Berburu Vaksin COVID-19 ke Negeri Seberang Hingga Menjaga Kehalalannya

Mampukah vaksin meredakan pandemik?

Jakarta, IDN Times - Perburuan vaksin COVID-19 mengantarkan Menteri Luar Negeri Retno Priansari Marsudi, dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, terbang ke Tiongkok dan Uni Emirat Arab (UEA).

Dari Tiongkok, dua menteri itu mengantongi komitmen kerja sama pengembangan vaksin COVID-19, antara Biofarma dengan Sinovac Biotech serta Sinopharm. Adapun dari UEA, mereka membawa pulang nota kesepahaman antara Kimia Farma dengan G42.

Perburuan vaksin juga mengantarkan Indonesia menjadi bagian dari The Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI) dan Global Alliance for Vaccines and Immunization (GAVI). Forum multilateral itu bertujuan mempercepat proses pengembangan vaksin virus corona hingga tahapan produksi dan distribusi ke seluruh negara anggotanya.

Sejumlah institusi pendidikan dan kesehatan juga berkompetisi dalam pengembangan vaksin dalam negeri. Seperti vaksin Merah Putih yang digagas Eijkman bersama Biofarma dan vaksin kolaborasi Universitas Airlangga (Unair) bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI), serta Badan Intelijen Negara (BIN).

Semua upaya itu dilakukan secara simultan untuk memenuhi target Presiden Joko “Jokowi” Widodo, yaitu vaksinasi virus corona pada awal 2021.

“Menurut saya, track kita ini sudah betul, baik tahapan mencari vaksin, negara lain belum cari vaksin, kita sudah ke sana-ke sini untuk mencari vaksin. Sampai 2021 kita sudah kurang lebih mendapat komitmen 290 juta (vaksin),” kata Jokowi, Senin, 24 Agustus 2020.

Retno mengklaim pencarian vaksin mengedepankan prinsip ketepatan waktu, keterjangkauan harga, dan jumlah yang memadai. Ini alasan Indonesia juga menjalin kerja sama dengan perusahaan selain Sinovac dan Sinopharm.

“Juga kami lakukan (kerja sama) dengan beberapa pihak lainnya, di luar RRT, dengan pemikiran untuk memperoleh hasil yang lebih baik,” kata Menlu usai bertemu Menlu Tiongkok Wang Yi, Kamis, 20 Agustus 2020.

Pada kesempatan yang sama, Retno turut memastikan pengembangan vaksin virus corona dalam negeri tetap berjalan, sekali pun jumlah yang dipesan sudah lebih dari cukup.

“Saya perlu tekankan bahwa secara simultan pengembangan vaksin mandiri, yaitu vaksin Merah Putih, juga terus dikembangkan untuk tujuan jangka panjang, kemandirian vaksin nasional,” ungkap dia.

1. Mencari vaksin di forum multilateral

Berburu Vaksin COVID-19 ke Negeri Seberang Hingga Menjaga KehalalannyaIlustrasi (Dok. Biro Hukum, Kerja Sama, dan Humas BPPT)

Penasihat Direktur Jenderal World Health Organization (WHO) bidang Gender dan Kepemudaan Diah Satyani Saminarsih, mengapresiasi komitmen pemerintah RI dalam perburuan vaksin. Salah satu kesan yang ia tangkap, ketika sudah ada vaksin yang lolos uji klinis dan layak diproduksi massal, Indonesia harus menjadi negara pertama yang memperoleh vaksin.

“Indonesia menerapkan multiplatform untuk suplai vaksin, sampai vaksin dalam negeri siap diproduksi. Indonesia terlibat dalam multilateralism (terlibat dalam GAVI dan CEPI) dan health diplomacy (kerja sama antar negara). Selama berada di posisi tersebut, insyaallah kita berada dalam posisi tepat,” kata Diah dalam seri webinar #MenjagaIndonesia yang diselenggarakan IDN Times, Jumat, 7 Agustus 2020.

Sejak pandemik mengguncang dunia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengawal berbagai platform untuk memerangi COVID-19 yang telah menyebar ke lebih dari 215 negara.

Program awal yang mereka luncurkan adalah Solidarity Trial sebagai itikad mencari obat 'sementara' yang efektif melemahkan, atau bahkan membunuh virus SARS-Cov-2.

Platform ini mencatat rekam medis dari obat-obatan yang digunakan pasien COVID-19 di berbagai negara. Hasilnya, sempat mengerucut kepada empat jenis obat, yaitu Remdesivir, Chloroquine, Lopinavir/Ritonavir, serta Interferon.

Terkait vaksin, WHO kemudian mengawal pengembangan vaksin yang diinisiasi GAVI dan CEPI. Melalui dua platform tersebut, WHO berencana memproduksi dua miliar dosis vaksin. Indonesia juga terlibat aktif dalam dua platform tersebut.

GAVI telah menaungi lebih dari 165 negara, 75 negara anggota yang bermitra dengan 90 negara miskin, yang mewakili 60 persen populasi dunia. GAVI digerakkan dengan skema COVAX, yaitu pembiayaan menggunakan anggaran domestik negara anggotanya.

Adapun CEPI merupakan platform kesehatan yang beranggotakan negara-negara maju dan dimotori Norwegia. Keberadaan CEPI terbilang cukup 'elite' karena syarat keanggotaannya yang tidak murah.

Menurut Diah, rasa cemas masyarakat dunia soal kelangkaan vaksin bisa sedikit teratasi. Seluruh negara memiliki paradigma yang sama dalam menyikapi pandemik ini, yaitu keberhasilan satu negara dalam menangani corona tidak akan berdampak signifikan terhadap pandemik ini. Kecuali jika semua bekerja sama erat.

Kehadiran WHO mengawal kerja GAVI dan CEPI merupakan upaya menghindari kelangkaan vaksin akibat permintaan yang tinggi. WHO khawatir negara-negara miskin tidak memiliki kesempatan memperoleh vaksin, karena telah diboyong negara-negara adi daya.

“Peran WHO berdasarkan prinsip health equity, memastikan ada equitable access to vaccine. Untuk vaksin WHO sudah membentuk COVAX, semacam joint effort untuk distribusi dan produksi vaksin yang di dalamnya ada CEPI dan GAVI. Ini menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa pada saatnya nanti kita mendapat kesempatan yang sama untuk mendapat vaksin,” papar Diah.

Pada rapat dengar pendapat antara Kementerian Kesehatan bersama Komisi IX DPR RI, Menkes Terawan Agus Putranto mengatakan, Indonesia telah membayar uang muka untuk keanggotaan GAVI. Ketika nanti vaksin sudah diap dipasarkan, Indonesia harus melunasi pembayaran sisanya supaya memperoleh vaksin sesuai prinsip kemerataan.

“Pembayaran untuk keanggotaan GAVI dan juga mengenai uang muka kemarin sudah disampaikan, kalau gak asalah anggarannya sebesar Rp3,8 triliun sebagai uang muka, supaya kita mendapatkan vaksin tersebut,” kata Terawan, Kamis, 27 Agustus 2020.

Diah juga menekankan pentingnya suatu negara berada dalam COVAX, apakah itu CEPI atau GAVI. “Advis WHO, pastikan negara berada dalam COVAX, karena di situlah kepastian bahwa kita akan mendapatkan akses yang sama dengan negara-negara maju yang mengembangkan vaksin.”

Baca Juga: 248 Relawan Sudah Disuntik Vaksin Sinovac, Tidak Ada Gejala Sakit

2. Diplomasi kesehatan antar-negara

Berburu Vaksin COVID-19 ke Negeri Seberang Hingga Menjaga KehalalannyaIlustrasi (Dok. Biro Hukum, Kerja Sama, dan Humas BPPT)

Tiongkok dan UEA merupakan dua mitra strategis Indonesia untuk ketersediaan vaksin COVID-19. Lawatan Retno dan Erick ke Tiongkok diklaim berhasil mengamankan lebih dari 40 juta dosis vaksin hingga akhir 2021. Adapun buah tangan dari UEA adalah janji 10 juta dosis vaksin pada akhir 2020.

Kerja sama Indonesia yang diwakili Biofarma dengan Sinovac dan Sinopharm yang berasal dari Tiongkok, sempat menjadi 'bulan-bulanan' publik. Sebagian masyarakat Indonesia memiliki sentimen negatif terhadap produk Tiongkok, apalagi virus ini juga berasal dari negara tersebut.

Menanggapi hal itu, Direktur Pemasaran Biofarma Sri Harsi Teteki membeberkan sejumlah alasan di balik kerja sama dengan Sinovac dan Sinopharm. Dua perusahaan tersebut tergolong sebagai pengembang vaksin yang cukup progresif di dunia. Vaksin yang mereka kembangkan kini sudah memasuki uji klinis fase ketiga atau sudah diuji coba kepada manusia.

Kemudian, Sinovac dan Sinopharm menerapkan metode inactivated dalam pengembangan vaksin, yaitu pelemahan virus atau bakteri supaya bisa menghasilkan antibodi ketika disuntikkan ke tubuh manusia. Biofarma sudah akrab dengan metode ini, sehingga mereka tidak memerlukan alat suntik injeksi khusus.

“Kami mencari partner yang bisa mempercepat ketersediaan vaksin sambil menunggu vaksin Merah Putih. Teknologi Sinovac juga sangat familiar dengan program vaksin nasional. Kita juga punya pengalaman kerja sama dengan Sinovac. Saya rasa Sinovac itu yang paling cepat dan tepat,” kata Teki, sapaan sehari-hari eksekutif di perusahaan pelat merah itu dalam webinar bertema Berburu Vaksin COVID-19 Sampai ke Tiongkok yang diselenggarakan IDN Times.

Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Tiongkok Nikkolai Ali Akbar, mengaku tak heran ketika Biofarma memilih perusahaan asal negeri Tirai Bambu itu sebagai mitranya. Sebagai negara pertama yang berurusan dengan virus corona, praktis perusahaan medis asal Tiongkok merupakan institusi yang mengawali pengembangan vaksin.

“Karena memang terpapar virusnya lebih awal, akhirnya pengembangan vaksinnya bisa lebih cepat. Sinovac bahkan sudah melakukan pengujian kepada militernya tapi belum kepada sipil,” kata Nikko kepada IDN Times.

Erick mengklaim kerja sama antara Biofarma dengan perusahaan asal Tiongkok mampu menghasilkan hingga 250 juta dosis vaksin di penghujung 2020.

Adapun oleh-oleh dari UEA adalah komitmen untuk pengembangan alat pengetesan (test kit) COVID-19 yang menggunakan instrumen laser kepintaran buatan (artificial intelligent), tentunya selain kerja sama pengembangan vaksin.

“Teknologi ini dapat membantu tracing (pelacakan) secara cepat, bukan hanya untuk deteksi COVID-19, tapi juga untuk penyakit lainnya. G42 menanggapi secara positif usulan-usulan tersebut,” ujar Retno.

3. Perlombaan vaksin di dalam negeri

Berburu Vaksin COVID-19 ke Negeri Seberang Hingga Menjaga KehalalannyaIlustrasi (Dok. Biro Hukum, Kerja Sama, dan Humas BPPT)

Atas nama kedaulatan vaksin sekaligus kebutuhan jangka panjang, berbagai lembaga kesehatan dan medis turut berlomba menciptakan vaksin COVID-19 di dalam negeri. Baru-baru ini, calon vaksin yang dikembangkan Unair bersama TNI dan BIN menjadi sorotan, karena diklaim telah sukses melewati uji klinis fase ketiga. Tinggal mendaftarkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), maka vaksin ini diklaim siap dipasarkan.

Upaya penemuan vaksin lainnya juga diinisiasi Eijkman bersama Biofarma. Wakil Kepala Eijkman Herawati Sudoyo tidak membantah bila pengembangan vaksin Merah-Putih memang terlambat. Namun, dia tak khawatir karena kepentingan vaksin jangka pendek telah dipenuhi, melalui kerja sama di tataran multilateral serta bilateral.

“Jelas terlambat karena kita baru 16 (Maret 2020) kita baru ditetapkan dari 14 lab yang diminta untuk mendeteksi. Jadi konsentrasi kita waktu itu hanya percepatan deteksi. Baru April, satu bulan sesudahnya, kita baru bisa meluangkan waktu untuk kegiatan lain,” kata Herawati kepada IDN Times.

Dia menambahkan, “Kita timeline-nya Januari baru daftar (vaksin Merah Putih), baru bisa memberikan benihnya. Tapi itu tidak masalah, karena apapun yang ada, seperti Sinovac ya harus kita lakukan yang mana lebih dulu. Tapi (vaksin) Indonesia diperlukan untuk terus-menerus.”

Herawati bahkan mengaku sebenarnya lembaga riset yang ada di Indonesia bisa memproduksi vaksin dengan metode yang sama seperti Sinovac, yaitu inactivated. Tapi jumlah produksi yang besar merupakan tantangannya.

“Sinovac melakukan pengembangan vaksin melalui virus yang diinaktivasi, itu mudah dan kita bisa lakukan juga di lab ini. Tapi rasanya kita kemarin gak begitu merani dengan melihat jumlah produksinya, harus besar, jadi harus level factory,” kata alumni Monash University itu.

Terkait 'perlombaan' mengembangkan vaksin dalam negeri, Herawati mengaku senang karena setiap lembaga memiliki metode masing-masing. Metode yang digunakan Eijkman untuk bakal vaksin Merah Putih adalah memperbanyak spike protein pada virus SARS-CoV-2, yang berperan penting dalam proses pengenalan antara virus dengan sel manusia. Sehingga virus corona nantinya tak mampu menginfeksi sel manusia.

For Your Information, ada beberapa universitas yang mengembangkan vaksin dari platform yang berbeda. Ada yang dari RNA, ada juga DNA, semuanya in pararel. Who knows kan mana yang lebih bagus,” ungkap dia.

Di sisi lain, Presiden Jokowi melihat keberadaan vaksin dalam negeri sebagai peluang untuk memperkuat ekonomi Indonesia. “Jadi nanti saat vaksin Merah Putih kita ketemu, kita bisa produksi lebih banyak, dan kalau yang kita miliki berlebih, ya gak apa-apa dijual ke negara lain. Karena di ASEAN saja saya lihat belum ada negara yang siap dengan vaksin,” kata Jokowi.

4. Menghindari polemik halal-haram

Berburu Vaksin COVID-19 ke Negeri Seberang Hingga Menjaga KehalalannyaIlustrasi Vaksin (ANTARA FOTO/AAP Image/David Mariuz via REUTERS)

Tak kalah penting, Diah turut mengingatkan pemerintah terkait transparansi dan keterbukaan publik soal vaksin COVID-19. Jangan sampai vaksin yang dicari susah payah hingga menggelontorkan dana triliunan rupiah, berujung penolakan dari masyarakat.

Polemik anti-vaksin bukan isu baru di Indonesia. Sebagai contoh, hingga hari ini masih ada kelompok masyarakat yang menolak vaksin polio. Penyebabnya beragam, mulai dari isu vaksin polio yang terbuat dari babi hingga vaksin sebagai senjata biologi buatan umat Yahudi.

Untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali menyambut vaksin COVID-19, Herawati mengatakan, sejak awal proses pengembangan vaksin Eikjman bersama Biofarma telah menggandeng Majelis Ulama Indonesia (MUI).

“Kelompok anti-vaksin itu ada di seluruh dunia, di Amerika Serikat jauh lebih kuat. Karena negara kita banyak agama Islam, dengan sendirinya vaksin kita pasti ditanya halal atau haram. Kita sudah berpikir ke situ. Sudah ada pendekatan dengan Biofarma dan MUI, sehingga mereka sudah tahu dari awal, bukan ketika vaksin sudah jadi,” kata Herawati.

Di samping itu, Herawati juga meminta kepada seluruh akademisi untuk terlibat aktif dalam menangkal kabar bohong yang mengarahkan masyarakat menolak vaksin.

“Pandemik ini banyak sekali informasi yang tidak benar, tidak transparan, setengah-setengah. Nah, di sinilah kita (peneliti atau akademisi) mendekati mereka, memberikan informasi yang benar. Tentu ini tantangan karena peneliti biasanya kerja senyap,” kata dia.

Herawati juga menjamin vaksin yang selama ini diproduksi Biofarma sudah memenuhi syarat-syarat kehalalan suatu produk. Salah satu buktinya adalah penerimaan obat-obatan atau vaksin buatan Biofarma di 52 negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam.

Terkait vaksin yang didatangkan dari Tiongkok, Herawati mengatakan, pihaknya akan terus berkonsultasi dengan MUI mengenai halal-haramnya barang tersebut. Kendati, dia juga mengingatkan MUI pernah berfatwa tentang pentingnya obat atau vaksin, yang mengandung bahan najis atau haram, di tengah situasi darurat yang mematikan.

“Memang bukan sesuatu yang mudah dalam proses pergantian hal-hal yang diperlukan. Kita paham mengubah satu bahan baku saja, akan butuh riset vaksin dari awal lagi, dan itu butuh upaya yang besar. Proses halal atau haram kami menyerahkan kepada MUI untuk mendampingi kami, supaya vaksinnya bisa mensejahterakan, ini jadi PR memang,” kata dia.

Baca Juga: [LINIMASA] Perkembangan Terbaru Vaksin COVID-19 di Dunia

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya