Cara GDSC Lindungi Anjing Terlantar Agar Tak Berakhir di Meja Makan 

Ratusan anjing berhasil diselamatkan penampungan ini

Bandung, IDN Times - Anjing merupakan teman manusia. Tetapi, anjing juga sering kali menjadi makanan manusia yang dijual di warung pinggir jalan. Kondisi ini bukan terjadi di negara orang, melainkan di Indonesia.

Di Kota Bandung misalnya, penjualan daging anjing masih terjadi. Setidaknya ada 10 warung yang menjual makanan ini seperti di kawasan Awiligar, Soekarno Hatta, Cibiru, Gatot Soebroto, dan Sarijadi. Sementara di kota tetangga, yaitu Cimahi, ada sekitar 15 tempat menjual daging anjing siap santap.

Hal itu disampaikan pendiri Give Dog Second Change (GDSC) Aditya Hoesaeni Tuturoong. Menurutnya, penjualan daging anjing masih marak meski pemerintah telah mengimbau agar hewan ini tidak diperjualbelikan atau tidak dibunuh untuk kemudian dijadikan makanan.

Persoalan ini pula yang membuat Adit, sapaan akrabnya, mendirikan shelter GDSC. Sebuah tempat penampungan anjing, khususnya anjing kampung, agar bisa hidup layak tanpa takut ditangkap dan dijual secara ilegal.

"Saya ingin mengurus anjing liar yang terlantar atau dibuang pemiliknya. Kasihan mereka hidup dijalanan. Kadang ada yang ditangkap terus dijual begitu saja (untuk dimakan)," ujar Adit ketika berbincang dengan IDN Times, Jumat (15/10/2021).

1. Ada 336 anjing yang ditampung di tempat ini

Cara GDSC Lindungi Anjing Terlantar Agar Tak Berakhir di Meja Makan Instagram/givedogsecondchange

Adit menuturkan, keinginan untuk memberikan kehidupan yang layak pada anjing berawal dari janji dia ketika berada di titik terendah dalam berwirausaha. Bisnis yang sudah dibangunnya hancur seketika, membuat teman bahkan saudara meninggalkannya.

Yang tersisa hanya seorang anjing pribadi yang masih mau menemaninya. Saat ini dia berjanji akan mengurus anjing terlantas ketika usahanya bisa bangkit. Tak berselang lama dia mulai berhasil membangun bisnis kembali. Dan janji mengurus anjing pun dituntaskan.

Adit pun lantas mendirikan GDSC pada 2017. Mencari rekan yang juga peduli pada anjing terlantar, GDSC perlahan mendapat kepercayaan dari masyarakat yang ingin menitipkan anjingnya. GDSC pun rajin mencari anjing terlantar untuk dibawa ke penampungan.

"Saat ini kita menampung 336 anjing. Sudah ada yang teradposi juga hingga 150. Cuman selama pandemik makin sedikit yang adopsi," ujar Adit.

Jumlah ini bisa terus bertambah karena selama pandemik banyak pemilik anjing yang ekonominya menurun. Alhasil mereka kemudian membuang anjingnya sembarangan karena tidak sanggup memberi makanan.

Namun, karena tempat yang terbatas, pihaknya tidak bisa menampung setiap anjing yang ingin dibuang pemilikya atau yang dibawa sembarang orang ke penampungan. Selain itu, anggaran untuk memberikan makanan dan fasilitas layak kepada anjing pun tidak banyak.

2. Masih banyak anjing yang dijagal di warung makan

Cara GDSC Lindungi Anjing Terlantar Agar Tak Berakhir di Meja Makan Ilustrasi anjing herder (gerava.com)

Dengan keterbatasan ini, Adit takut semakin banyak anjing liar yang tak terurus di jalanan. Kondisi itu bisa jadi peluang oknum penjual dengan menangkap hewan anjing dan menjadikannya barang dagangan di tempat makan.

Menurutnya, konsumsi daging anjing masih tinggi. Selain di Kota Bandung dan Cimahi, hewan ini kerap dijual hingga Jawa Tengah atau Yogyakarta. Dari data yang dihimpung GDSC, setidaknya 13 ribu anjing setiap bulannya dikirim ke daerah Jawa Tengah (Jateng) dan mayoritas ada di Kota Solo.

"Di sana ada sekitar 210 rumah makan penyedia daging anjing atau bahasanya sengsu, oseng asu (anjing). Bahkan satu rumah makan itu bisa membutuhkan 20 sampai 40 anjing per hari," papar Adit.

Pelik memang persoalan penjualan daging anjing untuk dimakan. Jumlah warung yang banyak menghadirkan lapangan usaha, tapi di balik itu hewan anjing yang kerap menjadi peliharaan dan kemudian dimakan mendapat pertentangan dari pecinta hewan.

Adit mengatakan, di tengah kisruh ini pemerintah harus tegas membuat aturan, tidak sekedar menyebar imbauan agar anjing tidak dijadikan makanan. "Tapi yang bahaya banyak anjing yang dimakan itu tidak diketahui kesehatannya, ini bahaya karena penyakit itu bisa saja menjangkit manusia," ujarnya.

3. Butuh kolaborasi lintas sektor untuk menuntaskan masalah ini

Cara GDSC Lindungi Anjing Terlantar Agar Tak Berakhir di Meja Makan Ilustrasi anjing peliharaan. (IDN Times/Sukma Shakti)

Mengurus anjing terlantas tidak mudah, apalagi ketika jumlahnya ratusan. Itulah yang dirasakan Adit dan para pekerja di GDSC. Uang yang terbatas dan dorongan dari warga yang ingin mengusir dari tempat penampungan sekarang membuat Adit harus memutar otak.

Untuk penyewaan penampungan misalnya, dari biasanya Rp25 juta per tahun, sekarang harganya menjadi Rp50 juta per tahun. Pemasukan yang sedikit dari kantung pribadi Adit maupun donatur membuatnya sekarang harus menunggak pembayaran.

Belum lagi sejumlah warga di daerah Desa Karyawangi, Kabupaten Bandung Barat, yang kerap meminta uang sampai Rp5 juta per bulan, membuat operasional GDSC sangat berat.

"Kalau warga ini tidak dikasih uangnya, mereka suka bikin onar. Kadang buat bangkai deket penampungan, atau lempat batu ke atas. Itu bikin anjing jadi pada ribut," kata Adit.

Di sisi lain, upaya melakukan komunikasi dengan pemerintah daerah baik tingkat kabupaten, kota, hingga provinsi mandeg. Tidak ada dinas terkait yang bisa memberikan solusi termasuk untuk menetralisir anjing dalam hal reporduksi.

Padahal pemerintah harus ikut serta mengurus anjing liar dan terlantas ini karena bisa saja mereka mengidap penyakit rabies. Ketika anjing ada di sembarang tempat dan menggigit manusia, kemungkinan penyakit itu tertular amat memungkinkan.

"Pemerintah cobalah untuk turun ke lapangan, melihat dan lebih peduli dengan anjing ini. Bukan tentang mereka hewan da kita manusia, ini lebih mana sesama mahluk hidup," pungkasnya.

Baca Juga: 6 Idol KPop Ini Sering Pamer Binatang Peliharaan, Gemas!

Baca Juga: 10 Hewan Paling Setia di Dunia, Mengalahkan Kesetiaan Manusia!

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya