Menyudahi Polemik UU Cipta Kerja, PKS Desak Presiden Terbitkan Perppu
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI mendesak Presiden segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) atas UU Cipta Kerja.
Anggota Badan Legilasi DPR RI Fraksi PKS Mulyanto menganggap sudah banyak bahasan dan kajian yang menyebut UU Cipta Kerja yang merupakan omnibus law ini cacat prosedur. Jika dipaksakan Mulyanto khawatir akan menimbulkan banyak masalah yang bisa merugikan banyak pihak.
"Saya minta Presiden mendengar masukan yang disampaikan oleh banyak kalangan. Buktikan kalau negara berpihak pada rakyat bukan hanya kepada kelompok pemodal semata," kata Mulyanto lewat keterangan tertulisnya, Sabtu (24/10/202).
1. Presiden layak menerbitkan Perppu
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR ini mengatakan, Presiden layak menerbitkan Perppu atas UU Cipta Kerja, karena prosedur formal yang tidak lazim, gonta-ganti naskah setelah pengesahan serta banyak menerima penolakan dari masyarakat.
Menurut Mulyanto, sejak awal UU yang dikenal dengan nama Omnibus Law Cipta Kerja ini terkesan dipaksakan. Bahkan selama reses, di saat RUU lain tidak dibahas, UU ini terus dikebut pembahasannya. Sehingga, Mulyanto tidak begitu heran jika belakangan UU Cipta Kerja ini gonta-ganti naskah dan menimbulkan banyak koreksi.
“Karena terburu-buru dan catatan belum terkonsolidasi jadi satu, sehingga saat pleno pengambilan keputusan tingkat I di Baleg 3 Oktober, naskah tidak dibacakan dan penandatanganan naskah hanya bersifat simbolik,” ujarnya.
Baca Juga: Presiden PKS: Jokowi Harus Dengar Suara Rakyat, Terbitkan Perppu!
2. Utak-atik draf UU Cipta Kerja
Menurutnya, saat paripurna 5 Oktober baru dibagikan file digital versi 905 halaman. Draf ini pun ditarik kembali karena ada yang tidak sesuai dengan keputusan panja. Draf terakhir pada 12 Oktober, dokumen 812 halaman yang resmi dan bersifat final diserahkan kepada presiden pun masih ditemukan banyak catatan.
Berdasarkan recall pada 16 Oktober, Setneg mengajukan revisi perbaikan naskah untuk 158 item perbaikan dalam dokumen setebal 88 halaman kepada Baleg DPR RI. “Dugaan saya hasilnya adalah setting akhir naskah setebal 1.187 halaman," kata Mulyanto.
3. Seharusnya UU yang sudah disahkan di paripurna tidak diubah-ubah lagi
Mulyanto berpendapat harusnya UU yang sudah disahkan di sidang paripurna tidak boleh diubah-ubah lagi oleh siapa pun, baik itu oleh pimpinan panja, Baleg DPR, pimpinan DPR apalagi oleh pemerintah. Jika hal tersebut sampai dilakukan, otensitasnya menjadi diragukan.
“Kita tengah meneliti substansi dari perubahan-perubahan draf pasca-pengesahan di paripurna DPR tersebut. Apakah hanya bersifat typo, redaksional atau ada yg bersifat substansial. Semestinya tidak boleh ada perubahan lagi pasca pengesahan suatu RUU,” ujarnya.
Baca Juga: Ramai-ramai Tolak Omnibus Law, Moeldoko: Pelajari Konteksnya