Akademisi: Penyebaran Radikalisme di Kampus Jadi Perhatian Serius

Banyak mahasiswa yang terpapar paham radikal saat berkuliah

Bandung, IDN Times - Penyebaran paham radikal di lingkungan kampus masih menjadi hal yang sulit diberantas. Radikalisme di perguruan tinggi saat ini menjadi sebuah teka-teki yang perlu dipecahkan.

Hal tersebut disampaikan Associate Professor dari Department of Theology di University of Notre Dame, Mun'im Sirry dalam sebuah kuliah umum di kampus ITB, beberapa waktu lalu. Menurutnya, perguruan tinggi yang seharusnya menjadi tempat pendidikan dan pemikiran yang rasional, bisa terlibat dalam radikalisme, baik dalam konteks agama maupun politik, adalah sebuah permasalahan yang perlu ditelusuri.

"Ada cukup banyak data yang menunjukkan tingginya tingkat dukungan atau pemahaman yang radikal di kalangan mahasiswa. Hasil survei dan penelitian yang menunjukkan angka-angka signifikan dalam hal dukungan terhadap ideologi radikal," kata Mun'in melalui siaran pers dikutip IDN Times, Jumat (27/10/2023).

1. Setiap orang bisa keluar dari paham radikalisme

Akademisi: Penyebaran Radikalisme di Kampus Jadi Perhatian SeriusIlustrasi radikalisme (IDN Times/Mardya Shakti)

Dia menyebut bahwa masalah di Indonesia bukan karena kurangnya data, melainkan kurangnya kerangka teoritis yang memadai untuk menjelaskan data-data tersebut. Oleh karena itu, penting memiliki kerangka teoritis yang kuat dalam memahami radikalisme di perguruan tinggi.

Ada beberapa faktor yang membuat mahasiswa menjadi radikall. Namun, banyak hal juga yang bisa dilakukan anak muda dalam deradikalisasi atau pemulihan diri.

“Jadi setiap dari kita, diri kita, itu memiliki kemampuan untuk melakukan apa saja yang ada pada badan kita, pada jiwa kita, pada pikiran kita, (serta) pada perilaku kita dan mentransformasikannya menjadi suatu yang kita kehendaki. Jadi, kita memiliki kemampuan. Dari kerangka teoritis ini, kita bisa melihat bagaimana mahasiswa itu punya kemampuan untuk melakukan deradikalisasi diri. Jadi, tidak perlu paksaan dari luar tapi dengan kesadaran diri, mereka keluar dari kelompok-kelompok radikal,” ungkap Mun'im.

2. Mahasiswa seharusnya menjadi agen perubahan, bukan terlibat radikalisme

Akademisi: Penyebaran Radikalisme di Kampus Jadi Perhatian Seriusfreepik

Mun'im Sirry menekankan bahwa radikalisme di perguruan tinggi adalah masalah serius yang perlu mendapatkan perhatian, baik dalam konteks Indonesia maupun secara global. Dia sangat prihatin atas fakta bahwa mahasiswa, yang seharusnya menjadi agen perubahan yang positif, terlibat dalam radikalisme.

Namun, tidak semua mahasiswa yang terlibat dalam kelompok radikal kemudian akan terlibat dalam tindakan kekerasan. Ini menjadi dasar penting untuk memahami bahwa deradikalisasi atau pemulihan diri dari radikalisme adalah mungkin.

"Perguruan tinggi harus bisa mencari langkah mencegah dan mengatasi paham radikalisme yang negatif tersebut dalam lingkungan pendidikan tinggi," kata dia.

3. Indeks potensi radikalisme mulai turun

Akademisi: Penyebaran Radikalisme di Kampus Jadi Perhatian SeriusBlogger

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat 67,7 persen konten keagamaan yang tersebar di dunia maya dan biasa diakses masyarakat di Indonesia, merupakan konten bernuansa intoleran dan radikal. Meski demikian, indeks potensi radikalisme di Indonesia mengalami penurunan.

Indeks potensi radikalisme 2020 turun menjadi 12,2 persen, dibandingkan indeks pada 2017 yang mencapai 55,2 persen. Meski demikian, kehadiran para penceramah dengan materi-materi dakwah yang moderat di dunia maya selama pandemik COVID-19, dinilai efektif menekan pengaruh radikalisme dari konten yang intoleran di Tanah Air.

Baca Juga: Pemprov NTB Mendeteksi Lima Ponpes Ajarkan Radikalisme 

Baca Juga: Upaya Pemerintah Tangkal Radikalisme di Sekolah Dinilai Belum Solid

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya