Cerita Ramadan: Ngabuburit Sambil Main Bola dan Berenang di Sungai

Asal jangan sampai batal yah habis main teman

Bandung, IDN Times - Bulan Ramadan selalu menjadi bulan yang saya nanti. Di tahun ini saya telah berkeluarga dan mempunyai satu anak laki-laki berumur tiga tahun. Keceriaan saat menyambut bulan puasa yang selalu diramaikan anak kecil yang bermain baik pagi hari atau sore menjelang berbuka selalu mengingatkan saya akan cerita menggelitik di masa kecil dulu.

Ramadan memang selalu membawa saya bernostalgia, mengingat keseruan berpuasa bersama teman-teman kecil kala dulu di rumah orang tua. Kesenangan itu terjadi di kala saya masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), sekolah yang tidak terlalu lama membuat saya bisa pulang lebih cepat ke rumah. Setelah tiba di rumah saya selalu menyempatkan istirahat di siang hari.

Bukan tanpa sebab, karena saya tahu pada sore hari akan ada teman dari satu komplek yang datang ke rumah mengajak bermain. Maka, tidur siang sudah menjadi suatu keharusan agar tenaga untuk bermain full hingga waktu berbuka puasa.

Pukul 15.00, Ibu biasanya sudah membangunkan saya. Usai menunaikan salat Ashar, adalah waktu yang ditunggu. Dan tak lama, panggilan bermain itu muncul dari depan pintu rumah.

"Debi, hayu ulin (debi, ayo main)," suara Seno, salah satu teman yang hanya berpapasan tiga rumah saja, datang mengajak saya bermain.

"Hayu, rek ka mana (ayo, mau ke mana)?," jawab saya yang langsung membuka pintu ketika mendengar suara Seno.

"Samper heula barudak (ajak dulu anak-anak lainnya)," kata Seno.

Setelah mengganti pakaian untuk main, saya dan Seno pun langsung mengajak teman-teman lain keluar rumah dan main bersama. Ada Irsyad, Gin-gin, Jen-jen, Nopan, dan Bogel.

Setelah semua berkumpul, kami akhirnya sepakat untuk bermain bola. Lawan yang akan dihadapi adalah anak komplek sebelah yang merupakan seteru abadi dalam pertandingan bola antarrukun tetangga (RT). Menggunakan gawang yang dibangun dari tumpukan batu bata alakadarnya, kami pun bermain enam lawan enam.

Saya, Gin-gin, Jen-jen, Nopan, dan Bogel menjadi pemain utama. Seno berada di paling belakang sebagai penjaga gawang, dan Irsyad disiapkan sebagai cadangan. Takut-takut ada yang capek dan kelelahan akan langsung diganti, ketimbang dia harus batal kan.

Bermain sekitar 20 menit dalam satu babak, dan istirahat selama 10 menit cukup membuat kami kelelahan. Baju sudah basah dan kotor. Main bola dengan gawang yang dibuat tanpa tiang samping atas dan bawah memang kerap menjadi perdebatan, bukan karena masalah siapa menang atau kalah, tapi bola yang melintas tepat di batu bata kerap tidak dianggap gol.

Begitupun bola yang terlalu jauh ke atas dan tidak setinggi saat kiper mengacungkan tangannya, pasti akan dianggap tidak masuk. Tapi di situlah keseruan permainan bola ini ada saja intrik yang terjadi di lapangan.

Dalam pertandingan ini, kemenangan didapat tim lawan dengan skor 7-5. Hasil ini mengecewakan, karena biasanya tim kami lebih banyak menang dibandingkan kalah dengan tim lawan. Mungkin karena puasa, tenaga yang ada tidak cukup untuk memenangkan pertandingan sore itu.

Setiap selesai bermain bola, godaan untuk berbuka sebelumnya waktunya kerap muncul. Godaan itu pun sempat menghampiri ketika kami hendak berkumpul di pos ronda. Deretan jajanan mulai dari es campur, jus, hingga makanan sudah disiapkan para pedagang di dekat lapang bola. Tapi kami tak gentar, Jen-jen yang anak seorang ustadz mengingatkan kami tidak batal karena waktu yang tinggal satu jam lagi menuju waktu berbuka.

"Hei jangan batal. Lebar (sayang). Ini tinggal satu jam, hayu ka walungan (sungai)," ajak Jen-jen.

Rumah di pedesaan memang selalu menyimpan keseruan ketika bermain. Bukan hanya ada lapangan sepakbola dan pesawahan, kami juga bisa bermain di sungai. Tidak besar memang, hanya sungai kecil tapi bisa menjadi tempat berenang, berendam, hingga membuat bendungan kecil yang bisa dijadikan tempat bermain.

Seno menjadi orang paling ingin mandi di sungai untuk mendinginkan badan setelah capek bermain bola. Saya dan teman lainnya berkejaran di belakang Seno.

Setibanya di sungai, baju dan celana langsung kami lepas dan disimpan di sebuah batu besar. Jen-jen yang menjadi anak paling tua langsung mengarahkan kami mengambil batu-batu kecil dan menyusunnya agar tampak seperti bendungan. Air yang tertahan menjadi lebih dalam dan seru dipakai lompat dari batu besar di sampingnya.

Satu per satu anak pun lompat ke sungai dan bergembira hingga menjelang adzan Magrib. Sambil bermain di sungai, kami pun melihat banyak orang datang ke sawah untuk ngurek (mencari belut), atau bermain layang-layang. Mereka tampak cerita dengan aktivitasnya selama Ramadan.

Cerita ini akan selalu saya kenang ketika berlebaran bersama di rumah orang tua. Sesekali saya pun menyambangi rumah teman lama yang kebetulan sedang pulang kampung juga.

Baca Juga: Cerita Ramadan: Serunya Piknik di Sela-sela Salat Tarawih

Baca Juga: Cerita Ramadan: Mengawali Puasa dengan Sakit Gigi, The Real MVP!

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya