Kisruh HAKI Citayam Fashion Week, Jangan Cuma Pikir Keuntungan!

CFW baiknya tidak hanya digunakan untuk mengambil keuntungan

Bandung, IDN Times - Pendaftaran hak merek atas Citayam Fashion Week (CFW) oleh YouTuber Baim Wong menimbulkan pro dan kontra. Ada dua pendapat yang mendukung dan menolak CFW yang digagas oleh komunitas Sudirman, Citayam, Bojong, Depok atau SCBD itu untuk di-hak-paten-kan.

Menanggapi pro dan kontra itu, Dosen Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Padjadjaran yang juga pegiat industri kreatif Dr. Dwi Purnomo mengatakan, kolaborasi pada dasarnya merupakan sesuatu yang sah dilakukan dalam memanfaatkan kreativitas Citayam Fashion Week menjadi sesuatu yang bernilai.

Hanya saja, kolaborasi dilakukan bukan sekadar untuk menarik keuntungan.

"Mumpum momentum banyak kemudian uangnya bisa diambil, harusnya tidak begitu. Kolaborasi harusnya tetap menjadi kreativitas itu berkelanjutan, bukan sekadar profitnya," ujar Dwi dikutip dari siaran pers Unpad, Selasa (26/7/2022).

1. CFW bisa jadi inovasi disruptif

Kisruh HAKI Citayam Fashion Week, Jangan Cuma Pikir Keuntungan!momen Paula Verhoeven ke rumah Bonge (youtube.com/Baim Paula)

Era digital saat ini, kata dia, menjadi upaya strategis dalam memanfaatkan momentum kreativitas agar tidak lenyap begitu saja. Kolaborasi juga perlu dilakukan untuk menjaga kebelanjutannya ide penggagas komunitas utnuk menghasilkan model bisnis yang bisa dibagi, dan memberikan kemanfaatan.

Karena itu, Citayam Fashion Week menurutnya, merupakan momentum baik untuk menjadikan fenomena itu menjadi inovasi disruptif. Inovasi disruptif tersebut mampu menghadirkan kebaruan yang mampu memberi solusi terhadap kondisi yang ada.

"Harusnya ketika sudah viral, Citayam Fashion Week bisa dimanfaatkan menjadi sesuatu hal kebermanfaatan dalam jangka waktu yang panjang," ucapnya.

2. Masyarakat jangan berprasangka buruk

Kisruh HAKI Citayam Fashion Week, Jangan Cuma Pikir Keuntungan!inspirasi OOTD ala Citayam Fashion Week yang bisa kamu tiru (instagram.com/avindayp)

Meski begitu, Dwi berasumsi bahwa artis yang mendaftarkan hak merek itu punya model bisnis bagus dan memiliki niat membuat subkultur tersebut menjadi berlanjut yang kemudian bisa dibagi secara berkeadilan.

Dwi yang juga Ketua Penataan dan Pengembangan Ekonomi Kreatif Kota Bandung itu menjelaskan, di era digital, ada pergeseran pengembangan model bisnis. Dari semula berorientasi ke profit, kini mulai berorientasi ke tujuan.

Pengembangan model bisnis saat ini harus dipikirkan bagaimana kelanjutannya, bukan semata hanya mencari keuntungan.

"Sekarang harus punya purpose, bagaimana kreativitas ini bisa meledak dulu baru kemudian dipikirkan model bisnisnya. Karena goals sesungguhnya adalah keberlanjutan," katanya.

3. Masyarakat harus berfikir runut

Kisruh HAKI Citayam Fashion Week, Jangan Cuma Pikir Keuntungan!inspirasi OOTD ala Citayam Fashion Week yang bisa kamu tiru (instagram.com/ladianana)

Dwi pun mengkritisi cara pandang masyarakat yang buru-buru menilai negatif fenomena Citayam Fashion Week. Penilaian terhadap fenomena subkultur tersebut seharusnya melalui analisis dan cara berpikir yang runut.

"Boleh kita menyimpulkan kalau itu tidak baik, serakah, atau negatif. Akan tetapi untuk menuju kesimpulan itu harus punya cara berpikir yang runut, sehingga bisa merumuskan sesuatu yang kontekstual. Kadang kita melakukan pemikiran judgemental," katanya.

4. Masyarakat harus menggunakan kerangka berfikir Edward de Bono

Kisruh HAKI Citayam Fashion Week, Jangan Cuma Pikir Keuntungan!inspirasi OOTD ala Citayam Fashion Week yang bisa kamu tiru (instagram.com/qamara.asr)

Dwi memaparkan, analisis suatu fenomena sebaiknya menggunakan model enam topi berpikir (six thinking hats) karya psikolog Edward de Bono. Menurutnya, melalui model itu, suatu fenomena diuraikan secara sistematis, sehingga diperoleh pemikiran atau simpulan yang komprehensif.

Model kerangka berpikir ini banyak diaplikasikan oleh perusahaan rintisan (startup) untuk mendapatkan momentum kreativitas dan inovasi. Model berpikir tersebut terbagi ke dalam enam warna topi.

Topi putih bermakna data dan fakta, warna kuning bermakna optimisme, hijau bermakna kemungkinan dan kreativitas, biru bermakna perencanaan, merah bermakna amarah, dan hitam bermakna masalah.

Berkaca pada fenomena Citayam Fashion Week, Dwi mengungkapkan bahwa cara pikir masyarakat saat ini cenderung menggunakan topi hitam atau masalah, sedangkan ada lima warna lain yang juga perlu digunakan untuk melakukan analisis.

"Kadang-kadang orang tidak maju karena hanya melihat topi hitam, padahal ada banyak topi yang menjelaskan kenapa kita harus maju," kata dia.

Baca Juga: Ternyata Ada 4 Pemohon Merek Citayam Fashion Week ke Kemenkumham

Baca Juga: Ridwan Kamil Sentil Baim Cabut Pendaftaran HAKI Citayam Fashion Week

Topik:

  • Galih Persiana

Berita Terkini Lainnya