Mengenal Dewi Kanti, Penghayat Sunda Wiwitan di Komnas Perempuan

Rekam jejak Dewi Kanti merawat kesadaran ibu bumi.

Kuningan, IDN Times - Terlahir dan dibesarkan dalam komunitas adat Sunda Wiwitan, Cigugur, Kabupaten Kuningan, nama Dewi Kanti menyita perhatian khalayak tatkala dinyatakan lolos sebagai salah satu komisioner Komnas Perempuan periode 2020-2024. Berbekal rekam jejak kegigihannya memperjuangkan hak-hak perempuan adat, menjadi modal sosial Kanti terpilih menjadi komisioner di tubuh lembaga independen negara itu.

Rekam jejak perjuangan membela masyarakat adat Sunda Wiwitan dengan segala dinamika yang pernah dialaminya, meyakinkan Kanti bahwa kondisi negara saat ini tidak sedang baik-baik saja. Terutama dalam urusan pemenuhan hak komunitas adat dalam aspek pembangunan.

Dia menyadari, selama ini negara salah langkah mengelola komunitas adat di tanah air. Masalah itu disebutkan mulai dari tidak ada pengakuan terhadap komunitas penghayat agama leluhur, hingga tidak dilibatkannya komunitas adat dalam menentukan kebijakan.

1. Perempuan adat mewarnai cara pandang negara

Mengenal Dewi Kanti, Penghayat Sunda Wiwitan di Komnas PerempuanIDN Times/Wildan Ibnu

Kanti berkomitmen, keberadaannya di Komnas Perempuan akan mewarnai cara pandang kebijakan negara yang belum memberikan perlindungan bagi komunitas perempuan adat. Kekosongan peran negara hadir di tengah masyarakat adat, menjadi pintu masuk Kanti untuk mendesak negara untuk segera memberikan hak konstitusi yang belum dipenuhi.

“Tantangan ke depan sebagai komisioner di Komnas Perempuan yaitu memperjuangkan keterlibatan peran perempuan komunitas adat yang selama ini diabaikan negara. Kami punya background historis perjuangan komunitas adat di berbagai daerah yang saling merekatkan. Itu menjadi modal ke depan untuk memberikan warna di lembaga Komnas Perempuan ini. Karena lembaga ini independen.” ujar Kanti ditemui IDN Times di kediamannya, gedung Paseban, Cigugur, Kabupaten Kuningan, Minggu (29/12).

Menurut Kanti, selama ini pemerintah lebih menekankan pendekatan mekanisme administratif sebagai jalan satu-satunya untuk menjawab persoalan masyarakat adat, khususnya komunitas perempuan adat. Belum lagi jika kebijakan administratif itu beririsan dengan kepentingan politik (identitas), maka masyarakat adat akan semakin menjadi objek kebijakan pembangunan semata. Contohnya, tidak adanya pengakuan negara kepada masyarakat adat yang mengimani agama leluhur, hingga tidak dilibatkannya komunitas adat menentukan kebijakan pembangunan di lahan-lahan milik adat.

2. Ikatan alam dan perempuan merawat kesadaran ibu bumi

Mengenal Dewi Kanti, Penghayat Sunda Wiwitan di Komnas PerempuanIDN Times/Wildan Ibnu

Ketertarikannya terlibat aktif di Komnas Perempuan, Kanti ingin menyampaikan bahwa kapasitas perempuan di ranah publik tidak hanya diukur sebagai gender semata. Lebih dari itu, feminisme lebih punya kesadaran kuat pada ibu bumi (tanah air).

Menurut perempuan kelahiran 1975 itu, perempuan dan alam memiliki ikatan yang sangat kuat. Ketika perempuan tidak mampu mempertahankan tanah sebagai alat produksinya, maka akar bangsa ini akan menjadi rusak. Perempuan lebih dekat alam untuk keberlangsungan kehidupan.

Seperti contoh, sang ibu lebih tahu mana makanan yang cocok dikonsumsi untuk menjaga kesehatan dirinya, pertumbuhan janin, proses melahirkan, hingga membesarkan anak-anaknya.

“Alam dan perempuan punya ikatan magis-religius. Kalau perempuan tidak mampu mempertahankan tanah air, bangsa ini akan menjadi rusak,” ujarnya.

Lebih dalam Kanti menjelaskan, alam dengan sumber daya memiliki keterbatasan. Apabila sumber-sumber kehidupan itu habis, keberlangsungan hidup manusia terancam. Sebab, alam tidak bisa dibeli uang.

Pembangunan nasional melibatkan masyarakat adat yang teguh melestarikan lingkungan menjadi penting untuk arah kebijakan pemerintah. Selama ini, pemerintah hanya menitikberatkan pada pendekatan investasi, namun justru mengabaikan prinsip ekologis.

Kanti tidak menampik jika selama ini Komnas Perempuan lebih banyak berfokus menangani masalah perempuan yang berkaitan di ranah privat: pelecehan dan kekerasan seksual, ketidakadilan gender, dan sebagainya. Akan tetapi, dia menawarkan alternatif lain yaitu berfokus menyikapi masalah perempuan berhadapan dengan pembangunan.

Dia mengaku sedang memetakan konsep "keibu-bumian" sebagai daya juang terhadap persoalan pembangunan. Dengan cara demikian, secara langsung atau tidak akan berdampak pada perempuan adat.

“Untuk itu kami (Komunitas Sunda Wiwitan) di sini (Komnas Perempuan) menggunakan pendekatan kultural yang tidak frontal, mencoba memberikan pendekatan budaya dan sistem nilai kearifan lokal. Kesadaran menjaga tanah air yang berkarakter ini sangat vital bagi perempuan,” terang Kanti.

3. Melawan proyek geothermal Chevron di kaki Gunung Ciremai

Mengenal Dewi Kanti, Penghayat Sunda Wiwitan di Komnas PerempuanIDN Times/Wildan Ibnu

Pertengahan 2012, Dewi Kanti disibukkan dengan mencuatnya rencana eksplorasi PT Chevron Geothermal Indonesia (CGI) di kawasan Gunung Ciremai, meliputi Kabupaten Kuningan dan Majalengka. Dewi Kanti dengan suaminya, Okky menggalang kekuatan bersama komunitas adat dan warga sekitar untuk melawan proyek senilai Rp60 miliar itu. Rencana eksplorasi panas bumi ini mengancam lingkungan dan menggusur lahan pertanian warga sekitar.

Rencana pembangunan nasional itu menetapkan status Gunung Ciremai sebagai wilayah kerja pertambangan oleh menteri ESDM pada tahun 2011. Dengan luas cakupan wilayah 24.330 hektar terdiri dari 350 titik.

Bagi Kanti dan warga komunitas adat setempat, pemerintah hanya memandang kepentingan investasi semata dari proyek eksplorasi panas bumi ini. Baginya, persoalan tidak bisa dipandang sepele. Proses pembangunan tidak dilaksanakan transparan dan minim sosialisasi dari pemerintah, mengancam keberlangsungan hidup masyarakat setempat, karena mempengaruhi kualitas debit air yang menurun.

Baginya, sosialisasi dari perkara geotermal ini terkesan dipaksakan. Masyarakat tidak diberi waktu dan informasi seluas-luasnya untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan. Berkaca dari kasus-kasus serupa yang dialami di wilayah Dieng (Jawa Tengah) dan Kertasari (Bandung), proyek geothermal punya resiko-resiko dampak pembangunan. Proyek energi yang dianggap ramah lingkungan justru tidak terjadi.

“Ada dinding yang cukup tebal ketika berhadapan dengan kebijakan pembangunan yang berdampak kepada masyarakat. Setidaknya, harus ada pertimbangan dari masyarakat setempat. Tadi tidak dilibatkan,” kata dia.

4. Menghapus stigma lewat ikatan kultural “Spirit Ciremai”

Mengenal Dewi Kanti, Penghayat Sunda Wiwitan di Komnas PerempuanIDN Times/Wildan Ibnu

Stigma “tidak beragama” yang melekat kepada penganut ajaran Sunda Wiwitan bergeser, sejak konsolidasi menggerakkan komponen masyarakat Cigugur melawan proyek Chevron di kaki Gunung Ciremai. Penyelamatan lingkungan bersama masyarakat terdampak ini membentuk ikatan kultural “spirit Ciremai”.

Kanti menuturkan, upaya penyelamatan lingkungan bersama masyarakat setempat ini membuka kembali mozaik sejarah masa lalu.

Misalnya, beberapa masyarakat dusun menceritakan punya hubungan emosional dengan komunitas adat Sunda Wiwitan, hingga sesepuh di Desa Malar yang pernah menerima petuah leluhur untuk menolak jika ada “ular yang melingkar” di Gunung Ciremai. “Ular melingkar” itu diyakini sebagai petanda dari pipa-pipa geothermal.

Perlahan demi perlahan, komunitas adat Sunda Wiwitan mulai diterima. Konsolidasi melawan proyek geothermal pun membuahkan hasil. Gelombang penolakan terus disuarakan hingga ke tingkat pusat, nasional, dan membangun kekuatan dengan para akademisi.

“Saya meyakini jika sebuah gerakan masyakat punya daya tahan yang panjang kalau ada kolaborasi antara adat, petani, pesantren, dan kelompok masyarakat lain,” ujarnya.

Topik:

  • Galih Persiana

Berita Terkini Lainnya