[WANSUS] Magdalena Sitorus Puluhan Tahun Melawan Diskriminasi Gender

#Akuperempuan melihat nilai perempuan melalui budaya

Jakarta, IDN Times – Perjuangan perempuan di Indonesia melawan diskriminasi gender masih terus digaungkan. Komisioner Komisi Nasional (KomNas) PerempuanMagdalena Sitorus adalah salah satu pejuang yang masih aktif menyuarakan hak perempuan.

Di usia yang telah menginjak angka 67 tahun, perjuangan Magdalena dalam membahas isu perempuan di Indonesia masih menyala-nyala.

Perspektif lain soal isu perempuan ia bagikan pada IDN Times, terutama mengenai isu perempuan di dalam ranah budaya. Tahun ini adalah akhir masa jabatannya di KomNas Perempuan.

Dia terkadang merasa belum bisa memberi bantuan secara maksimal pada isu perempuan di Indonesia. Siapa Magdalena Sitorus dan bagaimana kisahnya?

1. Sejak kecil telah merasa ada ketidakadilan gender

[WANSUS] Magdalena Sitorus Puluhan Tahun Melawan Diskriminasi GenderMagdalena Sitorus Komisioner Komnas Perempuan (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Magdalena adalah putri bungsu dari 11 bersaudara, dirinya tumbuh dalam keluarga Sumatera Utara. Ia lahir di Desa Lumban Nabolon, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba-Samosir pada 27 Oktober 1952.

Lahir dari keluarga yang berdomisili di Toba-Samosir dan menjadi anak sulung membuatnya membuka pikiran dan hati terhadap isu-isu gender di sekitarnya sejak kecil.

“Aku tuh dari kecil belum ngerti gender sebetulnya, tapi saya melihatnya selalu tidak adil,” kata Magdalena kepada IDN Times saat ditemui di kantor Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta Pusat Rabu (27/11).

Karena merupakan anak sulung, bentuk kasih sayang keluarga dilimpahkan menjadi bentuk proteksi. Magdalena sangat menyukai drama dan menari, tetapi ia kerap dilarang, dengan alasan proteksi. Baginya perlakuan pada laki-laki cenderung berbeda dari pada perempuan.

“Tapi saya merasa itu hal yang tidak adil, dari kecil sudah lihat tetapi itu yang suka saya berontak,” kata dia.

2. Mengkritisi hal-hal kecil di sekitar perempuan

[WANSUS] Magdalena Sitorus Puluhan Tahun Melawan Diskriminasi GenderMagdalena Sitorus, Komisioner Komnas Perempuan (IDN Times/Lia Hutasoit)

Ketidakadilan yang ia jabarkan terhadap gender juga dapat terbentuk ketika seorang anak perempuan ingin mengemban pendidikan. Tidak jarang suatu budaya melarang perempuan untuk mengenyam pendidikan tinggi. Perempuan dituntut untuk segera menyelesaikan pendidikan dengan cepat.

Selain itu dia cukup mengkritisi hilangnya nama seorang perempuan ketika menikah, apalagi dalam budaya Sumatera Utara. Maka dari itu, dirinya berusaha untuk mengubah hal-hal kecil yang ada secara tidak langsung sebenarnya mengerdilkan perempuan.

“Sebetulnya tanpa sadar kita mengurangi nilai dari perempuan itu sendiri, bahwa dia lebih rendah dari laki-laki,” katanya.

Baca Juga: Cerita Elena, Penyintas Kekerasan Seksual dan Aktivis Perempuan

3. Magdalena paham bahwa budaya memiliki nilai tersendiri

[WANSUS] Magdalena Sitorus Puluhan Tahun Melawan Diskriminasi GenderAlat musik khas Batak Gondang (IDN Times/Indah Permata Sari)

Namun, dari kondisi budaya yang ada, Magdalena semakin paham bahwa dirinya tidak bisa menghakimi dan menyesali nilai tersebut.

“Tapi ke sininya saya paham kalau budaya itu punya value, jadi menerjemahkan sayang itu menjadi perspektifnya dengan value perempuan itu begini, laki itu begini” ujarnya.

Dia sangat bersyukur karena memiliki almarhum suami yang terbuka pada perbedaan pola pikir tentang perempuan di lingkungan budaya. Bahkan dia dibiarkan untuk tidak menggunakan konde layaknya ibu-ibu lain.

“Saya coba memahami, saya berada di lingkungan apa, berangkat dari positive thinking, bahwa dia (orang lain) belum ngerti jadi aku harus buat dia mengerti,” ujar Magdalena.

4. Menemukan dunianya ketika membahas isu perempuan dan anak

[WANSUS] Magdalena Sitorus Puluhan Tahun Melawan Diskriminasi GenderKantor Komnas Perempuan di Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat. (Google Street View)

Magdalena adalah orang lama yang telah berkecimpung dalam kegiatan aktivis perempuan sejak 1995. Dahulu ia adalah seorang konselor korban, dirinya juga pernah menjadi wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak dan Direktur Solidaritas Aksi Koran Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan (SIKAP).

Magdalena juga sempat bergabung di KPAI selama dua periode, almarhum suaminnya, Asmara Nababan adalah Sekjen Komnas HAM pada 1993-1998 dan juga salah satu pendiri Komisi Untuk Orang Hilang (KontraS).

Duhulu ia hanya seorang pegawai di sebuah perusahaan, namum kepekaannya terhadap dunia perempuan dan anak membawanya pada pilihan bahwa aktivis adalah keputusan yang tepat.

“Saya baru menemukan yang saya suka, dunia saya, karena saya dulu kerja di perusahaan,” kata Magdalena.

5. Merasa tidak dapat membantu banyak

[WANSUS] Magdalena Sitorus Puluhan Tahun Melawan Diskriminasi GenderKonferensi pers di Komnas Perempuan pada Kamis (28/11) (IDN Times/Margith Juita Damanik)

Namun, di balik semangatnya dalam membahas isu perempuan dan anak, Magdalena juga terkadang bergumul dengan pikirannya sendiri. Terkadang ia berpikir apakah perjuangan yang dia berikan sudah cukup membantu atau tidak.

“Gimana ya, kadang-kadang saya merasa kok saya gak bisa berbuat banyak ya, bahwa menembus menjadi hasil rekomendasi pemantauan komNas perempuan yang harus disampaikan ke negara itu kayanya bergaung, tetapi kok butuh proses,” kata dia.

“Rasanya, I can't explain my feeling,” ujarnya.

6. Melanjutkan perjuangan perempuan melalui buku

[WANSUS] Magdalena Sitorus Puluhan Tahun Melawan Diskriminasi GenderMagdalena Sitorus, Komisioner Komnas Perempuan (IDN Times/Lia Hutasoit)

Baginya, berada di KomNas Perempuan adalah hal yang indah, dia selalu belajar dan bekerja keras. Magdalena mengatakan bahwa tiap lembaga bukanlah surga, pasti selalu ada persoalan. Namun menurutnya, persoalan selama bergabung di KomNas hal selalu dihadapi dengan beragam sikap yang baik. Di akhir jabatannya, dia berharap agar kerja keras ini tetap berlanjut.

Kini, Magdalena akan segera menyelesaikan tugasnya di KomNas Perempuan. Dia akan lebih fokus membahas isu perempuan dan anak lewat buku, dan melanjutkan kisah-kisah kesehariannya yang biasa ia tulis melalui buku harian, tulisan itu biasa ia tunjukan untuk almarhum sang suami.

“Aku tuh tiap hari nulis surat buat suamiku, itu dibukuinn, ‘hai as apa kabar’, tapi ada isu sosialnya, jadi kalau ada hari yang padat bisa sampai 8-9 lembar dan selalu diakhiri dengan, ‘aku bobok dulu ya,’’ kata Magdalena mengenang sang suami.

Baca artikel menarik lainnya di IDN Times App, unduh di sini http://onelink.to/s2mwkb

Baca Juga: Kisah 2 Perempuan Alami Kekerasan Sampai Batuk Darah dan Trauma

Topik:

  • Dwifantya Aquina
  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya