Citayam Fashion Week Tak Boleh Mati oleh Komersialisasi

Pebisnis mesti mengerti, pemerintah mesti mewadahi

Bandung, IDN Times – Fenomena Citayam Fashion Week (CFW) yang menjadi pembicaraan belakangan ini dapat dipahami dari berbagai sudut pandang. Tidak sedikit orang yang menilai youth culture ini sebagai sebuah kritik terhadap konsumerisme yang dilahirkan para pesohor dan influencer lewat berbagai platform media sosial.

Dengan penuh percaya diri para model CFW, yang sebagian besar berasal dari masyarakat ekonomi menengah ke bawah, melenggang di kawasan Dukuh Atas, Jakarta. Zebra cross dan ruang-ruang publik perkotaan telah menjadi “panggung catwalk” yang disadari atau tidak, menawarkan budaya baru berupa alarm pemberontakan terhadap arus fashion kelompok pemuda ekonomi mapan.

Budaya akar rumput ini pun mendapat perhatian. Dengan memanfaatkan kinerja media sosial, nama para model CFW seperti Roy, Bonge, Jeje, hingga Kurma, meroket dan mulai dikenal banyak orang.

Sosiolog Universitas Airlangga (Unair), Tuti Budirahayu melihat dari beberapa sisi munculnya fenomena ini. Tuti memandang Citayam Fashion Week sebagai salah satu perlawanan yang terselubung dari anak-anak muda yang bertempat di daerah-daerah penyangga ibu kota.

Kawasan yang ada di tempat mereka tidak semegah Jakarta, khususnya kawasan SCBD. "Anak-anak muda ini kehilangan ruang berekspresi di kawasannya," ujarnya kepada IDN Times Jatim, Senin (25/7/2022).

Dari sinilah, mereka mencari tempat untuk bisa dilihat oleh orang banyak, kemudian dibuat konten di media sosial. "Tempat yang mereka pilih ini terjangkau dari transportasi massal. Titik tengahnya ada di sekitar SCBD. Menurut saya tempatnya cantik, banyak gedung-gedung megah," ungkap Tuti.

"Saya melihat catwalk-nya mereka itu bagian dari ketimpangan yang mereka alami," katanya. "Ini ide kreatif mereka yang dalam tanda kutip menunjukkan perlawanan terhadap ketimpangan yang terjadi antarwilayah," ujar Tuti menambahkan

Namun, dalam kacamata bisnis hingga politik, komunitas dan atensi budaya baru adalah sesuatu yang tak boleh dilewatkan. Bagaimana tidak, mendapat perhatian massa adalah harapan tiap pebisnis dalam mendulang cuan, juga politikus dalam menghimpun kepercayaan. Maka, jangan heran jika belum sempat berbulan-bulan Citayam Fashion Week digelar, pebisnis hingga politikus sudah mejeng di sana.

Bahayanya, nilai-nilai dalam urusan bisnis dan politik justru merupakan racun bagi gerakan budaya ekonomi menengah ke bawah. Kita dapat berkaca dari sejarah Harajuku, budaya pemberontakan fesyen di Jepang, yang akhirnya mati setelah tersentuh kepentingan bisnis.

1. Nasib Harajuku yang disuntik mati komersialisasi

Citayam Fashion Week Tak Boleh Mati oleh Komersialisasipixabay.com/travelphotographer

Harajuku merupakan nama dari sebuah distrik di Shibuya, Tokyo. Daerah ini terletak di antara Shinjuku dan Shibuya di Jalur Yamanote. Lebih dari sekadar makna geologis, Harajuku telah menjelma menjadi gerakan budaya baru lewat fesyen jalanan di era 1980, 1990, dan awal 2000-an.

Pada medio 1980-an, kelompok pemuda di Harajuku mulai menjadi perbincangan lantaran berani berpakaian liar sambil berkumpul di sana, utamanya ketika hari Minggu di mana Jalan Omotesando hanya boleh dilalui oleh pejalan kaki. Omotesando merupakan sebuah jalan yang cukup panjang dengan kafe dan butik mode kelas atas yang populer di kalangan penduduk dan turis.

Fesyen khas Harajuku kemudian mulai dikenal, karena mereka dengan kentara mencoba menghancurkan norma-norma dalam busana. Harajuku seakan-akan menjadi tempat bercampurnya berbagai macam subkultur di Jepang yang tak memiliki batasan. Para artis Harajuku memercayai kebebasan dalam berkreasi, hingga lahirlah cabang-cabang fesyen Harajuku mulai dari mode lolita, mode gyaru, atau bahkan campuran dari keduanya.

Ketika itu, hampir tidak ada pedoman khusus bagi orang untuk mengikuti karena fashion Harajuku, karena pijakan mereka pada nilai kebebasan berbusana yang total. Memang, dalam arus budaya Harajuku, tidak ada yang berhak menilai penampilan.

Seiring berjalannya waktu, gerakan itu menuai keberhasilan, hingga kelompok anak muda tersebut tak lagi disetir oleh tren fesyen yang diorbitkan merek-merek terkenal. Sebaliknya, merekalah yang pada akhirnya mendikte mode yang dirancang oleh toko-toko dari merek tenama di sepanjang Omotesando.

Tapi kesuksesan itu mati setelah datangnya komersialisasi. Setidaknya hal itu yang dipercaya oleh Shoichi Aoki, Fotografer dari Majalah FRUiTS (media massa yang getol mendokumentasikan mode jalanan di sekitar Harajuku).

“Di Tokyo ada semacam aliran energi dalam hal fesyen. Harajuku adalah sumber aliran ini. Jika Anda membayangkan Harajuku sebagai sumber sungai, maka baru-baru ini ada pabrik yang didirikan di tepian Sungai Harajuku, dan memunculkan bisnis-bisnis baru yang justru memperkecil ukuran mata airnya,” kata Aoki, pada situs berita bisnis Quartz, (22/2/2017).

Menurut Aoki, Harajuku kini telah berubah. Citra Harajuku yang penuh akan keliaran dan kebebasan telah dikooptasi dan dikomersialkan oleh perusahaan, selebritas, dan pencari perhatian, hingga akhirnya digantikan oleh yang lebih konservatif dan kurang unik di antara anak-anak Tokyo yang melek gaya.

Saat ini, kata Aoki, anak muda di sana cenderung mengenakan pakaian pasar massal dari Uniqlo dan merek pakaian internasional lainnya. Tidak main-main, sulitnya mencari anak muda yang modis sekaligus unik menjadi alasan utama mengapa majalah FRUiTS akhirnya ditutup, sekaligus menjadi penanda bahwa era Harajuku telah berakhir.

Syahdan, apa kabar dengan Citayam Fashion Week? Dengan urusan bisnis dan politik yang mengganggu, apakah gerakan budaya dalam fesyen ini akan berumur panjang?

2. Created by the poor, stolen by the rich

Citayam Fashion Week Tak Boleh Mati oleh Komersialisasiulang tahun Baim Wong (YouTube.com/Baim Paula)

Dugaan komersialisasi dari gerakan budaya Citayam Fashion Week yang paling populer adalah tindakan yang dilakukan artis Baim Wong dan istrinya, Paula Verhoeven. Mereka habis dihujat warganet usai perusahaannya, PT. Tiger Wong Entertainment, mendaftarkan merek ‘Citayam Fashion Week’ ke Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Pendaftaran itu tercatat di situs Pangkalan Data Kekayaan Intelektual (PDKI).

Tagar Baim Wong pun trending di Twitter. Warganet menghujat Baim dan Paula. Kemudian ramailah kalimat yang cukup mewakili kondisi ini: Created by The Poor, Stolen by The Rich. Suara para pesohor terbagi dua, ada yang mendukung ada pula yang menyentilnya.

Rapper sekaligus influencer Young Lex, menjadi salah satu pesohor yang mendukung langkah Baim Wong dalam mendaftarkan merek “Citayam Fashion Week” ke HAKI.

Lewat kolom komentar di akun Instagram Baim Wong, Young Lex mengutarakan dukungan. “Semuanya selalu tuduhan dan asumsi, kenapa ga ngobrol dulu sih? Gas terus abangku,” tulisnya melalui akun Instagram @young_lex18.

Di sisi lain, tak sedikit pula pesohor yang menyentil tindakan Baim Wong dan Paula Verhoeven. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil salah satunya, di mana menilai bahwa tumbuh kembang gerakan CFW harus diapresiasi secara organik.

"Nasehat saya tidak semua urusan di dunia ini harus selalu dilihat dari sisi komersil. Fenomena #CitayamFashionWeek itu adalah gerakan organik akar rumput yang tumbuh kembangnya harus natural dan organik pula," ujar Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil, dalam akun Instagram pribadi miliknya, Senin (25/7/2022).

Tak tanggung-tanggung, Emil pun secara tersirat meminta Baim Wong untuk mencabut pendaftaran HAKI-nya itu. "Jika pun ingin diorganisasikan lebih baik, biarlah mereka sendiri yang mengurusnya melalui komunitasnya. Oleh mereka, bukan Anda. Saran saya, pendaftaran HAKI ke Kemenkumham dicabut saja. Terima kasih jika bisa memahaminya," kata Ridwan Kamil.

Tak berjalan lama, tepatnya pada 26 Juli 2022 pukul 14.04 WIB, Baim Wong secara resmi mencabut pendaftaran HAKI tersebut. Alasan yang melatarbelakangi pencabutan pendaftaran itu ialah karena Baim ingin mengembalikan nama ‘Citayam Fashion Week’ kepada yang berhak.

3. CFW menyadarkan anak muda di kota lainnya untuk memanfaatkan fasilitas publik

Citayam Fashion Week Tak Boleh Mati oleh KomersialisasiIde OOTD ala Citayam Fashion Week (Instagram.com/jejelinces)

Fenomena Citayam Fashion Week yang menghiasi media sosial saban harinya sedikit-banyak menginspirasi pemuda di berbagai sudut Indonesia untuk menggelar fashion show serupa. Uniknya, gelaran yang ditampilkan memiliki beragam perbedaan sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing.

Di Surabaya, Jawa Timur, misalnya, di mana fashion show jalanan digelar di Jalan Tunjungan yang berada di pusat kota. Sama halnya dengan yang terjadi di Jakarta, Tunjungan Fashion Week pun menyita perhatian masyarakat dan warganet.

Para anak muda dengan padu padan busananya yang nyentrik, melenggang di atas zebra cross layaknya model papan atas. Adegan tersebut disambut oleh penonton yang mengapresiasi keberanian juga pilihan busana yang dikenakan.

Tak hanya di Surabaya, hal yang sama pun terjadi di Balikpapan, Kalimantan Timur.  Beberapa hari lalu, viral empat orang ibu-ibu melenggang bak model dengan baju berwarna biru cerah nan nyentrik di area penyeberangan di kawasan Simpang Empat, traffic light Kompleks Perumahan Elite Balikpapan Baru. 

Video mereka langsung viral di media sosial dan menjadi pro kontra di kalangan warganet. Ani, salah satu dari ibu-ibu yang berjalan di penyeberangan dengan penuh gaya itu menjelaskan alasan mereka mengikuti fenomena CFW yang lagi ngetren

Kata dia, Balikpapan yang dikenal sebagai salah satu kota besar di Kaltim ini, sebenarnya memiliki potensi untuk memamerkan gaya fesyen masa kini. Meski memang memanfaatkan kepopuleran CFW, wanita yang bergabung dalam Hijaber Community of Balikpapan (HCOB) ini menyebut Balikpapan juga boleh melakukannya.

“Boleh dong untuk menghidupkan Balikpapan, agar Balikpapan bisa seperti kota metropolitan, tapi kami prioritaskan keselamatan. Tidak membuat macet juga,” ujarnya kepada awak media.

Tidak hanya oleh masyarakat umum, peragaan busana di jalanan juga nyatanya dilakukan oleh Ridwan Kamil. Ia memilih zebra cross di Jalan Braga, Kota Bandung, sebagai panggungnya dalam memamerkan busana.

Menunggani ketenaran nama Citayam Fashion Week, Ridwan Kamil dikabarkan ingin memopulerkan kembali Jalan Braga yang terkenal akan fashion-nya sejak dulu.

Terbang ke barat Indonesia, tren fashion week pun dimanfaatkan dengan baik oleh desainer lokal. Di Medan, tepatnya, tren fesyen ini dimanfaatkan oleh para anak muda untuk menggunakan produk lokal dan memamerkan busananya di Titi Gantung Kota Medan pada Jumat (29/7/2022).

Airi SW merupakan salah satu dari sederet desainer lokal Kota Medan yang mengangkat tema etnik Sumatra Utara (Sumut) pada acara peragaan busana tersebut. Katanya, kegiatan ini bertujuan untuk memperkenalkan kain etnik ke seluruh masyarakat Sumut terutama kalangan muda.

"Pada acara fashion show yang kami tampilkan ini ada dua busana kasual yang terbuat dari bahan ulos. Hal itu kami gunakan agar anak-anak muda Kota Medan semakin familiar untuk selalu menggunakan bahan etnik Sumut meskipun busana sehari-hari dan tidak hanya untuk acara khusus saja," ujar Airi.

4. Citayam Fashion Week tak cocok untuk sebagian darerah Indonesia

Citayam Fashion Week Tak Boleh Mati oleh KomersialisasiIlustrasi mobil angkot. ANTARA FOTO/Risky Andrianto

Namun faktanya, tak sedikit daerah yang tidak memanfaatkan tren Citayam Fashion Week dalam memopulerkan kota mereka. Contoh paling tepat terjadi di daerah Tangerang, Banten, di mana demam fashion week tak membuat anak-anak muda di sana menggelar kegiatan serupa.

Setidaknya ada beberapa alasan mengapa kegiatan serupa Citayam Fashion Week tak digelar di Tangerang. Pertama, tak ada transit oriented development (TOD) yang ideal di Tangerang seperti halnya Dukuh Atas, Jakarta. TOD adalah pembangunan berorientasi transit, yang mana membuat transportasi publik sekaligus konektivitasnya lebih mudah dan murah untuk diakses masyarkat.

Berbeda dengan Tangerang, Dukuh Atas yang menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya Citayam Fashion Week memiliki TOD yang baik. Moda transportasi di sana terhubung dengan banyak daerah penyangga Ibu Kota, salah satunya ialah Citayam, Depok, Jawa Barat.

"Aksesibilitas salah satu faktor penting CFW (Citayam Fashion Week) kenapa bisa terjadi. Mudahnya akses transportasi ke ibu kota, ruang eksis yg memadai, ruang terbuka turut mempunyai andil besar. Nah ini harusnya bisa dicontoh kota satelit penyangga Jakarta," kata Analis kebijakan publik dari Universitas Islam Syech Yusuf (Unis), Adib Miftahul.

Citayam Fashion Week Tak Boleh Mati oleh KomersialisasiTak Boleh Mati oleh Komersialisasi (IDN Times/Adit)

5. Fashion show jalanan yang akhirnya dibubarkan

Citayam Fashion Week Tak Boleh Mati oleh KomersialisasiPetugas Satpol PP Kota Surabaya saat menertibkan kegiatan Tunjungan Fashion Week di Jalan Tunjungan. dok. istimewa.

Terlepas dari counter culture yang lahir dan berbagai polemik yang membuntutinya, sejatinya anak-anak Citayam Fashion Week telah memanfaatkan ruang publik yang disediakan dengan semestinya. Mereka telah mengekspresikan kreativitas dengan cara yang positif, meski belakangan muncul keluhan masyarakat atas kemacetan yang mereka timbulkan.

Atensi masyarakat yang justru mengganggu aktivitas lalu lintas membuat aparat terpaksa membubarkan gelaran Citayam Fashion Week di Dukuh Atas, Jakarta, beberapa hari lalu. Hal yang sama terjadi di Surabaya, di mana Tunjungan Fashion Week--yang terinspirasi dari Citayam Fashion Week, dibubarkan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pada 24 Juli 2022.

Ketika itu Kepala Satpol PP Surabaya, Eddy, mengakui bahwa ia mengirim petugasnya untuk menertibkan Tunjungan Fashion Week. Kemacetan, kata dia, terjadi sejak depan Taman Budaya Cak Durasim hingga sekitaran Gedung Siola. "Kalau lalu lintas lancar gak ada masalah, tapi kalau bikin kemacetan ini yang harus kami tertibkan," katanya.

"Mereka memanfaatkan lampu PTCL itu, kalau sering-sering kan ganggu lalu lintas," tutur Eddy.

6. Apakah ruang publik di Indonesia telah siap menampung budaya fesyen jalanan?

Citayam Fashion Week Tak Boleh Mati oleh KomersialisasiSuasana kawasan Stasiun BNI City yang dijadikan sebagai tempat berkumpul anak muda di Jakarta (IDN Times/Fauzan)

Sejauh ini dapat kita simpulkan bahwa seandainya fashion show tidak digelar di jalanan dan menimbulkan kemacetan, maka tidak ada kabar pembubaran oleh aparat terhadap gelaran kreativitas itu. Seperti di Jakarta dan Surabaya, fashion week terpaksa dibubarkan hanya karena alasan yang sama, yakni menimbulkan kemacetan.

Pertanyaannya, sejauh mana pemerintah kita telah melaksanakan tugasnya dalam menyediakan ruang publik bagi masyarakat untuk mengekspresikan dirinya? Atau jangan-jangan, peragaan busana jalanan muncul akibat tak ada ruang publik yang cukup bagi masyarakat untuk mengekspresikan dirinya?

Di beberapa daerah di Indonesia, fenomena Citayam Fashion Week seakan-akan menyadarkan pemerintah tentang pentingnya ruang publik bagi masyarakat dalam mengekspresikan kreativitasnya.

Masih di Surabaya, pemerintah setempat menata Jalan Tunjungan salah satunya untuk memfasilitasi anak muda yang ingin berkreasi. Menurut Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi, penataan dilakukan supaya kegiatan seperti fashion week tidak lagi menyebabkan kemacetan dan tetap memperhatikan kenyamanan para pengguna jalan.

"Nanti kita tata. Jadi kalau mau fesyen di Jalan Tunjungan, tapi di pedestriannya, jangan mengganggu pengguna jalan yang lain. Insya Allah nanti buka lagi hari Minggu tapi ada aturannya," ujar Eri.

Ia juga mengatakan kalau selain di Jalan Tunjungan, Pemkot Surabaya tengah menyiapkan Balai Pemuda Surabaya sebagai lokasi alternatif lain. Ke depan, anak-anak muda Surabaya bisa pula memanfaatkannya sebagai ruang untuk menyalurkan bakat di bidang fesyen.

"Kita sediakan di Balai Pemuda. Jadi anak-anak muda Surabaya bisa jalan di memakai baju modis. Itu bisa kalau ingin catwalk di Balai Pemuda. Karena Balai Pemuda tidak lepas dari Tunjungan Romansa," kata dia.

Setali tiga uang, Menjawab fenomena Citayam Fashion Week yang sedang menjadi perbincangan di kalangan anak muda, Pemkot Mataram segera menyiapkan kreatif hub yang merupakan tempat ruang ekspresi bagi anak-anak muda di Kota Mataram. Dua lokasi yang menjadi hub ialah Taman Wisata Loang Balok dan Taman Sangkareang.

Wali Kota Mataram Mohan Roliskana mengatakan fenomena Citayam Fashion Week merupakan budaya komtemporer anak-anak muda di kehidupan kota yang modern. Pemkot Mataram, kata Mohan, telah menyiapkan banyak ruang ekspresi bagi anak muda yang berada di ibu kota Provinsi NTB.

"Banyak ruang-ruang ekspresi yang disiapkan di Kota Mataram. Di ruang-ruang terbuka hijau dan ruang publik banyak sekali. Dan saya pikir kalau masyarakat kota itu ide, selera dan cita rasanya terus berkembang sesuai perkembangan zaman. Serta mereka lebih kreatif," kata Mohan, Kamis (27/7/2022).

Ketua DPD Partai Golkar NTB ini berkomitmen untuk mendukung penyaluran kreativitas anak muda daerahnya, salah satunya dengan mengupayakan pemenuhan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai tempat ruang ekspresi dan kreativitas warga Kota Mataram.

Pemerintah pusat memang telah mewajibkan kabupaten/kota memenuhi kebutuhan RTH 30 persen dari total luas lahan. Namun, Mohan mengakui bahwa tugasnya tentang penyediaan RTH belum tuntas.

"RTH belum cukup. Kalau dari segi ketersediaan lahan belum cukup. Kondisi itu karena terbatas lahan," tutur Mohan.

7. Pemerintah harus melestarikan ruang publik yang sudah eksis

Citayam Fashion Week Tak Boleh Mati oleh KomersialisasiKondisi terkini kawasan Pusat Kegiatan Olahraga (PKOR) berlokasi di Jalan Sultan Agung, Way Halim, Bandar Lampung. (IDN Times/Martin L Tobing)

Di saat beberapa daerah lain sibuk menambah jumlah ruang publik, ada beberapa daerah di Indonesia yang sebenarnya telah memiliki jumlah ruang publik yang mumpuni. Kota Bandung salah satunya, di mana memiliki 726 taman yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk berekspresi.

Penambahan ruang publik di Bandung secara besar-besaran terjadi pada kurun waktu 2013-2018. Ketika itu, pemerintah terus membangun fasilitas publik, meski terkadang tampil sederhana seperti taman film, skate park, pet park, hingga taman fotografi.

Tujuannya tak lain untuk meningkatkan taraf kebahagiaan masyarakat tanpa harus mengeluarkan duit banyak. Berdasarkan data 2018 pada 11 aspek yang memengaruhi statistik tersebut, religiositas menjadi aspek paling berpengaruh dengan 89,89 poin. Menyusul di peringkat kedua dan ketiga masing-masing adalah keharmonisan keluarga dengan 77, 95 poin, dan keadaan lingkungan dengan 77,68 poin.

Aspek keadaan lingkungan inilah yang sekarang jadi fokus Pemkot Bandung. Saat ini sebenarnya kita masih bisa mengunjungi berbagai ruang publik tersebut. Tapi, jangan harap bisa menemukan fotografer di taman fotografi, atau pecinta binatang di pet park. Sudut-sudut kota itu kini telah sepi pengunjung karena berbagai faktor, salah satunya akibat perawatan yang tidak dilakukan secara serius.

Hal tersebut diakui oleh Sekretaris Daerah Kota Bandung Ema Sumarna. "Secara umum (taman di Bandung) relatif terjaga dengan baik. Memang belum bisa maksimal (dalam pemeliharaan), tapi kita terus berproses. Meskipun dengan keterbatasan, atensi pemeliharaannya menurut saya masih masuk kategori yang cukup baik,” ucap Ema, beberapa waktu lalu.

Sama halnya dengan yang terjadi di Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Salah satu fasilitas publik di sana yang sering digunakan adalah Stadion dan GOR Sumpah Pemuda di PKOR Way Halim. Kedua gedung ini berada di bawah naungan Dinas Pemuda dan Olah Raga Provinsi Lampung.

Gedung ini sering dijadikan tempat olah raga seperti lari dan jogging masyarakat dan tempat latihan atlet daerah. Ijal, salah satu pengguna Stadion Sumpah Pemuda PKOR asal Way Huwi Lampung Selatan mengaku sedih melihat keadaan stadion terbesar di Bandar Lampung tersebut.

“Kalau mau dibilang ya miris banget. Teman saya saja sampai bilang kok stadion begini, kumuh banget, sedih lihatnya,” katanya, Jumat (29/7/2022).

Ekspresi publik dalam berkreasi merupakan salah satu hal yang tak boleh terlalu banyak disentuh oleh pengusaha dan pemerintah. Sebab sejatinya kreativitas itu tak dapat dibatasi.

Sebagai pelayan publik, alih-alih membatasi, pemerintah justru mesti mewadahi kreasi. Sementara bagi pengusaha, sudah seharusnya punya rem dengan membiarkan budaya fesyen jalanan ini tumbuh apa adanya.

Citayam Fashion Week Tak Boleh Mati oleh KomersialisasiSuasana kawasan Stasiun BNI City yang dijadikan sebagai tempat berkumpul anak muda di Jakarta (IDN Times/Fauzan)

Tim Penyusun:

Khusnul Hasana, Ardiansyah Fajar (Jawa Timur)Muhammad Iqbal (Banten)Sri Wibisono, Riani Rahayu (Balikpapan)Muhammad Nasir, Juliadin JD (Nusa Tenggara Barat)Rohmah Mustaurida (Lampung)Debbie Sutrisno, Persiana Galih (Jawa Barat)Masdalena Napitupulu (Sumatera Utara)

Baca Juga: Asal-usul Citayam Fashion Week, Jadi Ajang Pamer Fashion di SCBD

Baca Juga: 11 Potret Citayam Fashion Week, bak Fashion Show, lho!

Baca Juga: Citayam Fashion Week Mau Dipindah ke Sarinah, Erick Thohir: Jangan Dipolitisir

Topik:

  • Galih Persiana
  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya