Mahfud MD: Korupsi Zaman Sekarang Lebih Gila Dibandingkan Orde Baru

"Sekarang, APBN belum jadi saja sudah dikorupsi"

Jakarta, IDN Times - Menteri Koordinator bidang politik, hukum dan keamanan Mahfud MD mengakui korupsi di era sekarang lebih ganas dan luas ketimbang di zaman Orde Baru dulu. Ia mencontohkan salah satu bentuk keganasannya yakni Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) justru sudah dikorupsi sebelum selesai dibuat. 

"Kalau dulu (modus korupsinya) APBN jadi dulu, ada sekian-sekian triliun, oh nanti yang mengurusi PT ini diberi proyek urusan jalan ini, urusan organisasi PT ini, sudah ada jaringan siapa yang mengambil proyek-proyek itu. Jadi, korporatis," ungkap Mahfud ketika berbicara di Universitas Gadjah Mada pada Sabtu, 5 Juni 2021 yang disiarkan melalui siaran YouTube UGM. 

Sementara, modus korupsi sekarang berubah dengan cara ijon proyek untuk dimasukan ke dalam APBN. Ia memberi contoh dua politikus dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat, yang sudah jadi tersangka. Keduanya, kaya Mahfud, mendatangi daerah dan menanyakan kepada universitas apakah berminat membangun rumah sakit.

Ketika itu, pihak universitas dan kepala daerah mengatakan tidak ada niat membangun lantaran ketiadaan anggaran. "Udah saya yang masukan (anggaran ke dalam APBN). Jadi, melalui hak anggota DPR ditulis universitas A akan membangun rumah sakit B," ungkap dia. 

"Berapa anggarannya? Rp700 miliar, oke bayar dulu di depan 7 persen," tutur Mahfud menjelaskan modus korupsi di era sekarang. 

Modus serupa juga digunakan untuk proyek infrastruktur lainnya seperti pembangunan jalan. Bila anggaran yang dibutuhkan Rp90 miliar, maka anggota DPR itu sudah meminta fee sebesar 7 persen dan dibayarkan di awal. 

"Itu benar-benar terjadi. Sampai ada kejadian seorang bupati sudah menyetor, ternyata tidak masuk APBN, lalu teriak-teriak (ke publik) dan ketahuan, sekarang sudah dipenjara," katanya. 

Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh pemerintahan Joko "Jokowi" Widodo untuk menghentikan praktik tersebut? Mengapa korupsi di era setelah reformasi justru lebih gila dibandingkan saat Orde Baru?

Baca Juga: Indeks Persepsi Korupsi RI Drop karena Banyak Kasus Politik Tak Tuntas

1. Korupsi di era reformasi dilakukan atas nama reformasi

Mahfud MD: Korupsi Zaman Sekarang Lebih Gila Dibandingkan Orde BaruIlustrasi Koruptor (IDN Times/Mardya Shakti)

Menurut pengamatan Mahfud, rasuah di era pascareformasi dilakukan atas nama demokrasi. Sementara, bila dibandingkan dengan era orde baru, pola praktik korupsi hanya dilakukan oleh korporasi saja. Meski ia tak menampik praktik korupsi, kolusi dan nepotisme tetap saja banyak. 

"Tapi, bila Anda ingat dulu, korupsi tidak ada yang dilakukan oleh DPR. Hakim, gubernur, pemda, gak berani (korupsi). Dulu koordinasinya terkoordinir," kata Mahfud.

Dalam disertasi untuk meraih gelar doktornya, Mahfud melihat praktik korupsi pada era Soeharto dilakukan dengan membangun organisasi atau perusahaan. Proyek-proyek akan dialirkan ke sana.

"Misalnya pertanian membuat organisasi, diatur di sini dan diberi bagian, lalu ditunjuk siapa yang memimpin. Pedagang pasar juga diminta buat organisasi lalu diatur," tutur dia lagi.

Yang mengatur, kata Mahfud, adalah Soeharto sendiri. Bahkan, itu tertulis di TAP MPR dan  UU KPK bahwa pemerintahan di era Orde Baru penuh dengan praktik KKN. 

"Jadi, ini bukan soal baru. Jangan sampai kita takut untuk mengatakan pemerintahan Pak Soeharto itu memang KKN," ujarnya. 

Bila membandingkan dengan kondisi saat ini, institusi yang semula di era Orde Baru tak berani korupsi akhirnya ikut main. Mulai dari DPR, gubernur, hakim agung di MA, disebut Mahfud tak pelak ikut korupsi. 

"Karena atas nama demokrasi. Saya bebas melakukan apa saja, pemerinta ndak boleh ikut campur," katanya. 

Baca Juga: Menko Mahfud: Pemerintah Akan Ungkap 10 Kasus Korupsi Besar di Papua

2. Mahfud MD sentil pejabat publik saat ini tak lagi punya moral maka berani korupsi

Mahfud MD: Korupsi Zaman Sekarang Lebih Gila Dibandingkan Orde BaruPenjelasan Menko Mahfud soal alasan pejabat publik melakukan korupsi di era pascareformasi (Tangkapan layar YouTube UGM)

Di dalam pemaparannya, Mafud mengatakan salah satu penyebab korupsi makin meluas di era pascareformasi karena para pejabat publik sudah tidak lagi punya moral. Mereka justru menggunakan hukum untuk menjustifikasi perbuatan korupsinya. 

"Sekarang, hukum itu lepas dari moral. Sekarang, orang itu mencari pembenaran melalui aturan hukum. Mau korupsi ada dalilnya kok sekarang," kata Mahfud.

Ia pun memberi contoh peristiwa pemberian suap yang dilakukan oleh eks Gubernur Jambi kepada anggota DPRD. Gubernur terpaksa memberi mobil mewah Toyota Alphard kepada masing-masing anggota DPR agar mereka bersedia hadir dalam rapat pengesahan ABPD.

"Anggota DPR bilangnya gak mau (menyetujui kebijakan) bila tidak dikasi anggaran begini. DPRD bilangnya saya tidak mau anggaran begini, bila tidak diberi jatah segini. Dalilnya (untuk korupsi) ada, karena untuk membuat Perda harus dengan persetujuan DPRD," tutur dia. 

Alhasil, Gubernur Jambi yang disebut Mahfud itu ditangkap karena memberikan suap berupa mobil mewah. Meski sudah ditangkap, tapi Perda untuk membuat proyek itu sudah terlanjur disetujui. 

3. Pemerintahan Jokowi klaim diwarisi limbah perkara korupsi dari era lampau

Mahfud MD: Korupsi Zaman Sekarang Lebih Gila Dibandingkan Orde BaruIlustrasi Kerja Sama Koruptor (IDN Times/Mardya Shakti)

Di sisi lain, Mahfud menilai tidak adil bila perbuatan korupsi yang terjadi di masa lampau lalu dilimpahkan kesalahannya kepada pemerintahan Joko "Jokowi" Widodo. Ia mengambil contoh kasus pengemplang dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Menilik ke belakang, sejumlah obligor dikatakan telah lunas mengembalikan dana pinjaman itu. Sebagai bukti dikeluarkan surat Release and Discharge pada 2002. 

"Tapi, kemudian ada yang protes bahwa rilis SKL (Surat Keterangan Lunas) ada korupsinya, maka masuk ke pengadilan. Ini yang saya maksud Sjamsul Nursalim, dia berutang ke pemerintah Rp4,7 triliun-Rp4,8 triliun," kata Mahfud. 

Sebagai jaminan agar bisa diberikan dana talangan, Sjamsul menjaminkan sejumlah asetnya seperti tambak udang. Tetapi, setelah dinilai, nominal aset tersebut hanya mencapai Rp1,1 triliun. Artinya, masih ada dana sekitar Rp3,7 triliun yang belum dikembalikan. 

"Di pengadilan negeri, betul ada korupsi. Naik banding ke pengadilan tinggi dan dinyatakan betul disebutkan juga ada korupsi. Tetapi, begitu sampai di Mahkamah Agung malah bebas, lalu yang disalahkan pemerintah," tutur dia heran. 

Menurut Mahfud yang membebaskan adalah pengadilan. Sementara, pemerintah tidak berhak mencampuri proses peradilan itu. 

"Lalu, ada yang menganalisa bahwa ada permainan dengan hakim. Lho, kan kita gak boleh masuk (ikut campur) main," katanya.

Lantaran dinyatakan oleh MA ia tidak terbukti korupsi, maka yang kini dikejar oleh pemerintah adalah sisa utangnya secara perdata. 

Baca Juga: Susunan Anggota Satgas Pemburu Aset BLBI: Dari Mahfud hingga Luhut

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya