoba pakaian yang dijual toko Restory. IDN Times/Debbie Sutrisno

Di toko Restory, banyak pakaian seperti jaket dan kemeja yang didesain ulang menggabungkan dua hingga tiga pakaian menjadi satu. Konsep ini yang coba diterapkan, sehingga barang yang dijual berbeda dengan penjual thrifting lain yang hanya menjual barang bekas hasil impor.

Untuk membuat pakaian atau barang bekas mempunyai nilai jual, Aduy dan rekan-rekannya tidak asal mengambil barang. Mereka memilah lebih dulu baik barang bekas yang sudah ada di pasar, atau barang pribadi yang kemudian bisa didesain ulang.

"Gak asal beli dalam bentuk bal-balan gitu. Jangan hanya mengejar ingin punya pakaian dengan brand tertentu gitu. Kami lebih lebih selektif memilih barang yang ada atau limbah lah terus dimanfaakan lagi. Karena orang semakin ke sini juga lebih terbuka, gak harus beli barang baru terus kan," kata dia.

Konsep mendaur ulang barang bekas, nyatanya tidak mengurangi minat konsumen membeli barang di Restory. Aduy mengatakan, pendapatan tokonya saat pandemik COVID-19 dan ketika kasus ini landai memang berbeda. Sebab banyak konsumen yang memilih datang langsung ke toko untuk berbelanja untuk melihat barang dagangannya secara langsung.

Tanpa menyebut nominal pendapat, Aduy memastikan omzet bisnis ini cukup menggiurkan.

Untuk mengurangi limbah tekstil, toko ini juga bisa bekerja sama dengan masyarakat yang ingin menitipkan barangnya. Namun, penitipan itu pun melalui proses kurasi lebih dulu. Jika barang serupa masih banyak di toko, Restory akan mengoptimalkan produk yang ada lebih dulu untuk dijual.

Baca Juga: 5 Hal yang Sebaiknya Kamu Perhatikan saat Thrifting

Baca Juga: 10 Artis yang Hobi Thrifting, Suka Baju Bekas tapi Berkelas!

Topik:

  • Galih Persiana

Berita Terkini Lainnya