Rangkul Single Parents, Kartini Lembang Bangun Ekonomi Mandiri

Perempuan bukan hanya urusan dapur-sumur-kasur

Bandung Barat, IDN Times - Kartini menjadi simbol perjuangan emansipasi perempuan dari masa ke masa sejak akhir abad ke-19 silam. Di kala adat istiadat memaksanya bergumul di dapur-sumur-kasur, Kartini malah rajin menulis dan membaca buku, majalah, koran, hingga Alquran.

Kultur kehidupan jawa pada era Kartini kental dengan subordinasi, marjinalisasi bahkan kekerasan terhadap perempuan. Perempuan selalu dipandang sebelah mata di berbagai urusan, sementara lelaki selalu berkuasa bahkan selalu duduk di hirarki yang lebih tinggi dari perempuan.

Dengan perjuangannya, Kartini mampu mendobrak batas-batas kultur-kultur patriarkis itu. Kartini membuktikan bahwa perempuan tidak bisa dianggap rendahan, perempuan berhak mendapat pendidikan yang layak dan duduk setara dengan kaum pria.

1. Merangkul wanita mandiri dalam kelompok tani

Rangkul Single Parents, Kartini Lembang Bangun Ekonomi MandiriRatna Junianti, perempuan Lembang yang rawat puluhan Janda. (IDN Times/Bagus F)

Darah juang Kartini nampaknya mengalir di nadi Ratna Junianti (55 tahun). Ratna merupakan seorang perempuan Kampung Wangsakerta, RT03 RW05, Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB). Ratna membuktikan bahwa perempuan bisa berperan besar pada lingkungan.

Baginya status single parents bukanlah batasan untuk menjadi sesuatu. Ratna bisa menciptakan swasembada pangan dari tangannya sendiri. Bukan hanya itu, saat ini sudah ada 44 perempuan yang berada dalam binaan Ratna. Mereka diwadahi dalam Kelompok Wanita Tani (KWT) Binangkit Mandiri (Binama).

"Dari 44 anggota, 22 perempuan berstatus janda atau single parents termasuk saya. Mereka diajarkan prinsip kemandirian. Bagaimanapun, mereka harus bisa menciptakan ekonomi yang mandiri, dalam hal ini kita bersama-sama berkecimpung pada sektor pertanian," ujar Ratna saat ditemui di kebunnya, Rabu (21/4/2021).

"Yang ditekankan kepada mereka, jangan ada ketergantungan kepada siapapun. Kita bisa hidup mandiri tidak mengandalkan," imbuhnya.

2. Cetak Srikandi-srikandi pertanian

Rangkul Single Parents, Kartini Lembang Bangun Ekonomi MandiriRatna Junianti, perempuan Lembang yang rawat puluhan Janda. (IDN Times/Bagus F)

Menurut Ratna, perempuan tidak bisa ditempatkan di bawah atau pun di atas lelaki. Dia harus setara mendapatkan hak-haknya sebagai manusia. Persoalan gender hanya sebatas perbedaan alat kelamin, namun perempuan juga bisa mengerjakan hal-hal di luar dapur, sumur dan kasur.

"RA Kartini dan Dewi Sartika menjadi simbol perjuangan perempuan. Perempuan bukan hanya urusan dapur sumur kasur. Dengan ini, ibu berharap bisa mencetak Srikandi-srikandi pertanian," kata Ratna.

3. Bisa hidup mandiri dari bertani

Rangkul Single Parents, Kartini Lembang Bangun Ekonomi MandiriRatna Junianti, perempuan Lembang yang rawat puluhan Janda. (IDN Times/Bagus F)

Bermodal lahan seluas 4,5 hektare, mereka bisa menghidupi keluarga mereka masing-masing dengan bertani. Khusus Ratna, di pekarangan rumahnya ia sulap menjadi Agrowisata Halimun. Dari halaman rumahnya, tumbuh subur beragam komoditi sayur yang laris di pasaran.

Sebut saja sayuran jenis romaine lettuce atau selada romain, lolorosa atau selada merah, bawang daun, cabai keriting, cabai rawit, terong, tomat ceri, horinzo atau bayam jepang, dan mizuna atau sawi jepang.

"Hasil dari pertanian ini dikumpulkan untuk dijual kemudian dipasarkan. Alhamdulillah, kwalitas sayurnya sudah masuk ke pasar modern," tutur Ratna.

Hasil penjualan kemudian dikelola dan dibagikan untuk anggota kelompok tani. Terbukti, mereka berhasil hidup dengan ekonomi mandiri dari hasil pertanian mereka.

4. Mampu ciptakan rantai pertanian tanpa pupuk kimia

Rangkul Single Parents, Kartini Lembang Bangun Ekonomi MandiriRatna Junianti, perempuan Lembang yang rawat puluhan Janda. (IDN Times/Bagus F)

Uniknya, dalam pola pertanian ini para petani-petani single parents ini bisa meracik pupuk organik tanpa bahan kimia sedikitpun. Dengan pupuk yang mereka racik sendiri, mampu menumbuhkan sayur yang lebih segar dan sehat.

"Ide itu berangkat dari bagaimana kita menekan biaya produksi. Karena beli pupuk waktu itu memang mahal, sementara bantuan pupuk sulit didapat. Akhirnya kita memanfaatkan sampah-sampah sisa makanan untuk diolah kembali," papar Ratna.

Sampah-sampah rumah tangga itu dipilah lalu kemudian difermentasi. Air hasil dari fermentasi itulah yang nantinya digunakan untuk pupuk sayuran. "Maka dengan kata lain kita membuat suatu rantai pertanian yang hampir tidak membuang sampah," pungkasnya.

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya