Pak Tito, di Negara Maju Banyak Lho yang Percaya COVID-19 Itu Hoaks

Gak usah kuliah jauh-jauh, cukup baca berita pasti tahu kok

Jakarta, IDN Times - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan sebagian besar masyarakat di negara majority low class menuding COVID-19 sebagai hoaks. Sebab, karakter masyarakatnya kurang terdidik dan memiliki minat literasi yang rendah.
 
“Di negara majority low class, jangankan memakai masker, bahkan dikatakan COVID-19 hoaks, konspirasi, dan lain-lain,” kata Tito saat mengisi webinar bertajuk Strategi Menurunkan COVID-19, Menaikkan Ekonomi, Minggu, 20 Sepember 2020.
 
Sebaliknya, menurut guru besar bidang terorisme itu, masyarakat di negara majority middle class sadar akan bahaya virus corona, karena terdidik dan minat literasinya tinggi.
 
“Di negara yang komposisi demografi middle class, terdidik, secara ekonomi mampu tadi disebut Singapura, mereka bisa googling pakai masker untuk apa,” kata alumni Nanyang Technological University, Singapura itu.  
 
Benarkah anggapan virus corona sebagai hoaks hanya fenomena di majority low class? Sayangnya, pernyataan Pak Tito kali ini kurang tepat. Sebab, di negara-negara maju, ternyata banyak aksi yang menolak kebijakan pemerintah menangani pandemik, mulai dari lockdown hingga anjuran menggunakan masker. Gak percaya? Lihat ulasannya di bawah ini ya, Pak.

Baca Juga: Musim Dingin, Kematian COVID-19 Mencapai 50 Ribu per Minggu

1. Demonstrasi anti-virus corona terjadi di Jerman

Pak Tito, di Negara Maju Banyak Lho yang Percaya COVID-19 Itu HoaksPendemo di depan gedung Reichstag di Berlin, Jerman, Senin (7/9/2020). ANTARA FOTO/REUTERS/Hannibal Hanschke)

Dilansir dari BBC, demonstrasi yang melibatkan 38 ribu massa terjadi di Berlin, Jerman, pada akhir Agustus 2020. Aksi yang semula damai itu berujung ricuh sehingga polisi terpaksa menahan sekitar 200 demonstran.
 
Salah satu tokoh aksi tersebut adalah Attila Hildmann, penulis masakan sekaligus ahli teori konspirasi. Ribuan orang yang berkumpul di Gedung Reichstag itu menolak lockdown yang dianggap membatasi hak asasi manusia. Mereka juga yakin COVID-19 adalah hoaks dan tidak berbahaya, sehingga lockdown adalah wujud dari totalitarianisme.

2. Anti-virus corona juga berkumpul di tengah kampanye Donald Trump, Amerika Serikat

Pak Tito, di Negara Maju Banyak Lho yang Percaya COVID-19 Itu HoaksIlustrasi kampanye Presiden Donald Trump (twitter.com/realDonaldTrump

Kerumunan massa tanpa protokol kesehatan yang ketat juga terjadi ketika Presiden Amerika Serikat Donald Trump berkampanye untuk periode keduanya di Tulsa, Oklahama pada 21 Juni 2020. Padahal, sebelum Trump berdiri di panggung utama, enam stafnya dinyatakan positif corona, tapi kampanye tetap berjalan dan pendukungnya tidak terlihat takut.
 
Ribuan pendukung Trump yang tidak bisa memasuki BOK Center berkerumun di luar gedung. Dilansir New York Times, banyak dari mereka yang enggan mengenakan masker karena dituding sebagai pemberangusan kebebasan. Mereka juga tidak mau menjaga jarak dan enggan berdiam diri di rumah.
 
Penasihat Dirjen Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk urusan Gender dan Pemuda Diah Satyani Saminarsih, juga mengakui bahwa resistensi terhadap kebijakan penanganan virus corona imbas hoaks sangat besar dampaknya di Amerika Serikat.

3. Demonstrasi menolak lockdown juga terjadi di Australia

Pak Tito, di Negara Maju Banyak Lho yang Percaya COVID-19 Itu HoaksTangkapan layar video demonstrasi di Australia (abc.net.au)

Pada 14 September 2020 , demonstrasi menolak lockdown juga terjadi di Melbourne, Australia. Aparat keamanan terpaksa menangkap 74 orang yang dianggap sebagai provokator dan 176 lainnya didenda.
 
Dilansir BBC, demonstrasi di atas merupakan aksi lanjutan dari Freedom Day yang digelar pada 3 September 2020. Berawal dari grup media sosial yang membahas seputar teori konspirasi virus corona, berujung dengan aksi yang mendatangkan 250 orang di Pasar Queen Victoria.
 
Penting untuk digarisbawahi, buat Pak Tito nih, tiga negara di atas tergabung dalam G20 atau 20 negara dengan pendapatan ekonomi terbesar di dunia. Jadi, gak benar ya pak kalau COVID-19 itu hoaks hanya permasalahan di majority low class. Faktanya, ini adalah fenomena global.
 
Kepada IDN Times, Diah mengatakan, supaya epidemiolog dan ahli kesehatan lebih banyak bersuara mengenai virus corona. Dengan begitu, mereka yang sok tahu seputar COVID-19 tidak mendapat ruang untuk asal berbicara.

Baca Juga: Ramai Desakan Penundaan Pilkada 2020, Mendagri Siapkan Dua Opsi Perppu

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya