Belajar dari Marwi yang Merintis Hutan Jadi Ekowisata

Ada pendapatan yang cukup untuk masyarakat

Bandung, IDN Times - Sebagai sumber penyangga biodiversitas dan sumber pendapatan masyarakat yang tinggal di sekitarnya, hutan-hutan di Indonesia masih dihadapkan pada persoalan seperti ancaman deforestasi hingga kesenjangan ekonomi.

Faktanya, masyarakat yang tinggal di kawasan hutan merupakan salah satu kelompok masyarakat dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia, yakni mencapai 20 persen pada 2020 menurut hasil studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (LPEM UI).

Hal ini sesuai dengan yang dialami oleh masyarakat di Kabupaten Lombok Tengah. Hal itu diceritakan oleh Marwi, Perintis Ekowisata Air Terjun Benang Stokel dan Benang Kelambu Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB).

1. Masyarakat Lombok Tengah bergantung pada hutan

Belajar dari Marwi yang Merintis Hutan Jadi EkowisataMarwi bercerita soal gerakanya dalam mengembangkan potensi hutan (IDN Times/Istimewa)

Marwi mengungkapkan awal mula dirinya merintis hutan di daerahnya menjadi sebuah ekowisata yang menarik banyak pengunjung lokal dan mancanegara. Masyarakat di Kabupaten Lombok Tengah, kata dia, sangat tergantung pada hutan. Mereka mengambil hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Awalnya karena di desa kami ini bisa dikategorikan di bawah kemiskinan yang luar biasa. Yang jadi persoalan bagaimana masyarakat sangat tergantung pada hutan, yang tadinya ngambil ranting kemudian menghabiskan pohonnya, ini yang lama-lama jadi ketergantungan,” kata Marwi, dalam siaran pers yang diterima IDN Times, Rabu (24/8/2022).

2. Melibatkan kedinasan hingga para akademisi

Belajar dari Marwi yang Merintis Hutan Jadi Ekowisatamonomousumi.com

Marwi bercerita, pada 1998 sampai 2000, ia berkomunikasi dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Lombok Tengah. Ia kemudian mendapatkan informasi bahwa ternyata ada sebuah ruang yang disebut HKM.

“Jadi kami memperoleh izin sementara dari Kanwil, dari 2000 sampai 2005. Saat itu belum ada tujuan akan ke mana HKM itu ke depannya. Seiring waktu kami coba pelajari karakter masyarakat dan karakter hutannya seperti apa, baru dibagi menjadi dua zonasi yaitu zonasi pemanfaatan dan zona lindung,” ujar Marwi.

Tak hanya melibatkan Dinas Kehutanan, Marwi beserta masyarakat Kabupaten Lombok Tengah juga berusaha berkomunikasi dengan para akademisi, Kementerian Kehutanan, dan lembaga lainnya untuk mengubah hutan di Kabupaten Lombok Tengah menjadi kawasan ekowisata yang bermanfaat.

Hingga kini, masyarakat di Kabupaten Lombok Tengah telah memiliki pendapatan yang cukup untuk kebutuhan mereka sehari-hari dari kegiatan mengelola hutan menjadi kawasan ekowisata.

3. Masih berharap bantuan dari berbagai lembaga

Belajar dari Marwi yang Merintis Hutan Jadi EkowisataIlustrasi hutan (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan)

Satu keunikan yang diungkap oleh Marwi, dengan mengelola hutan menjadi kawasan ekowisata, masyarakat di daerahnya masih memiliki pekerjaan di kala pandemi COVID-19  melanda. Di mana, kata Marwi, saat itu semua usaha di berbagai daerah sempat terhenti.

Terlepas dari semua keberhasilan itu, masih ada kelemahan dan kekurangan yang dimiliki oleh dirinya serta masyarakat di daerahnya. Ialah kurangnya mendalami penggunaan teknologi.

“Saya pun masih berharap ada bantuan dari lembaga-lembaga di luar Kabupaten Lombok Tengah untuk memperkenalkan ekowisata yang baru saja dirintisnya,” ujar Marwi.

Baca Juga: Lombok Gelar Triathlon Internasional Ironman 70.3

Baca Juga: 5 Wisata Hutan Kera di Indonesia, Surganya Pencinta Hewan!

Baca Juga: 10 Hutan Wisata Paling Instagramable di Indonesia, Pernah ke Sini?

Topik:

  • Galih Persiana

Berita Terkini Lainnya