Tak Sesuai Kondisi Pandemi, Aturan PKPU dan Kepailitan Dikritik

Banyak pengusaha waswas akan aturan ini

Bandung, IDN Times – Tidak bisa ditampik jika pandemi COVID-19 mendatangkan berbagai masalah baru bagi banyak hal, tak terkecuali dunia usaha. Kondisi serbasulit ini belakangan dibuntuti oleh hadirnya wacana moratorium UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), yang menjadi dasar hukum untuk melakukan restrukturisasi melalui pengadilan.

Merespons wacana itu, Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (IKA FH Unpad) menggelar diskusi daring dengan tema, "Restrukturisasi Bisnis di Masa Pandemi: Quo Vadis UU Kepailitan dan PKPU" pada Sabtu, 4 September 2021.

Bagaimana diskusi berlangsung? Apa saja gagasan yang bisa dipetik?

1. Mengapa moratorium perlu dipertimbangkan?

Tak Sesuai Kondisi Pandemi, Aturan PKPU dan Kepailitan DikritikIDN Times/Wayan Antara

Ketua IKA FH Unpad, Yudhi Wibhisana, mengatakan jika situasi pandemi saat ini membuat banyak pelaku usaha waswas. Tidak cuma khawatir soal kondisi keuangan mereka, melainkan juga soal kepastian hukum proses restrukturisasi melalui pengadilan.

"Ini menimbulkan rasa waswas terhadap kemungkinan terjadinya PKPU dan kepailitan saat pandemi. Oleh karena itu, muncul berbagai wacana mengenai perlu atau tidaknya moratorium ini," kata Yudhi, dalam diskusi tersebut.

Di sisi lain, lanjut Yudhi, instrumen hukum yang mengatur mekanisme restrukturisasi utang-piutang ini sudah lama tidak mengalami perubahan, termasuk saat adanya kondisi pandemi seperti ini.

"Untuk itu, kita coba gali lebih dalam lagi mengenai moratorium, serta revisi UU PKPU dan Kepailitan ini. Tentunya dengan mempertimbangkan pendapat para pakar di bidangnya," kata dia.

2. Selama 2020-2021, ada 1.298 kasus PKPU dan kepailitan di Indonesia

Tak Sesuai Kondisi Pandemi, Aturan PKPU dan Kepailitan Dikritikilustrasi bangkrut (pixabay/SimonMichaelHill)

Faktanya selama tahun 2020-2021, jumlah PKPU dan kepailitan di Indonesia mencapai lebih dari 1.298 kasus, dan berdampak pada potensi pemutusan hubungan kerja yang luas. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan upaya pemerintah untuk memulihkan ekonomi nasional.

Untuk itu, Eka Wahyu Kasih, Ketua Satgas APINDO untuk PKPU dan Kepailitan, merekomendasikan sejumlah usulan kepada pemerintah, terutama tentang moratorium dan revisi UU No. 37 Tahun 2004.

"Apindo merekomendasikan penerbitan Perppu tentang moratorium pengajuan PKPU dan kepailitan dengan berbagai ketentuannya. Hal ini sebagaimana dilakukan di berbagai negara dunia sejak 2020, dan World Bank sudah menyetujuinya.”

"Kedua, perlu adanya revisi UU No. 37/2004, khususnya terkait dengan permasalahan-permasalahan yang telah dialami dunia usaha dan anggota Apindo," kata Eka Wahyu.

3. Beleid hukum harus ikuti perkembangan zaman

Tak Sesuai Kondisi Pandemi, Aturan PKPU dan Kepailitan Dikritikilustrasi penegakan hukum (jagad.id)

Dukungan atas revisi terhadap UU Kepailitan dan PKPU itu juga diungkapkan oleh Martin Patrick Nagel dari Restructuring and Insolvency Chamber Indonesia (RICI). Menurut dia, sudah saatnya beleid hukum ini disempurnakan dengan mengikuti perkembangan zaman.

"Moratorium PKPU dan Pailit harus menjadi momentum semua pihak untuk membuka mata dan menyadari pentingnya revisi UU Kepailitan dan PKP,  serta Hukum Acara Perdata yang faktanya banyak kelemahan," kata Martin.

Meski demikian, lanjut Martin, moratorium harus memperhatikan seluruh stakeholder dalam dunia usaha. "Tidak hanya pengusaha tetapi juga perbankan, supplier, perorangan, dan profesi penunjang termasuk lawyer, kurator, dan pengurus," katanya.

Baca Juga: Di Ambang Bangkrut, Wedding dan Event Organizer Minta Pelonggaran PPKM

Baca Juga: Maskapai Alitalia Bangkrut, Tutup Layanan Mulai 15 Oktober

Baca Juga: PPKM Level 4 di Palembang Bakal Picu PHK dan Toko Ritel Bangkrut

Topik:

  • Galih Persiana

Berita Terkini Lainnya