Geliat Kopi di Indonesia: Rendahnya Konsumsi & Produktivitas Lahan

Indonesia termasuk empat negara penghasil kopi terbesar lho

Humbang Hasundutan, IDN Times - Terletak 1.400 di atas permukaan laut, putih kabut menyelimuti hamparan kebun kopi di Desa Sirisirisi, Humbang Hasundutan (Humbahas), Sumatera Utara. Penanda suhu udara di layar ponsel menunjukkan angka 19 derajat celcius. Meski hanya sesaat, titik air kerap turun dari langit. Suasananya sejuk. Tanahnya gembur.

Di pinggiran kebun, Lamtiu Sianturi terlihat duduk sembari melepas lelah kala petang akan datang. Perempuan berusia 45 tahun itu memiliki setengah hektare kebun kopi. Ia menggeluti pekerjaan yang sejak dahulu ditekuni oleh kakek dan neneknya.

“Dulu opung juga petani kopi. Kalau ibu (saya) sendiri sudah 19 tahun jadi petani kopi,” kata Lamtiu kepada IDN Times di Humbahas, Kamis (19/9). 

Menjadi petani kopi merupakan salah satu pekerjaan yang menjanjikan. Sebab, berdasarkan data yang dirilis oleh International Coffee Organization (ICO), Indonesia termasuk empat negara penghasil kopi terbesar di dunia sejak 2015. Namun, Lamtiu turut mengeluhkan harga kopi yang sering anjlok seketika.

“Musim panen tahun ini harganya Rp28 ribu per kilo. Padahal tahun lalu bisa lebih dari Rp30 ribu per kilonya,” keluh dia.

Untuk sekali panen, Lamtiu bisa menghasilkan uang hingga Rp6 juta. Walau terbilang cukup besar, Lamtiu sadar jika kopi yang ditanamnya bisa menghasilkan profit yang lebih signifikan. “Makanya ibu berharap pemerintah setempat membagikan bibit kopi dan pupuk. Karena pupuk ini mahal sekarang,” tambahnya.

1. Potensi kopi di Humbang Hasundutan

Geliat Kopi di Indonesia: Rendahnya Konsumsi & Produktivitas Lahan

Lamtiu bersama 220 petani lainnya terhimpun dalam Gabungan Petani Kopi (Gapoktan) Mutiara Kasih. Di bawah komando Manat Samosir, Gapoktan Mutiara Kasih menjadi wadah bagi para petani untuk belajar menanam kopi dengan benar sekaligus menghindari permainan harga para tengkulak.

Humbahas bisa dibilang sebagai surganya kopi. Saking subur tanahnya, warga juga bisa menanam kopi di halaman rumahnya. Dari tanah inilah dihasilkan kopi arabika Lintong, salah satu produk arabika terbaik yang selalu bersanding dengan Mandheling dan Gayo. Bahkan, Manat mengklaim kopi dari Humbahas adalah kopi terbaik yang dimiliki Indonesia.

“Berdasarkan hasil uji lab Puslitkoka Jember, skor kopi kami 84 bahkan ada yang 89. Padahal rata-ratanya itu 80. Artinya, kopi kami spesial di atas rata-rata,” ungkap Manat kepada IDN Times, Kamis (19/9).

Data yang dipegang oleh Manat, setiap petani rata-rata memiliki 500-600 batang pohon yang mampu menghasilkan 7.000 ton kopi setiap tahunnya. Sekitar 80 persen hasil panen diekspor ke luar negeri dan sisanya untuk memenuhi permintaan kopi dalam negeri.

“Gapoktan Mutiara Kasih sudah punya pelanggan tetap. Kami mengekspor ke Taiwan, Jepang, Amerika Serikat, dan Korea Selatan, itu tanpa tengkulak atau pihak ketiga. Kalau sudah ekspor tentunya kualitas kopi kami memenuhi standar internasional, seperti kadar air maksimal 13 persen dan nilai cacatnya itu 7 persen,” terang Manat.

2. Warga sempat ogah menjadi petani kopi

Geliat Kopi di Indonesia: Rendahnya Konsumsi & Produktivitas Lahan

Manat mengulang memorinya 10 tahun silam. Saat itu, tidak banyak warga yang menggandrungi pekerjaan petani kopi. Penyebabnya tentu tengkulak yang menawarkan harga jual sangat rendah. Aktivitas merawat dan memanen buah kopi juga dianggap mengancam nyawa.

“Dulu pohonnya tinggi-tinggi, jadi petani harus pakai tangga untuk manennya. Dan itu banyak yang jatuh dan meninggal. Ini kisah nyata. Makanya dulu menjadi petani kopi adalah aib,” cerita Manat.

Stigma negatif terhadap petani kopi perlahan berubah sejak program Corporate Social Responsibility (CSR) Asuransi Sinar Mas (ASM) masuk Humbahas di penghujung 2017. Para petani mendapat berbagai pelatihan, mulai dari bagaimana merawat pohon kopi hingga bagaimana mengelola keuangan pascapanen.

“Kami diajari merawat pohon kopi supaya tetap terjaga kualitasnya, termasuk kami sudah bisa mengatur tinggi pohon sesuai keinginan kami. Otomatis kesejahteraan petani bertambah, sekarang jadi petani kopi sudah bisa tersenyum semuanya,” ungkapnya.

Warga kini juga bisa mendapat nilai tambah dari hasil olahan kopi. Jika sebelumnya kopi yang sudah disangrai (roasting) dihargai Rp100 ribu per kilo, kini harganya menjadi Rp180 ribu per kilo.

Gapoktan Mutiara Kasih sudah memiliki produk kopinya sendiri yang turut digandeng AMS dalam berbagai pameran, yaitu Humbang Arabica Coffee dan Si Talbak Coffee.

Di sisi lain, Direktur ASM Dumasi MM Samosir mengutarakan, bantuan yang diberikan oleh perusahannya adalah upaya untuk menjaga ekosistem kopi di Humbahas.

Lebih jauh, selaras dengan visi Presiden Joko “Jokowi” Widodo menjadikan Danau Toba sebagai destinasi wisata “Bali baru”, Dumasi ingin kopi Humbahas menjadi daya pikat bagi wisatawan yang berkunjung ke Sumatera Utara.

“Dulunya uang hasil panen selalu habis alasannya beli ini-itu. Eh giliran mau pesta, mereka malah hutang. Kemudian kami berikan literasi keuangan supaya mereka bisa menabung dan mengelola uang. Dari situ mereka akan terus menjadi petani kopi, karena dari kopi mereka bisa hidup,” tambah Dumasi kepada IDN Times.

Baca Juga: Petani Kopi Sipirok Belajar Pengolahan Kopi Sampai ke Bener Meriah

3. Geliat kopi di Indonesia masih bergantung pada rakyat

Geliat Kopi di Indonesia: Rendahnya Konsumsi & Produktivitas LahanIDN Times/Vanny El Rahman

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017, lima provinsi penghasil kopi terbesar di Indonesia adalah Sumatera Utara (18,11 persen), Lampung (17,44 persen), Aceh (10,27 persen), Sumatera Utara (9,90 persen), dan Jawa Timur (9,73 persen).

Geliat kopi di Tanah Air masih bergantung pada perkebunan kopi rakyat (PR). Dari data BPS yang sama, PR berkontribusi atas 95,46 persen kopi yang diproduksi secara nasional. Perkebunan negara (PN) hanya menyumbang 2,17 persen, sementara perkebunan swasta (PS) menghasilkan 2,37 persen.

“Indonesia masih sangat bergantung dengan perkebunan rakyat. Tapi di sana ada masalah produktivitas. Kalau dirata-ratakan, per hektare hanya menghasilkan 0,6-0,7 ton. Padahal kalau berkaca dari Brasil bisa 3 hingga 4 ton,” ujar Ketua Dewan Kopi Indonesia (Dekopi), Anton Apriyantono, kepada IDN Times.

Untuk periode 2015-2017, perkebunan rakyat memiliki tren positif terkait luas lahan dan angka produksinya. Pada 2015, luas perkebunan rakyat nasional mencapai 1.183 juta hektare, kopi yang diproduksi sebanyak 602,37 ribu ton.

Tahun berikutnya, terjadi peningkatan lahan menjadi 1.199 juta hektare sekaligus peningkatan hasil produksi menjadi 632 ribu ton. Pada 2017, dengan luas kebun 1.205 juta hektare, kopi yang dihasilkan mencapai 636,7 ribu ton.   

4. Rendahnya konsumsi kopi nasional menimbulkan masalah bagi petani

Geliat Kopi di Indonesia: Rendahnya Konsumsi & Produktivitas LahanIDN Times/Vanny El Rahman

Pada 2017, dari tiga sektor perkebunan seluas 1.251 juta hektare, Indonesia mampu memproduksi 667 ribu ton kopi. Sekitar 467,8 ribu ton dikirim ke luar negeri dengan nilai ekspor mencapai US$1.187,2 juta. Lima tujuan ekspor terbesar kopi Indonesia adalah Amerika Serikat (13,52 persen), Jerman (9,56 persen), Malaysia (9,22 persen), Italia (8,15 persen), dan Rusia (7,89 persen).

Tingginya permintaan dari luar negeri menandakan kualitas kopi Indonesia telah diakui dunia. Tentunya kita patut bangga. Ironisnya, permintaan kopi dalam negeri justru tidak besar. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, angka konsumsi kopi nasional per 2016 hanya 250 ribu ton. Itu pun tidak bisa dipastikan berapa persentase kopi dalam negeri dan kopi luar negerinya.  

“Itulah masalahnya, karena konsumsi dalam negeri gak terlalu besar, petani hanya bisa mengekspor untuk menjualnya. Akhirnya mereka mau gak mau ya didikte sama importir, yang penting terjual aja. Termasuk harganya, mereka akhirnya nurut aja sama importir,” tutur Anton.

Salah satu konsekuensinya adalah petani hanya bisa mengekspor kopi dalam bentuk green bean (biji kopi hijau). Mereka tidak bisa mendapat nilai tambah dari kopi yang sudah disangrai atau bahkan sudah dikemas.

“Nah, mereka (importir) maunya nilai tambah ada di mereka, akhirnya kami hanya bisa menjual green bean. Padahal, kalau bisa dijual produk olahannya, petani bisa mendapatkan untung sampai dua kali lipat,” sambut Manat.

Anton menambahkan, jika kondisi seperti ini terus dibiarkan, sangat mungkin petani akan mengabaikan kualitas kopinya. “Kalau gak dihargai tinggi, lama kelamaan semangat mereka bisa hilang untuk menghasilkan kopi yang berkualitas,” sambung mantan Menteri Pertanian itu.

5. Produktivitas lahan dan kesejahteraan petani juga masih rendah

Geliat Kopi di Indonesia: Rendahnya Konsumsi & Produktivitas LahanIDN Times/Vanny El Rahman

Selain rendahnya angka konsumsi nasional, produktivitas para petani juga perlu ditingkatkan. Penyebabnya bervariasi, mulai dari tanaman yang tua atau rusak, bukan berasal dari bibit unggul, hingga kurangnya kemampuan petani dalam mengelola pohon kopi.

Menurut Anton, langkah awal untuk mengatasinya adalah pemerintah harus mendirikan pusat pembibitan atau pengembangan kopi di setiap sentra produksinya. Sehingga, petani bisa mendapat bantuan berupa bibit hingga pupuk.

“Sekarang ini kan ada Puslitkoka di Jember, tapi ketika bibitnya didistribusikan, belum tentu adaptasinya cepat. Kalau ada di daerah-daerah, bibit unggul yang dikembangkan tentu sudah sesuai dengan kontur tanah dan kondisi di sana,” paparnya.

Selanjutnya, untuk meningkatkan kesejahteraan petani, himpunan semacam koperasi atau gabungan kelompok tani (gapoktan) harus lebih banyak dibentuk. Tujuannya supaya petani tidak dipermainkan harga dan mendapat pelatihan rutin secara berkala.

“Jadi nanti ada pendamping petani yang dikontrak selama 3-5 tahun, bisa dikontrak oleh pemerintah atau CSR. Setelah itu mereka diarahkan menjadi wiraswastawan dan penyuluh mandiri. Dan pendampingnya harus stay di desa binaannya,” tambah Anton.

Demi menambah semangat para petani, Anton menyarankan supaya pemerintah menggunakan kopi dalam negeri di setiap kantornya. Kalaupun menggunakan kopi kemasan atau campuran dengan gula, dia mengusulkan supaya mengkonsumsi produk UMKM olahan para petani.

Baca Juga: Pemerintah Ajak Petani Kopi Bergabung untuk Lawan Tengkulak

6. Kesejahteraan petani adalah kunci kualitas kopi nasional

Geliat Kopi di Indonesia: Rendahnya Konsumsi & Produktivitas LahanIDN Times/Vanny El Rahman

Berdasarkan Rencana Induk Pembangunan Nasional 2015-2035, industri pengolahan kopi masuk dalam sektor prioritas. Pemerintah berupaya untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi industri pengolahan kopi melalui kebijakan fiskal dan non-fiskal. Pemerintah juga mendorong diversifikasi produk kopi, seperti kosmetik dan farmasi.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencanangkan Indonesia menjadi eksportir utama kopi sangrai di dunia. Untuk merealisasikan cita-cita tersebut, Kemenperin berupaya meningkatkan nilai tambah biji kopi dalam negeri dan peningkatan mutu kopi olahan melalui peningkatan SDM, baik itu petani ataupun barista. Kemenperin juga telah menyusul Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) untuk industri pengolahan kopi.

“Kemenperin terus aktif mendorong pengembangan industri pengolahan kopi di seluruh Indonesia agar semakin meningkatkan nilai tambahnya sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat,” terang Menperin Airlangga Hartarto sebagaimana dikutip dari situr Kemenperin.go.id.

Selaras dengan visi Kemenperin, Anton berharap kementerian terkait bisa bekerja bersama untuk mengoptimalkan produk olahan kopi. “Harus ada sinergi antara Kementerian Pertanian, Perdagangan, Industri, dan itu dikomandoi Kemenko Ekonomi. Perlahan harus meninggalkan ekspor green bean menjadi kopi olahan. Supaya apa? Supaya bisnis kopi ini menguntungkan sehingga petani kopi akan terus ada,” tutup Anton.

Kembali kepada Lamtiu, dia bercerita bila anaknya tidak menggandrungi pekerjaan petani kopi. Dia pun tidak bisa memaksa. Kendati dua tahun terakhir Pemkab Humbahas telah memberikan 1.400 hektare lahan kopi beserta bibitnya, persaingan harga kopi antar-negara tetap berdampak terhadap kesejahteraan para petani.

“Kopi ini kan panen dua kali setahun, kalau gak lagi tanam kopi bisa tanam cabai, bawang, dan sayuran lainnya. Tergantung mana yang lebih untung aja. Tapi anak-anak ibu sudah gak mau jadi petani kopi. Kalau ibu sih gak maksa, yang penting pekerjaan mereka halal,” tutup dia.

Baca Juga: Edukasi Petani Kopi Rendah, Produksi Indonesia Kalah dari Vietnam

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya