Jalan Panjang Masyarakat Adat Cirendeu Mencari Pengakuan Negara

Kampung Adat Cirendeu butuh pengakuan negara

Cimahi, IDN Times - Rindang pepohonan di sebuah bukit di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi menyambut ramah. Gelak tawa anak-anak masyarakat adat pecah di lorong gang Kampung Adat Cirendeu. Suasana keakraban masyarakat yang dirindukan kaum urban.

Kampung Cirendeu berada di ujung perbatasan sebelah barat daya pusat Kota Cimahi. Meski tak se-ekslusif Kampung Adat di wilayah Jawa Barat lain seperti Kampung Naga di Tasikmalaya atau Kampung Adat Ciptagelar. Permukiman masyarakat adat Cirendeu membaur dengan masyarakat umum lainnya.

Di tengah modernisasi, masyarakat adat Cirendeu bertarung mempertahankan tradisi dan warisan nenek moyang. Mereka memilih  menjadikan singkong sebagai bahan pokok utama pengganti nasi.

Tradisi tidak makan nasi ini berlangsung sejak 1918, di mana sawah-sawah pada masa itu mengering. Alasan mereka mengkonsumsi singkong sebagai bahan pokok bukan karena tidak mampu, namun dengan alasan kemandirian.

Selain menghadapi tantangan kemajuan zaman, masyarakat adat Cirendeu juga harus berhadapan dengan negara yang dinilai masih memandang sebelah mata kelompok masyarakat adat. Mereka tidak memiliki cukup ruang dan pengakuan untuk menjalankan hukum adat yang sudah mereka lakukan jauh sebelum Indonesia ada.

1. Selalu terbentur pelayanan pencatatan sipil dan administrasi pernikahan

Jalan Panjang Masyarakat Adat Cirendeu Mencari Pengakuan NegaraKampung Adat Cirendeu. (IDN Times/Bagus F)

Masyarakat adat Cirendeu setidaknya sudah eksis sejak abad ke-16 masehi. Mereka hidup damai dengan tradisi makan singkong dan kepercayaan Sunda Wiwitan yang masih dianut sampai saat ini.

Setidaknya, ada 70 kepala keluarga yang hidup dengan menganut ajaran dan aturan adat. Mereka hidup dengan penuh toleransi dan kedamaian di tengah gejolak pertarungan identitas agama.

Di depan teras rumahnya, Abah Widi selaku Ais Pangampi dan sesepuh Kampung Adat Cirendeu ini mengungkapkan beratnya menjadi masyarakat adat. Menurutnya, pemerintah belum sepenuhnya memberi ruang dan pengakuan terhadap masyarakat adat.

"Selalu saja berbenturan dengan syarat administrasi yang ribet. Setiap kali mengurus pernikahan, akta lahir dan pelayanan KTP," ujar Abah Widi, saat ditemui, Sabtu (9/4/2022).

2. Pernikahan masyarakat adat tidak diakui oleh negara

Jalan Panjang Masyarakat Adat Cirendeu Mencari Pengakuan NegaraKampung Adat Cirendeu. (IDN Times/Bagus F)

Kampung Adat Cirendeu memiliki hukum adat tersendiri dalam hal menikahkan anak-anaknya. Ada beberapa tahapan untuk bisa menjadi pasangan suami istri dalam satu rumah. Dari mulai perkenalan, pendekatan sampai pembinaan rumah tangga semuanya disiapkan dengan matang.

"Hukum adat kami melarang menikah lebih dari satu kali. Menikah pun untuk wanita minimal harus 20 tahun dan pria minimal harus 25 tahun. Bukan apa-apa, aturan adat kami mendidik agar suami istri bukan hanya persoalan menghasilkan keturunan, tapi juga kesiapan membina rumah tangga," papar Abah Widi.

Selanjutnya, masyarakat adat akan menemui titik buntu demi mendapatkan pengakuan negara. Kantor Urusan Agama (KUA) tidak pernah mau mengurusi pernikahan mereka, dengan alasan kepercayaan yang dianut bukanlah agama yang sah menurut negara.

"Akhirnya mereka menikah tanpa memiliki surat nikah. Secara hukum negara, pernikahan mereka dianggap tidak sah," kata Abah Widi.

3. Anak Cirendeu tidak memiliki bapak dalam akta kelahiran

Jalan Panjang Masyarakat Adat Cirendeu Mencari Pengakuan NegaraKampung Adat Cirendeu. (IDN Times/Bagus F)

Mau tak mau, pernikahan harus tetap berjalan demi memperpanjang keturunan dan menjaga eksistensi Kampung Adat Cirendeu. Meski tak diakui KUA, pasangan suami istri sudah dianggap sah menurut ajaran dan hukum adat yang berlaku.

Persoalan berikutnya pun kembali muncul saat pasangan suami istri memiliki buah hati. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Pemkot Cimahi tidak bisa mengeluarkan akta tanpa ada surat nikah.

"Akta yang terbit tertulis, anak yang lahir tidak memiliki bapak. Karena, pernikahan ayah ibunya tidak tercatat dalam KUA," tutur Abah Widi.

4. Kepercayaan Sunda Wiwitan tak punya ruang di kolom KTP

Jalan Panjang Masyarakat Adat Cirendeu Mencari Pengakuan NegaraKampung Adat Cirendeu. (IDN Times/Bagus F)

Persoalan administrasi tadi berakar dari tidak adanya pengakuan negara terhadap kepercayaan Sunda Wiwitan yang masyarakat adat yakini. Kolom di KTP mereka tidak mencantumkan Sunda Wiwitan sebagai agama.

"Kami sangat menghargai apapun aliran kepercayaan yang dianut. Tapi mengapa kepercayaan asli nusantara tidak mendapat pengakuan dari negara. Malah kepercayaan dari negara-negara lain yang dianggap sebagai agama yang sah oleh negara," sebut Abah Widi.

"Islam dari Arab, Hindu dari India, Konghucu dari China, Kristen dari Eropa. Ragam kepercayaan ini semua bukan asli nusantara, sementara kepercayaan-kepercayaan asli nenek moyang nusantara tidak mendapat pengakuan," lanjutnya.

Sampai saat ini, Abah Widi dan sejumlah kelompok adat di berbagai penjuru nusantara tengah berjuang demi mendapatkan haknya untuk diakui sebagai warga negara. Tak muluk-muluk, mereka hanya ingin mendapatkan ruang sebagai masyarakat adat yang diakui.

Topik:

  • Yogi Pasha

Berita Terkini Lainnya