Biden Jatuhkan Sanksi pada Myanmar, Pembekuan Aset dan Putus Bantuan

Bantuan yang diputus mencapai 1 miliar dollar AS

Jakarta, IDN Times - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden telah menandatangani Perintah Eksekutif (Executive Order) yang memuat sanksi kepada Myanmar. Keputusan itu dikeluarkan setelah sepekan lebih fraksi militer tidak mengindahkan seruan AS untuk membebaskan tahanan politik, termasuk pemimpin de facto Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint.
 
"Saya kembali menyerukan kepada militer Burma untuk segera membebaskan para pemimpin dan aktivis politik yang sekarang mereka tangkap. Militer harus melepas kekuasaan,” kata Biden pada Rabu (10/2/2021) sebagaimana dilaporkan Channel News Asia.
 
"Saya telah menyetujui perintah eksekutif baru yang memungkinkan kami untuk segera memberi sanksi kepada para pemimpin militer yang mengarahkan kudeta, kepentingan bisnis mereka, serta anggota keluarga dekat,” lanjut dia.
 

1. Membekukan aset dan memutus bantuan hingga 1 miliar dollar AS

Biden Jatuhkan Sanksi pada Myanmar, Pembekuan Aset dan Putus BantuanPresiden Amerika Serikat Joe Biden di East Las Vegas Community Center di Las Vegas, Nevada, Amerika Serikat, Jumat (9/10/2020) (ANTARA FOTO/REUTERS/Kevin Lamarque)

Adapun sanksi yang dijatuhkan kepada negara dengan nama lain Burma adalah memutus akses pada bantuan pemerintah sebesar 1 milliar dollar AS atau sekitar Rp14 triliun. Selain itu, Biden juga membekukan aset pemerintah dan para jenderal Myanmar yang berbasis di AS.
 
Kendati begitu, Presiden AS ke-46 itu menegaskan bahwa bantuan kemanusiaan yang diterima oleh lembaga non-pemerintah di Myanmar masih tetap berlanjut.
 
Secara individu, Min Aung serta jajaran elite militer juga masih berada di bawah sanksi perjalanan dan keuangan AS, karena keterlibatannya dalam genosida atau pembunuhan massal yang diarahkan kepada etnis Rohingnya.
 
Kebijakan Biden selaras dengan hukum di Negeri Paman Sam yang melarang pemerintah untuk membantu entitas yang memperoleh kekuasaan secara inkonstitusional.
 

Baca Juga: Sepekan Kudeta Myanmar, Militer Janji Selenggarakan Pemilu yang Adil

2. Sanksi bisa dihentikan atau diperparah

Biden Jatuhkan Sanksi pada Myanmar, Pembekuan Aset dan Putus BantuanKendaraan bersenjata Tentara Myanmar berkendara melewati sebuah jalan setelah mereka mengambil kekuasaan dalam sebuah kup di Mandalay, Myanmar, Selasa (2/2/2021). (ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer)

Pada kesempatan yang sama, Biden juga menyampaikan, sanksi putaran pertama akan segera diidentifikasi efektivitasnya pekan ini dalam memberi tekanan kepada junta militer. Biden menandatangani Perintah Eksekutif setelah Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrell, memperingatkan soal sanksi bila supremasi hukum tak kunjung ditegakkan di Myanmar.
 
"(AS akan) bekerja dengan mitra internasional untuk mendesak negara lain agar bergabung dengan kami dalam upaya ini,” tambah Biden.
 
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Ned Price menafsirkan ungkapan Biden sebagai kemungkinan AS untuk memberatkan saksi atau justru mencabutnya, tergantung bagaimana rezim darurat militer merespons hukuman tersebut.
 
"Kami dapat membebankan biaya yang bahkan lebih curam melalui bekerja sama dengan mitra dan sekutu yang berpikiran sama," kata Price.
 

3. Bentrokan aparat dan demonstran terjadi di Myanmar

Biden Jatuhkan Sanksi pada Myanmar, Pembekuan Aset dan Putus BantuanPengunjuk rasa menggelar aksi protes terhadap kudeta militer di Kota Yangon, Myanmar, Sabtu (6/2/2021). Mereka menuntut pembebasan pemimpin terpilih Myanmar Aung San Suu Kyi. ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer/wsj.

Berbagai elemen masyarakat sipil mulai dari pegawai negeri, guru, tenaga kesehatan, hingga mahasiswa memadati jalanan di berbagai daerah untuk menolak kudeta militer.
 
Menghadapi gelombang aksi yang semakin masif, polisi mengeluarkan aturan yang melarang masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya atas nama stabilitas domestik.
 
Selain penghadangan massa, militer juga membatasi akses internet agar informasi seputar kudeta tidak beredar ke luar negeri, sekaligus mencegah konsolidasi masyarakat melalui media sosial.
 
Demonstrasi di Naypyidaw yang semula berlangsung damai berujung bentrokan antara aparat dengan massa. Polisi mulai menembakkan peluru karet, gas air mata, dan Meriam air kepada demonstran. Akibatnya, seperti yang dilaporkan Reuters, peluru karet bersarang di kepala seorang perempuan muda dan dokter mengatakan kecil kemungkinannya dia bisa selamat.
 
Tekanan dari komunitas internasional juga datang dari Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, yang berjanji akan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menggagalkan rezim militer darurat yang diumumkan berlaku selama satu tahun di Myanmar.
 

Baca Juga: Australia Desak Myanmar Bebaskan Warga yang Ditahan

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya