Masa Depan Sawit Indonesia di Tangan Petani Swadaya

Petani swadaya dominasi produksi sawit Tanah Air

Bandung, IDN Times – Sudah sejak lama Indonesia menjadi produsen crude palm oil (CPO) terbesar di dunia. Di tanah air, sebanyak 41 persen lahan perkebunan sawit dikelola oleh petani swadaya yang tersebar di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Papua Barat.

Dominasi ini tak main-main, dan membuat petani swadaya memegang posisi strategis dalam menjamin pasokan minyak sawit Indonesia secara berkelanjutan.

Namun masalahnya, masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dibenahi untuk memaksimalkan peran petani swadaya. Direktur Penghimpunan Dana BPDPKS, Sunari, dalam webinar bertajuk Sustainable Oil Palm Plantation for Independent Smallholders yang digelar pada 25 Oktober 2021, memaparkan berbagai persoalan itu.

1. Harus ada dukungan, utamanya dalam peningkatan mutu dan produktivitas

Masa Depan Sawit Indonesia di Tangan Petani SwadayaIlustrasi biji kelawa sawit (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

Sunari mengatakan, permasalahan dimulai dari produktivitas yang rendah, keterampilan bertani yang perlu ditingkatkan, kualitas benih kurang baik, hingga sarana dan prasarana yang masih minim.

“Untuk itu, kami mendorong peremajaan sawit untuk kebun dengan usia pohon yang sudah tidak produktif dan memberikan bibit sawit berkualitas untuk meningkatkan mutu dan produktivitas,” kata Sunari, dalam webinar tersebut.

Tak hanya itu, agar hasilnya lebih maksimal, Sunari berharap adanya pelatihan budidaya serta penyediaan sistem logistik untuk memudahkan pengangkutan hasil panen sampai ke luar perkebunan.

2. Kelapa sawit yang berkelanjutan telah ditetapkan dalam hukum

Masa Depan Sawit Indonesia di Tangan Petani Swadayailustrasi Budidaya kelapa sawit PT Natural Nusantara (Dok. PT Natural Nusantara)

Sementara itu dalam urusan kebijakan, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementerian Perkebunan, Dedi Junaedi, menjelaskan beberapa hal yang mendorong kelapa sawit untuk dapat berkelanjutan.

Ia menjelaskan, terdapat Inpres No 8/2018 mengenai peningkatan produktivitas, juga Inpres No 6/2019 mengenai peningkatan kapabilitas pekebun, peningkatan tata kelola, dan percepatan sertifikasi.

“Untuk merealisasikan aturan tersebut sampai ke tingkat tapak, kami membentuk forum multi-pihak yang menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) kelapa sawit berkelanjutan di tingkat provinsi dan kabupaten. Selain itu, Bappenas juga mengeluarkan standar perkebunan sawit berkelanjutan,” kata Dedi.

3. Ada 33 petani swadaya yang telah tersertifikasi

Masa Depan Sawit Indonesia di Tangan Petani SwadayaPetani sawit menanam bibit durian di Desa Binasari Kecamatan Angkola Selatan, Kabupaten Tapanuli Selatan (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

Di sisi lain, petani swadaya yang mengelola 6,7 juta hektare sawit di Indonesia ini juga didorong melakukan budidaya perkebunan secara berkelanjutan. Bergabung dalam lembaga sertifikasi, misalnya, menjadi salah satu cara petani swadaya belajar dan mempraktikkan prinsip berkelanjutan.

Salah satu sertifikasi perkebunan kelapa sawit yang ada di Tanah Air adalah Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Ad Interim Deputy Director RSPO Indonesia, Tiur Rumondang menyebutkan bahwa sampai Oktober 2021, sudah ada 33 kelompok pekebun swadaya yang tersertifikasi.

Tiur juga menyebutkan masih ada 50 kelompok pekebun swadaya yang sedang dalam proses mendapatkan sertifikasi RSPO.

“Pekebun yang tersertifikasi mendapat fasilitas jual beli yang bukan hanya fisik, tapi juga kredit dengan sistem book and clean. Sejauh ini, kredit sebesar Rp29 miliar per tahunnya didapatkan untuk 33 kelompok yang sudah tersertifikasi,” ujar Tiur.

4. Sertifikasi semata-mata untuk belajar

Masa Depan Sawit Indonesia di Tangan Petani SwadayaPuluhan petani sawit mengikuti Sekolah Lapang yang merupakan program upaya menerapkan sawit berkelanjutan (IDN Times/Masdalena Napitupulu)

Masalahnya, dalam proses pengajuan sertifikasi, masih terdapat berbagai kendala yang dihadapi, termasuk kaitannya dengan cara mempertahankan praktik berkelanjutan sekaligus meningkatkan ekonomi.

Masalah itu yang pada akhirnya menjadi landasan bagi terbentuknya Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FORTASBI), kata pentolannya, Rukaiyah Rafik.

Uki, sapaan akrab Rukaiyah, menekankan jika sertifikasi bukanlah tujuan, melainkan alat untuk belajar tentang banyak hal mulai dari cara berorganisasi, bagaimana berkebun tanpa merusak lingkungan, hingga bagaimana meningkatkan pendapatan secara berkelanjutan.

Selain menjalankan budidaya berkelanjutan, kelompok yang tergabung dalam FORTASBI juga berkontribusi terhadap Sustainable Development Goals di tingkat desa dengan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar.

“40 kelompok yang tergabung dalam FORTASBI, yang berisi 10.126 petani ini, menjadi agen sustainability di desa,” tutur Uki.

Baca Juga: RI-Malaysia Kompak Perangi Kampanye Negatif Sawit

Baca Juga: Bertemu Dubes Uni Eropa, Moeldoko Bahas Ekonomi Hijau Hingga Sawit

Baca Juga: Mahasiswa ITS Olah Limbah Sawit Jadi Komponen Baterai

Topik:

  • Galih Persiana

Berita Terkini Lainnya